Sabtu, 23 Agustus 2014


Tuhan aku rindu pada terik sinar bola api yang berhasil membasahi tubuhku. Bunyi mesin entah berapa PK yang berhasil memekakan telingaku. Menjadi pemberani berjam-jam di atas atap kapal kayu. Aku menikmati dan aku merindu. Dan Dermaga Canti, kabarmu baik saja kan?




Tuhan aku rindu pada lembutnya pasir putih di pulau Sabeku dan Sabesi, juga pulau dimana Gunung Anak Krakatau  menjadi pasaknya keagungan Mu.

Tuhan akupun rindu  pada bau asin laut yang membasahi rok cokelatku. Ah bahkan hampir saja aku kehilangan nyawaku dan kini Kau memberikan kesempatan lagi untuk menikmati alam-Mu. Betapa baiknya Engkau.




Tuhan aku rindu bersusah payah berjalan hingga harus melepaskan sendal gunungku, menaklukan pasir abu-abu yang panas untuk mencapai puncak gunung anak krakatau.





Tuhan aku rindu pada matahari yang bersapa salam hadir lalu malu-malu berpamit diri






Tuhan aku rindu pada sahut-menyahut monyet di kaki gunung Pulosari.




Tuhan aku rindu   untuk melatih hidungku dari bau kawah Pulosari



Tuhan aku rindu. Indahnya Pandeglang dari puncak Pulosari


Tuhan aku rindu pada harta karun di Kota Baja. Sebuah bukit yang rasanya mustahil ada di sebagian kota Industri ini. Batu Lawang, hadiah keindahan kota Cilegon di atas sini aku temukan.



Tuhan aku rindu pada sepotong surga Mu yang dititipkan di tanah Jawara ini, mereka bilang sih pulau dewatanya Banten, Sawarna.





Tuhan aku rindu pada rasa romantis sang Presiden kepada Ainun. Kapan lagi ya aku bisa ke puncak Habibi? Menikmati romantisme gubuk sederhana miliknya dari kejauhan.






Tuhan aku rindu pada pantai yang katanya ada Nyi Roro Kidul. Aku rindu pada langit jingga Mu itu.





Tuhan aku rindu  kembali belajar untuk mengalahkan rasa takutku. Bagaimana bisa mewujudkan mimpiku melihat samudera awan, mengalahkan dingin. Dan terimakasih Tuhan, ternyata aku mampu.




Tuhan akupun rindu, dan ingin kembali lagi berjumpa si putih Edelwies. Apakah kini mereka sudah mekar ya? Titipkan salam rindu juga sayangku untuknya yaa..



Tuhan.
Terimakasih telah membuatku ada. Terimakasih mengenalkan ku pada semua ciptaan Mu.
Terimakasih telah mengajarkanku akan makna kerinduan. Ah, aku hanya pemula. Dari seorang anak rumahan yang kilat berubah memiliki hasrat untuk selalu memenuhi isi bathinku. Menikmati perjalanan kemudian belajar pada alam, pada Mu.  Belajar banyak hal, berkenalan dengan banyak kawan. 
Tanpa kasih Mu.
 Aku tinggal batu nisan. Bagaimana setiap perjalanan tidak hanya menawarkan keindahan, kematianpun sudah menunggu. Terimakasih Tuhan telah menyelamatkanku dari deburan ombak yang mengombang-ambingkan badanku di lautan pulau Sabeku. Terimakasih Tuhan, telah masih memberikan kesempatan hidup, tanpa Mu tubuh ini pasti sudah jatuh ke dasar jurang.
Tuhan sungguh aku merindu.
Meninggi untuk merendah pada Mu.
Tuhan sungguh aku merindu.
Menikmati jalan panjang, dan masih merasakan bahwa aku diberikan kaki dengan rasa pegal. Kulit yang mengeluarkan keringat, nafas yang terengah-engah, pundak yang sakit membawa beban cariel, tandanya aku masih belajar nikmat hidup bukan?
Tuhan sungguh tak bosan aku katakan, bahwa aku merindu.


Ditulis sepanjang jalan menuju Serang.
 Di gerbong A kursi 15C, KA Kalimaya.
 Dilanjutkan, selesai di Asrama Darul Irfan 23 Agustus 2014.
22.36
Dalam nada Vicky-Sahabat

Karena setiap kata ini tak sanggup menggamarkan keindahanNya. Banyak tempat yang belum dimasukan. Tapi, sudah mewakili bahwa aku sepenuh hati sedang merindu.
Salam Penggila Alam 

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”
(Al Hajj : 46)

Senin, 18 Agustus 2014

Ada nama yang diam-diam disebut. Bermula satu, kemudian dua hingga berderet nama yang saling memohon dan berharap kebaikan dalam suatu pengharapan.

Kita lemah, kita ada karena ditakdirkan untuk saling menguatkan. Kita payah, kita berada karena untuk saling menghebatkan. Kita serba kekurangan, kemudian kita saling mengisi, karena kita saling melengkapi.

Berawal dari setahun silam, 23 Agustus. Perjalanan membuat kita saling mengisi nama-nama. Hingga saling mengenal di Kampung Budaya. Apalah kita? Karena sejauh apapun menjauh skenario Sang Kuasa selalu saja mendekatkan. Perlu bukti? 2 hari satu malam bukanlah refreshing semata. Tapi, adalah tumpukan pelajaran kehidupan.

Bagaimana setiap kepala, memang selalu berbeda. Setiap tingkah ada saja yang membekas dan kemudian enggan hilang. Bahkan kita tidak peduli jarak. Bandung, Jakarta, Tangerang, Cilegon, Serang akhirnya berkumpul, bersama berjalan untuk belajar mengeja kehidupan dalam perjalanan.
Maka tak salah bukan jika ada saja rindu yang membekas?



 Pada semilir angin. Basah dedaunan. Air sungai Curug Gendang yang tak pernah henti mengalir. Begitu banyak latar yang menjadi saksi. Bahwa makanan yang disajikan di atas daun pisang, kita saling belajar berbagi, menikmati kesederhanaan dalam setiap kunyahannya.








 Perjalananpun, menyadarkan kita. Bahwa tanpa-Nya, siapalah kita?
Berbangga menaklukan tingginya gunung, meniti jalan yang bisa menghilangkan jiwa dalam raga, liku-liku jalan yang membuat pegal kaki. Lalu siapalah kita? Tanpa Nya, tak akan ada nikmat yang mampu kita rasakan. Tanpa Nya mungkin kita hanya memang tinggal nama.














Bahkan tanpa Nya. Apakah kita bisa menikmati purnama sempurna di atas pohon albasia?










Tak ada yang tahu benar isi hati seseorang. Tapi, kita saling belajar berbagi kisah hidup. Menasehati, bahkan bully-an pun menjadi pembelajaran mental. Ada saja tawa yang mampu merangkai kebahagian. Lepas dari semua itu. Bahagia kita adalah luar biasa yang tidak melulu dihargai dengan tawa. Tangispun menjadi bukti kebahagian untuk terus menjalani takdirNya dengan penuh mimpi.






Kita berbeda, disamakan oleh cintanya pada perjalanan. 0 kilmeter inipun, menjadi bagian saksi bahwa kita adalah sekumpulan nama-nama yang tergila pada proses perjalanan.
Bukan sekedar keindahan tempat, tapi suatu kebersamaan yang mengalahkan segalanya.












 Lalu,

Jika tanjakan tangga ini dapat menyampaikan perkataanya mungkin dia akan berkata "bisakah diam?"
Karena sepanjang pijakan tangga, selalu saja kita ribut. Mulai lelahnya kaki hingga ada decak kagum pada tanah ini, Banten. Tak henti-hentinya "Waahh...." "Subhanallah..".

Atau jendela yang setiap lantai yang selalu memberikan sudut keindahan yang berbeda pasti akan mengatakan "Inilah keelokan Banten.."








 Terimakasih untuk kalian.. Para Penggila Perjalanan.


Bang Jack, yang selalu mengalah untuk menjadi kameramen. Hingga dokmentasi apapun selalu sulit menemui potonya | Teh Lia, seorang anak manusia yang dilahirkan sukses sejak lahir yang menolak bentuk kasihan, karena dia adalah wanita kuat | Teh Yuli seorang teteh yang selalu menjadi pendengar yang baik dan tak pernah henti untuk bermimpi | Fitrah seorang adik yang memiliki jiwa dewasa, ada solusi dalam katanya, ada mimpi yang selalu ditargetkanya dan semua itu adalah keyakinan | Emak Noe, seorang bidadari yang beruntung memiliki prajurit gagah Kaka dan Mamas yang tak pernah lelah untuk diajak berjalan jauh, seorang emak yang kuat lagi menginspirasi | Ka Rosyad seorang abang sederhana punya mimpi yang tak pernah habis | Mbak Intan, wanita tangguh yang menolak lemah | Yehan, sahabat yang bersahabatkan pengalaman yang menguatkan|

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”
(Al Hajj : 46)



Kerinduan dari perjalanan Curug Gendang-Gunung Malang-Mercusuar

Serang, 18 Agustus 2014
At taubah.

.

Selasa, 12 Agustus 2014


 “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”
(Al Hajj : 46)

Jika banyak yang bicara bahwa jalan-jalan akan menghabiskan uang, ya bisa dikatakan seperti itu. Tapi, ada nilai berharga yang didapatkan selain materi yang memenuhi kantong. Indahnya berbagi, belajar bersyukur, saling memahami teman seperjalanan, mendapat teman baru, alam-Nya yang indah, mendapatkan pembelajaran kehidupan dari pengalaman teman, dan masih banyak lagi. Hingga tak sadar ada ucapan “Ya, Allah begitu kecilnya diri ini”


SELAMAT MILAD KWC 1 TAHUN




*tulisan singkat iseng di penghujung malam, istirahat sejenak dari revisian.
Insha Allah ada kisah dalam rentetan diksi.
:)
Nyatakan mimpi peluknya gapainya wujudkannya! we can do it! 


Anis Sofia © 2016