Jumat, 27 Januari 2012

Segudang Mainan dalam UN Fani

“ Trang.. tring..tiing..,”
Suara telepon genggam berdering dengan kencang memecahkan keheningan sepertiga malam. Bukan alarm, melainkan sebuah panggilan. Fani yang berusia 14 tahun terbangun oleh nada dering telepon genggamnya yang sudah kuno itu. Perempuan bermata sipit itu tidak mematikannya, melainkan memaksakan diri untuk berwudu. Panggilan itu adalah permainan dalam mengahadapi UN Fani.
Tahajud call sebuah ide cemerlang dari seorang sosok wanita bersahaja juga disegani oleh muridnya yaitu bernama ibu Ayu, yang memiliki peranan penting karena beliau adalah guru BK (Bimbingan Konseling). Sudah dua bulan remaja belia ini menjalankan tahajud call bersama teman-temannya. Ibu Ayu hanya memanggil kepada ketua kelas, kemudian ketua kelas menelepon salah seorang temannya salanjutnya teman yang telah dipanggil oleh ketua kelas menelpon teman yang lainnya. Ini seperti bermain bisik berantai, bedanya bisik berantai secara langsung dari kuping ke kuping sedangkan tahajud call menggunakan telepon karena jarak yang jauh.
“ Ya Rabb…,Yang Maha Pengasih. Bantulah, permudahkanlah dalam UN ini, juga teman Fani. Luluskanlah ya Allah…luluskan amiin..,” doa tulus terucap dari bibir mungilnya, suara Fani begitu lirih penuh dengan harapan. Setelah bermunajat kepada sang Pencipta, gadis kecil berkulit kuning langsat ini segera menuju meja belajarnya. Dia tidak mau waktunya terbuang sia-sia.
Fani kini mempunyai kebiasaan baru dan ini permainan yang digemarinya. Ketika setelah belajar gadis lincah itu mulai mengambil gunting, kertas bekas tidak lupa alat tulis. Kertas-kertas bekas tersebut digunting dalam berbagai bentuk mulai kupu-kupu, bunga, lingkaran dan segala yang ada dipikirannya dia tuangkan dalam kertas bekas. Jari-jari mungilnya memegang pena, menuangkan ingatan tentang materi-materi yang telah dipelajarinya kemudian tangan dan pikirannya mulai bekerjasama membentuk hiasan tadi  dengan tali dan digantungkan disekitar atap-atap yang mudah dijangkaunya. Tujuan Fani yaitu untuk mengingat dan memudahkannya untuk menghafal. Jika dia berjalan dan terhalang oleh hiasan indahnya, gadis cerdik itu bisa membacanya tanpa disengaja.

* * *
            “ Anak-anak yang bapak sayangi, di saat kalian UN harus saling membantu. Jika, ada yang bertanya berikan saja jawabannya. Kalau, kalian tidak ingin memberi jawaban, jangan berbohong!. Kasiankan teman kalian?. Kalian harus saling membantu, ya!,” ucap bapak Yadi guru matematika dengan ajakan yang menarik.
            “ Iya pak,” jawab serempak siswa SMP Pelita Bangsa dengan polosnya.
            “ Hmm ini permainan apa pak? Saya tidak paham!. Kok begini?.di saat ulangan tidak boleh bekerjasama, UN kok bapak nyuruh…huft permainan lucu,”gerutu Fani dalam hatinya.
Guru-guru di SMP Pelita Bangsa sangat melarang akan kerjasama, menyontek, membuka buku, itu adalah pelanggaran akademik. Bahkan Fani pernah melihat kertas ulangan milik temannya Fito disobek oleh guru bahasa Inggris karena suara gaduh yang ditimbulkannya. Tapi di UN yang baru pertama kali ini Fani rasakan, guru-gurunya berubah seratus delapan puluh derajat. Dalam pikiran gadis polos situ “..hmm, mungkin pada takut kali yah, kalau anak-anak pelita bangsa nggak lulus..Ya sudah mainkan saja…”
            Ujian Negara tinggal menghitung jam saja, tapi rasa deg-degan, khawatir begitu tampak dari wajah-wajah siswa SMP Pelita Bangsa dan guru-guru yang telah mati-matian memikirkan nasib anak-anak didiknya.

***
            Dua pengawas telah berdiri di depan kelas dengan membawa soal-soal. Bapak Acep guru dari pengawas SMP lain dengan lantangnya memberikan pengarahan, sedangkan seorang mahasiswa disampingnya mempersiapkan absen juga soal-soal yang akan diberikan.
            “ Baik..bapak menganggap kalian anak didik bapak. Silahkan kalian bekerjasama, tapi jangan berisik…,”ucapan penutup dari bapak Acep.
Fani melotot keheranan, akan pernyataan terakhir yang diucapkan bapak Acep.
“ Beginikah UN?, semua takut terhadap UN. Ya.. Rabb, Fani nggak paham. Jika seperti ini jangan ada UN…,”  Fani merasakan kesedihan akan adanya UN.
UN berlangsung dengan tenang walau diwarnai dengan lirik kanan, lirik kiri, tanya sana, tanya sini.
“ Ni.. ni 31 apa isinya?,” Didik menarik kerudung Fani yang panjang. Dengan telunjuk diangkat  ke atas, lelaki berambut hitam itu paham bahwa jawabannya adalah A. ini adalah permainan isyarat ciptaan teman satu kelasnya, menurut mereka ini cara yang rapih dan tidak membuat kegaduhan. Persiapan menghadapi UN dilakukan Fani dengan matang, sehingga membuat gadis berkerudung itu percaya diri akan jawabannya
“ Ni…Fan sst.. sst 20 Fan apa?,”tanya Tio, segera Fani mengangkat empat jarinya.
“ Ni..apaan? idih diem, pelit luh!,” sentak Tio.
“ Hmm….,” Fani cemberut menatap Tio.
“ Ih, payah luh Tio, empat jari itu d, tiga itu c,gitu. Paham nggak lu?,” jelas Didik.
“ Oh berarti d ya?,” tanya Tio sambil menggaruk kepalanya.
“ Iye, dasar payah lu !,”sentak Didik dengan nada merendahkan.
Fani tidak menghiraukan akan kedua temannya, perempuan berkacamata itu dengan khusyunya menyelesaikan soal terakhirnya, kemudian diperiksa kembali jawabannya. Fani  lebih unggul mengerjakan soal UN dibanding teman-temannya.
            Waktu tersisa tiga puluh menit dan Fani sudah yakin akan jawabannya, dia telah memeriksa lebih dari tiga balikan. Karena merasa lelah dengan keseriusannya mengerjakan soal yang menantang itu. Fani mulai menatap sekelilingnya. Di bangku belakang sudut kiri, dia menemui temannya Hendri sedang merobek kertas, menjadi empat bagian kecil. Selanjutnya entah apa yang ditulis Hendri, karena posisi Hendri dan Fani begitu jauh, sehingga Fani tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang ditulis teman gemuknya itu. Gerakan Hendri semakin aneh kertas itu dimasukkan ke dalam genggaman tangan kemudian digoyangkan tangannya ke atas dan bawah hingga jatuh satu gulungan kertas, dibukanya gulangan kemudian dituliskan dilembar jawaban UN nya.
            “ Aha.. itu seperti arisan, Hendri kamu arisan?,” celoteh Fani pelan-pelan.
            “ Iya, Fan daripada aku mengganggu teman, lebih baik seperti ini hhehe.. duhh pusing euy,” ucap Hendri dengan tersipu malu.
            “ Ternyata di UN ada main arisan ya?,” ucap Fani dalam hati sambil tertawa kecil. Fani terhibur akan kelakuan unik temannya tersebut, juga keheranan disaat genting seperti ini temannya masih bertingkah aneh hingga hatinya tergelitik. Tingkah Hendri membuat Fani angkat jempol terhadapnya karena cara yang digunakan Hendri bertujuan untuk tidak mengganggu teman-temannya dan menggantungkan diri terhadap keberuntungan.
            Fani menoleh ke sebelah kanan, didapati gadis manis berambut panjang sedang sibuk mengeluarkan kertas dari kaoskaki secara perlahan-lahan.
            “ Qika?,”tamyaku.
            “ Sst… aku sedang petak umpet,” jawab Qika.
Fani keheranan “ Apanya yang petak umpet?,” tanyanya dalam hati. Diperhatikannya dalam-dalam, kertas yang  dia umpatkan adalah rangkuman yang dibuat Qika.
            “ Kertasnya petak umpat…,” gerutu Fani dalam hati. Fani terhanyut dalam lamunan akan permainan teman-temannya yang menggelitik dan baru kali ini dia menemukannya. Fani menyimpan banyak pertanyaan mengapa teman-temannya bisa seperti itu.
            “ Tet..tet..tet...”.
Suara bel meraung keras dan menyadarkan gadis cilik berkerudung dari lamunanya. Kedua pengawas mulai beraksi untuk mengumpulkan soal dan jawaban.
            Fani keluar ruangan dengan langkah yang berat setelah melihat ulah temannya yang aneh dan menunjukkan bahwa mereka tidak percaya diri dalam mengerjakan UN membuat Fani sedih, walaupun ada saja hal yang membuatnya tertawa akan arisannya Hendri, petak umpatnya Qika.
            UN seolah-olah sebagai penentu kehidupan. Para siswa juga guru-guru SMP Pelita Bangsa dibuat ketakutan. Tapi, Fani lebih takut jika Sang Maha Pencipta murka akan ketidak jujuran mereka. Fani resah dan ingin kembali ke masa dia menggunakan putih merah. Dimana kelulusan yang menentukan ialah guru, tidak ada kebohongan melainkan usaha yang keras dan indahnya kejujuran.
            Segudang mainan dalam UN Fani mewarnai kisah di lembaran kehidupannya. UN pertamanya yang begitu unik, langka, tidak akan terhapus dalam ingatannya. Dan menyimpan harapan yang begitu besar agar tidak ada permainan dalam UN yang menyebabkan kejujuran menjadi nilai rendah.




Rumah Sakit Asih, Menjawab Tantangan Zaman
Zaman yang semakin maju akan teknologi yang canggih, pengetahuan yang terus berkembang menyebabkan semua hal yang dilakukan terasa mudah. Terkadang dengan kemajuan yang semakin canggih banyak orang juga instansi-instansi menyalah gunakannya. Dalam bidang kesehatan contohnya banyak rumah sakit yang melakukan mal praktik, bukan kesembuhan yang didapat melainkan menambahkan penderitaan bagi pasien, juga menodakan akan kesucian dunia kesehatan. Rumah Sakit Sari Asih hadir di tengah-tengah kemajuan zaman dengan membawa pelayanan penuh senyuman dan kasih sayang. Membuktikan bahwa tantangan tersebut dijawab oleh rumah sakit nan megah yang berlimpahkan teknologi yang canggih, tenaga kesehatan yang profesional sesuai dengan bidangnya, fasilitasnya lengkap, juga biaya yang terjangkau.
Sungguh terpukaunya diriku melihat rumah sakit yang kokoh itu memiliki banyak keelokan. Tempatnya yang luas berada juga strategis, orang yang berkunjung bisa terpana dan betah untuk beribadah di masjid Annur. Arsitekturnya begitu rapih dan indah. Mesjid Annur menjadi gambaran akan kebaikan, kesalihan dari pelayanan para perawat juga dokter-dokternya.
Ada satu hal yang membuat aku jatuh hati dengan rumah sakit sari asih. Menjumpai hal yang tidak biasa aku dapatkan di rumah sakit lainnya. Bukan perawat dengan muka masam dan kecuekannya pada pasien tetapi di rumah sakit sari asih ini aku temukan perawatnya begitu cantik dihiasi dengan jilbab, senyum para perawat yang hangat menambah rasa kenyamanan bagi pasien-pasien. Diri ini semakin terpana dengan kebiasaan yang begitu jarang ditemukan di rumah sakit lainnya, lantunan doa yang ikhlas keluar dari para perawat ketika pergantian waktu kerja, doa yang berisikan untuk kesembuhan para pasiennya sebagai pasien akan merasa senang jika mendapatkan doa yang ikhlas.
Prestasi yang begitu menggunung menambah kehebatan rumah sakit yang berkualitas ini. Prestasi ini tidak lepas dari buah tangan ibu Siti Rochayah yang penuh semangat dan kerja keras untuk mengatur semua hal yang berada di dalam badan rumah sakit tercinta ini, mulai dari pelayanan, fasilitas yang memadai serta canggih. Maka tidak salah jika Departemen Kesehatan Republik Indonesia memberikan banyak penghargaan juga memasukan nama rumah sakit sari asih ke dalam daftar rumah sakit terbaik di Indonesia. Bahkan, PBB memberikan awards akan Babby Friendly Hospital yaitu sebuah program yang memberikan bayi kesempatan terbaik untuk menyusui sampai enam bulan.
Inilah rumah sakit yang menjawab tantangan zaman. Hadir di tengah masyarakat Banten dengan penuh rasa sayang. Tidak ada unsur individual sehingga masyarakat tidak merasa anti untuk masuk kedalamnya, bahkan merasa nyaman karena rasa sosial yang begitu tinggi. Tidak ada kata materialistis sehingga tidak ada masyarakat yang merasa kantongnya terkuras. Para pasien pun merasa puas akan dokter-dokter, konsultan yang profesional, tidak sulit untuk menemukan dokter di rumah sakit ini, karena jumlahnya yang banyak dan tentu ahli dalam bidangnya. Tidak perlu jauh-jauh keluar kota karena fasilitas di rumah sakit begitu lengkap juga canggih dan yang terpenting rumah sakit sari asih membuktikan bahwa setiap kemajuan zaman harus diimbangi dengan ketaatan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, terbukti akan penerimaan pegawai dengan memberikan tes membaca al quran. Kebiasaan perawat yang menyejukan hati yaitu memberikan doa yang tulus. Mengingatkan kembali bahwa doa adalah obat yang pertama dan harus diutamakan. Rumah sakit penjawab tantangan zaman ini harus diikuti oleh rumah sakit - rumah sakit yang lain, agar Indonesia memiliki rumah sakit yang berkualitas dan mengabdikan diri untuk kesejahteraan masyarakat. 

                Keriput sudah nampak jelas dalam rautan wajahnya. Keriputnya tidak memudarkan kecantikannya. Cantik rupa juga ahlak, selalu menjadi tempat curahan hatiku, di kala senang, sedih dia selalu ada, mengajariku banyak hal dia lah teman juga sahabat itu adalah ibu.
                “Banyak kasus terjadi, hanya bertahan lima tahun!” ucap dokter ahli bedah.
                Air mata ini mulai membahasi mata, wajah aku pucat pasi. Banyak fakta berbicara tentang penyakitnya yang begitu buas hingga mungkin ibu akan dimakan ganas oleh penyakitnya selama lima tahun. Ucapan dokter selalu membayangiku, aku akan merindukan masa-masa dimana ibu membelai ku dengan lembut, memberikan kehangatan dalam dekapan kasih sayang, rindu ketika bertukar pakaian, bercanda bersamanya, banyak hal yan nanti tidak akan aku rasakan jika ibu mulai mengehembuskan nafas terakhirnya.
                Breast Cancer adalah suatu mimpi yang tidak pernah diharapkan oleh ku, adik, ayah bahkan ibu yang tegar. “Takdir ditentukan oleh Sang Maha Kuasa” semua perkataan dokter aku buang jauh-jauh, toh hanya Allah yang mengetahui kapan ibu ku menghadap-Nya.
                Aku semakin tegar, karena ibu sedang sakit sangatlah kuat. Tidak nampak sedikit pun mimik sedih dalam wajahnya. Kesehariannya saja dipenuhi dengan semangat, juga kegiatan positif, tidak ada satu celah dalam gerakanya yang menunjukan bahwa wanita hero ku ini sedang bergulat dengan rasa sakitnya. Hebat. Ibu bagaikan artis papan atas, yang mampu menunjukan senyuman kebahagian juga ketegaran dalam keadaan melawan kesakitannya.
                Menjadi anak shalihah, pemuda yang berprestasi, teladan bagi adik-adik adalah sebagian kecil janji ku untuk ibunda tercinta. Aku tidak ingin sedikitpun membuatnya marah, aku selalu ingin tetap melihat senyuman indah darinya. Senyuman itulah aku belajar akan ketegaran seorang yang menderita penyakit ganas, melalui ukiran bibir manisnya aku belajar akan ketulusan untuk menggapai jannah-Nya dengan Rido-Nya. Ibu, ku akan selalu merindukan dirimu dan senyuman ketegaran itu.

Sopir yang Hebat
Menunggu angkot yang langka sudah menjadi aktivitas aku setiap pekannya. Setiap jumat dan selasa, aku setia menunggu dan bersabar karena angkot yang biasa aku tumpangi seperti biasanya mengetem. Ada rasa tidak enak sebenarnya jika harus telat kembali mengajar, usaha untuk on time selalu ada tapi tempat lembaga privat begitu jauh.
Kesabaran aku membuahkan hasil, akhirnya ada angkot kosong yang berhenti di depanku. Tidak seperti biasanya mobil ke Puri Hijau sepi penumpang.
Mau kemana Neng?” Tanya Pak sopir sambil menatap wajahku.
Mau ke Puri Hijau Pak?” Jawabku dengan pelan, sambil menatap ke arah  tempat duduk penumpang yang masih kosong.
Bapak juga rumahnya dekat-dekat situ, Neng” Ujar Pak sopir sambil mengendarai  carry dengan hati-hati.
“ Neng kelas berapa?” Tanya Pak sopir sambil fokus matanya mencari penumpang.
Aku terkejut akan pertanyaan yang mengira bahwa aku masih SMA, padahal aku sudah duduk di bangku kuliah semester dua. Mungkin wajahku baby face. Jadi wajar jika Bapak sopir mengira aku masih mengenakan seragam abu-abu, ingin terbang rasanya mendengar pernyataan Pak sopir tadi. Hehe.
Sebetulnya saya sudah kuliah Pak, di UNTIRTA alhamdulillah sudah semester 2.” Aku berusaha menjelaskan. Dan  hari ini bukan mau pulang ke rumah tetapi saya mau mengajar privat,Tambahku pada Pak sopir.
“Ohh... jadi Neng sudah kuliah, bukan anak SMA lagi." Pak sopir menjadi malu. “Ma’afin Bapak yah Neng, Bapak nggak tahu sambil senyum-senyum”.
“Bapak juga punya anak. Kedua anak Bapak sama kaya Neng kuliah di UNTIRTA juga. Anak pertama Bapak jurusan ilmu komunikasi semester 4 dia ambil regular, dan anak kedua Bapak semester 2 sama seperti Neng ambil jurusan ilmu administrasi Negara. Dan anak Bapak yang terakhir perempuan dia masih SMA kelas 1.
Tasbihku dalam hati. Bapaknya sangat memerhatikan semua anaknya. Padahal biaya untuk sekolah dan kuliah begitu mahal, apalagi biaya SPP sekarang semakin tinggi. Hebat Pak sopir bisa menyekolahkan ketiga anaknya, apa lagi penghasilannya yang tak menentu dan tak seberapa besar separti orang yang kerja di kantoran.
Mmh...Bapak tidak merasa berat yah menyekolahkannya?” Tanya ku dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Pak sopir.
“Untuk kalangan seperti Bapak ini agak berat Neng, tetapi demi anak Bapak akan lakukan apa saja agar anak Bapak tidak susah hidupnya seperti Bapak yang hanya sebatas tukang sopir yang berpenghasilan minim. Bapak ingin melihat anak-anak Bapak berhasil, dan bisa bermanfaat untuk orang lain. Harapannya. Maka dari itu Bapak akan terus berkerja keras demi anak-anak Bapak. Insya Allah semua pasti ada jalan. Bapak sangat berharap sama gusti Allah dimudahkan rezekinya. Bapak juga bekerja ingin mendapatkan keridhoanNya. Aamiin ya Robbal’alamin.” Pak sopir yang penuh semangat menceritakan niatnya dalam menyekolahkan putra-putrinya kepadaku sambil berkaca-kaca. Terlihat dari kaca mobil yang ada di depannya.
Orangtua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya,” gumamku dalam hati. Aku tertegun mendengarkan semua cerita Bapak, hati ini terketuk dan mulai merasakan kerinduan yang mendalam kepada orangtua. Saat itu rasanya ingin berada di hadapan Ibu dan Bapak, memeluk mereka dan mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba Pak sopir kembali besuara setelah lima menit terdiam. “Neng, belajar yang benar yah. Bahagiakan orang tuamu, buat mereka bangga!Nasihat Pak sopir itu kepadaku penuh semangat.
“Kiriiii...Pak!Ternyata tempat lembaga privatku hampir kelewat.
Yah, Pak... Terima kasih atas nasihatnyaSenyumku penuh bahagia sambil merogohkan uang yang ada di dalam tas biruku untuk ongkos. Bapak sopir itu hanya tersenyum hangat, dan menyuruhku untuk tidak membayar ongkosnya. Perlahan demi perlahan akhirnya angkot biru itu menjauh dari tatapanku.
Bapak sopir yang hebat, yang aku temui kali ini telah membukakan mata hati aku, tulusnya kasih sayang orangtua, dahsyatnya perjuangan orangtua. Satu hari yang tidak pernah aku lupakan, bertemu dengan sosok sederhana penuh dengan kasih sayang yang luar biasa.


Anis Sofia © 2016