Minggu, 02 Februari 2014


1 jam lagi.
Lembaran kertas, tumpukan buku mengelilingiku saat itu. Jaripun tak lepas untuk bermain pena, dan mata harus jelinya memindahkan nama, NIM, dan kumpulan nilai.
“Anis saya sudah sampai Serang” sms masuk datang.
“Haaah? Bukankah bilangnya sampai jam 11 ya?”
“Iya, saya naik yang jam 5 pagi ke kampung rambutan”
“Oke.. sekarang kamu… “
sayapun menjelaskan rute untuk menuju Rumah Dunia.
Bagaimana ini, nilai LSP (Lingkar Studi Pekanan) salah satu kegiatan pendukung Mata Kuliah PAI belumlah selesai direkap. Saya terlambat satu jam. Setelah peluh, pikirian bekerja dengan cepat dan harus teliti. Sayapun mulai mengayuh sepeda. Menuju mesjid kampus.

“Huu, haah, huu, haaah” bukan kepedasan. Tapi penyebab menggoes sepeda yang ekstra kebut.
“Ini nilainya teh! Kalau ada yang salah sms aja. Syukron teh, Wa’alaikumussalam” cipika-cipiki menjadi terakhir prosesi yang dilakukan, kembali menggenggam stang dengan kencang, memasang alat keamanan (masker) ya inilah kelebihan bersepeda tidak akan ditilang karena tidak memakai helm, dan kaki siap menggoes lebih cepat, menaikian gigi, dan pussss saya melaju dengan baik.
“Bagaimana ini saya tidak terdaftar. Tapi saya sudah di dalam disilahkan masuk oleh kak Hilman
Jleb. Saya mulai memanas, bagaimana mungkin bisa tak terdaftar sedangkan surat kesediannya sudah saya kirim. Walau memang salah karena mengirimkannya H-2. Penyebab utamanya karena sayapun telat menerima surat kesedian dari 10 anak saya.
“Oke, saya konfirmasi. Dan usahakan pasti ikut acara ini. Oh ya saya sudah sampai, saya di atas” terkirim pesan untuk orang yang belum pernah saya jumpa sebelumnya. Ntah rupanya seperti apa. Saya hanya ingin melayani dengan baik untuk 10 anak saya.
Saya kawatir dengan 9 anak saya yang lainnya. Dan Alhamdulillah, ka Agus, Fitri, Dara sudah datang lebih awal. Rini, Mbak Isti, Mbak Intan, Fitrah sedang dalam perjalanan, mereka jauh dari Jogja dan Bandung. Dan Churir, Rahmat, Ririn datang terlambat.
“Nis, nama saya tak ada” sms Churir datang
“Teh, Ririn udah didalam. Tapi, nggak ada namanya. Gimana nih teh?”
“Teh. Rahmat nggak dapat tasnya. Katanya belum terdaftar. Tapi, udah di dalam teh.”
“Nis. Kok saya nggak ada namanya sih. Mohon bantuannya ya. Harus ikut nih. Saya udah di dalam daritadi. Disuruh masuk oleh ka Hilman”
“Nis, kok teman-temanmu banyak yang baru nis? Nanti selesai acara ketemu kaka ya” sms ka Hilman menambah memanas.
“Tidaaak”teriakku dalam hati. Bagaimana ini, semuanya akan beres, dan sepuluh anakku akan aman-aman saja. “Tenanglah nak”  sayapun mulai menikmati suguhan pementasan dan menenangkan diri.
“Kumpulkan temanmu nis!” setelah selesai pembukaan, sayapun dengan cantiknya memainkan tombol HP dan mengirimkannya ke 10 anak saya, menyuruh mereke kumpul di saung samping surosowan. Yang tidak terdaftar mengumpul, ada wajah asing yang belum saya kenal saat itu.
“Nah ini ka, orang ini tidak bisa hadir. Digantikan oleh ini…” jelasku sambil menunjuk kertas.
Kak Hilmanpun dengan gesitnya mencoret satu demi satu nama yang jiwanya tidak hadir. Sayapun melanjutkan dengan menulis nama yang menggantikannya.
“Kau Ikhwan?” menebak saja saat itu. Walau saya bingung apakah itu Fitrah atau Ikhwan. Karena mereka adalah anak pungut. Eh bukan, anak yang yang belum saya kenal sebelumnya dan menjadi list 10 orang terdaftar.
“Yaa.” Jawabnya dengan singkat.
“Oke ka jadi yang ikut acara ini Anis, Ka Agus, Rahmat, Ririn, Churir, Ikhwan” jariku pun menunjuk ke kertas dan telunjukku setelahnya mengarahkan kepada yang kusebut tadi.
“Clear ka?”
“Iya, terimakasih banyak ya Nis!” senyum sumringah dari kak Hilman sambil pergi dan siap mengurusi peserta yang lainynya.
“Wah, makasih banyak kak!” Jawabku sambil ‘dah.. daah’.
Yeaa! Anakku selamat, dan mereka yang sudah jauh-jauh datang dari Bogor, Jogja, Bandung bisa menikmati dengan tenang tanpa dihantui rasa kawatir karena tidak terdaftar. Inilah awal cerita Kampung Budaya, yang tidak akan terlupakan.
“Kita jumatan di kampus ya Nis! Terimakasih banyak!” kak Agus dan Ikhwan berpamitan, mereka seperti anak kembar. Disebabkan oleh koko berwarna putih, jika ka Agus berlengan pendek sedangkan Ikhwan berlengan panjang.
“Yo hati-hati! Awas kesininya telat”
Dan seketika.
“Aniiiiss!” teriak dari belakang.
Itu dia keluarga alamku. Dan disana mulai merapihkan tumpukan kerinduan yang berantakan sepulang dari gunung anak Krakatau.
Awal memanas. Tapi itulah bagian lembaran yang selalu membuatku tak pernah bosan untuk mengingatnya.


7.20 WIB
Serang, 3 Februari 2014
Alunan sejuk QS. Inshiqaq



0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016