Tuhan aku rindu pada terik sinar bola api yang berhasil membasahi tubuhku. Bunyi mesin entah berapa PK yang berhasil memekakan telingaku. Menjadi pemberani berjam-jam di atas atap kapal kayu. Aku menikmati dan aku merindu. Dan Dermaga Canti, kabarmu baik saja kan?
Tuhan aku rindu pada lembutnya pasir putih di pulau Sabeku dan Sabesi, juga pulau dimana Gunung Anak Krakatau menjadi pasaknya keagungan Mu.
Tuhan akupun rindu pada bau asin laut yang membasahi rok cokelatku. Ah bahkan hampir saja aku kehilangan nyawaku dan kini Kau memberikan kesempatan lagi untuk menikmati alam-Mu. Betapa baiknya Engkau.
Tuhan aku rindu bersusah payah berjalan hingga harus melepaskan sendal gunungku, menaklukan pasir abu-abu yang panas untuk mencapai puncak gunung anak krakatau.
Tuhan aku rindu pada matahari yang bersapa salam hadir lalu malu-malu berpamit diri
Tuhan aku rindu pada sahut-menyahut monyet di kaki gunung Pulosari.
Tuhan aku rindu untuk melatih hidungku dari bau kawah Pulosari
Tuhan aku rindu. Indahnya Pandeglang dari puncak Pulosari
Tuhan aku rindu pada harta karun di Kota Baja. Sebuah bukit yang rasanya mustahil ada di sebagian kota Industri ini. Batu Lawang, hadiah keindahan kota Cilegon di atas sini aku temukan.
Tuhan aku rindu pada sepotong surga Mu yang dititipkan di tanah Jawara ini, mereka bilang sih pulau dewatanya Banten, Sawarna.
Tuhan aku rindu pada rasa romantis sang Presiden kepada Ainun. Kapan lagi ya aku bisa ke puncak Habibi? Menikmati romantisme gubuk sederhana miliknya dari kejauhan.
Tuhan aku rindu pada pantai yang katanya ada Nyi Roro Kidul. Aku rindu pada langit jingga Mu itu.
Tuhan aku rindu kembali belajar untuk mengalahkan rasa takutku. Bagaimana bisa mewujudkan mimpiku melihat samudera awan, mengalahkan dingin. Dan terimakasih Tuhan, ternyata aku mampu.
Tuhan akupun rindu, dan ingin kembali lagi berjumpa si putih Edelwies. Apakah kini mereka sudah mekar ya? Titipkan salam rindu juga sayangku untuknya yaa..
Tuhan.
Terimakasih telah membuatku ada. Terimakasih mengenalkan ku pada semua ciptaan Mu.
Terimakasih telah membuatku ada. Terimakasih mengenalkan ku pada semua ciptaan Mu.
Terimakasih telah mengajarkanku akan makna kerinduan. Ah, aku hanya pemula. Dari seorang anak rumahan yang kilat berubah memiliki hasrat untuk selalu memenuhi isi bathinku. Menikmati perjalanan kemudian belajar pada alam, pada Mu. Belajar banyak hal, berkenalan dengan banyak kawan.
Tanpa kasih Mu.
Aku tinggal batu nisan. Bagaimana setiap perjalanan tidak hanya menawarkan keindahan, kematianpun sudah menunggu. Terimakasih Tuhan telah menyelamatkanku dari deburan ombak yang mengombang-ambingkan badanku di lautan pulau Sabeku. Terimakasih Tuhan, telah masih memberikan kesempatan hidup, tanpa Mu tubuh ini pasti sudah jatuh ke dasar jurang.
Tuhan sungguh aku merindu.
Meninggi untuk merendah pada Mu.
Tuhan sungguh aku merindu.
Menikmati jalan panjang, dan masih merasakan bahwa aku diberikan kaki dengan rasa pegal. Kulit yang mengeluarkan keringat, nafas yang terengah-engah, pundak yang sakit membawa beban cariel, tandanya aku masih belajar nikmat hidup bukan?
Tuhan sungguh tak bosan aku katakan, bahwa aku merindu.
Ditulis sepanjang jalan menuju Serang.
Di gerbong A kursi 15C, KA Kalimaya.
Dilanjutkan, selesai di Asrama Darul Irfan 23 Agustus 2014.
22.36
Dalam nada Vicky-Sahabat
Karena setiap kata ini tak sanggup menggamarkan keindahanNya. Banyak tempat yang belum dimasukan. Tapi, sudah mewakili bahwa aku sepenuh hati sedang merindu.
Salam Penggila Alam
“Maka apakah mereka tidak berjalan
di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada”
(Al Hajj : 46)