Senin, 22 April 2013


          
Alunan depape menghantarkan jemari ku untuk segera bermain keyboard notebook biru. Rindu rasanya dengan si biru, terlebih lagi kepala ini pusing tak kuat menahan kegemasan ingin segera mengetik menceritakan tentang suatu hal yang begitu membahagiakan. Lagi, dan semoga tidak bosan izinkan ku bermesraan dengan Rumah Dunia.
          Minggu, 21 Maret 2013. Hari kartini bukan? Bukan sekedar itu, hari istirahat yang tidak seperti biasanya mataharinya begitu terik, membuat siapa saja ingin berbetah lama-lama di dalam rumah, menikmati kasur empuk atau menikmati es kelapa. Ahh, sungguh enaknya. Ya, hari lalu kemalasan sangat menyayat jiwaku, cuaca yang panas, mata yang tidak kuat untuk dibawa tidur, dan pedal sepeda yang lepas. Oke, kalau mengikuti rasa malas, tidak akan maju-maju. So, akhirnya berjalan menenteng sepeda dari pondokan menuju jalan raya yang wow lumayan bikin gempor hu.
          Alhasil datang ke Rumah Dunia dalam keadaan  acara bedah bukunya sudah dimulai dan menyisakan sisa sisa kursi belakang. Pasti kalau bertanya susah dilirik oleh MC untuk diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, dan benar saja tiga kali berdiri tidak bisa mengalihka pandangan mc untuk memilihku. Tapi semua terobati ketika Ka Salam, Ka Ardian Je, Bang Jack, Asep memberikan bukunya kepadaku secara cuma-cuma. Mereka tahu saja kalau isi dompetku sangat mengenaskan.
          Semakin cinta
       Adalah hari terindah yang Allah berikan di rumah dunia, tapi aku yakin masih ada hari-hari  indah  yang Allah siapkan untuku, sangat percaya itu. Selain bangga melihat relawan Rumah Dunia yang sudah ku anggap sebagai sahabat, guru kehidupan  yang merayakan kebahagian karena telah melahirkan anak batin dari proses kreatifnya.  Ada hal yang membuat ku semakin menaruh cinta pada Rumah Dunia.
          Di bawah gelapnya malam, yang hanya berhiaskan lampu teaterlah yang menghantarkan rasa cinta itu. Ada apa dengan malam? Rasanya malam memanglah waktu yang membuat kesunyian menjadi kebahagian atau sebaliknya.
Musikalisasi puisi, teater yang diperankan oleh Ka Ardian Je, Ka Wayang, Uni, Aeny, pembacaan puisi, pertunjukan lagu hip hop, petikan gitarnya ka Ruli, lantunan gitar Getah Alas untuk kekasihnya, dan kehebohan relawan bernyanyi ria. Ada satu performance yang sungguh memesona bagiku.
Inilah sekelompok anak-anak kecil Rumah Dunia, bermusikalisasi dengan suaranya yang merdu diiringi petikan indah gitar oleh Pak Firman. Itulah pertama kalinya, kedua lensa mata ini menyaksikan kembali “anak kecil” sesungguhnya. Ceria ria dengan berdendang lagu anak-anaknya, bernari dengan lincah tanpa malu-malu.
Cobalah lihat eksperesi dari seorang anak laki-laki yang menjadi komando setiap penampilan mereka. Ahh siapa dia, suatu saat harus dekat dengannya. Anak laki-laki itu begitu menghayati setiap lirik lagu yang dibawakan. Ada satu lagu yang membuat batin terenyuh, bukan karena cengeng atau karena anak laki-laki itu menangis ketika bernyanyi. Adalah tatapan tulus matanya yang berbicara kepadaku akan sebuah getirnya kehidupan. Sungguh, merasa menyesal tidak merekamnya, ingin sekali kutuliskan liriknya. “Kenapa meminta-minta? Padahal kita masih berkerja” kalau tak salah itu bagian liriknya.
Sungguh, sungguh, saat itu level rasa hati ini semakin bertambah. Anak kecil dengan dunianya, dan rumah dunia menghantarkan mereka pada cinta sesungguhnya, sungguh cintaku semakin menjadi-jadi.
          Katakan kalau ini bukan mimpi!
       Rumah Dunia, dua kata tersebut dapat kukenal dari seorang wartawan yang selalu berkunjung ke SMA ku saat ku masih menggunakan seragam abu-abu, ialah Ka Harir Baldan. Sebelum mengenal Rumah Dunia, ternyata ketika aku duduk di bangku SMP, aku sudah mengenal mas Gong. Bukan dari  bukunya, atau pelatihan-pelatihan menulisnya, bukan!
Masa SMP adalah masa-masa ku tiada hari tanpa menonton tv. Selalu ada cuplikan pengarang skenarionya ya kan? Dan kudapati nama Gol A Gong. Ada bagian memori ingatan ku yang hilang di bagian mananya ku mengetahui kalau Gol A Gong adalah orang Banten. Pada akhirnya, membuatku sadar bahwa Banten bukanlah suatu provinsi yang hanya terkenal akan kekerasanya, tetapi ada seorang penulis yang begitu terkenal. Melalui mas Gong, membuatku bangga akan Banten.
          Ketika menjadi peserta KMRD 21 (kelas menulis rumah dunia 21), tidak hanya mengagumi Mas Gong, seluruhnya aku kagumi. Mba Tyas yang sangat lembut, Azka dan Odie kekocakkan dan kelucuannya yang menggemaskan, Bella pendiamnya yang emas, dan Abi mengaguminya dari jauh, anak laki-laki yang belajar di Abu Dhabi. Mereka sangat menggumkan.
          Mas gong dan Mba Tyas, kini bisa menikmati hasil peluhnya bertahun-tahun memperjuangkan literasi di Banten. Merekalah inspirator penggerak jemariku untuk selalu berusaha mengetik, mengeluarkan ide. Mas Gong dengan satu lengannya saja bisa terus menulis, menysukuri 26 huruf yang diberikan Maha Kuasa, mengapa aku tidak? Walaupun masih ingusan dengan dunia kata-kata aku tetap berusaha mengasah jemari dan pikiranku agar lincah. Sungguh bahagianya bisa berjumpa, mengenal Mas Gong, Mba Tyas, Bela, Abi, Odie, Azka, dan para relawan dengan kegokilannya.
          Please, Katakan kalau ini memang bukan mimpi!
       Setelah mengaguminya, tentunya ingin dekat denganya bukan? Itulah seorang pengagum. Begitupun dengan aku, walaupun dilahirkan dengan ada unsur pendiam dalam diriku, tapi ingin dekat dengan orang yang kukagumi adalah suatu kebahagian. Dan please, Katakan kalau ini bukan mimpi! ketika selama semalaman saya bisa menginap dan merasakan kehidupan penulis. Tak apalah orang menganggapku sebagai orang yang “alay”. Pokoknya aku bahagia! Sangat bahagia! Sempat bertanya pada diri, “Kebaikan apa yang telah ku lakukan hari ini? Mmh, padahal tahajud kesiangan, dhuha kebablasan karena ada manasik haji” sungguh agak futur. Tapi, sang Pecinta itu memang baik, taka da yang melebihi kebaikanNya, dan Dia memang segalanya tahu apa yang kuinginkan dan kubutuhkan J
          Berawal dari rasa penasaran untuk menikmati malam di Rumah Dunia, akhirnya kegalauan pulang malam-malam aku hempaskan begitu saja. Walau pada minggu malam, aku sedikit nakal dengan membolos dari kegiatan pengajian di pondokan. “Ahh tapi tidak bolos kok, saya sudah izin sama ibu asrama, lagian biasanya ustad tidak suka datang”.  Rasa nekat inilah yang membuatku bisa merasakan kehidupan keluarga penulis walaupun selama semalaman.
          Azka dan Odie, kedua bocah itu sangat menggemaskan. Sekilas membuat rinduku semakin menjadi kepada de Kiki, ah merindu. Mereka memang anak kecil dengan dihiasi dengan kepolosan, kelucuan juga kenakalan. Jarum jam menunjukan 23.00 mereka tetap saja berisik dengan terus mengajakku bermain-main, rupanya batrai mereka belum habis. Terus saja bermain, sangat menyenangkan bisa melihat tawa lepas mereka. Rambutnya Odie yang kribo menambah dia semakin lucu saja. Belum lagi Mba Tyas, selalu marah (ahh tapi bukan marah, karena tetap saja suaranya begitu lembut dan menenangkan) mungkin lebih tepatnya menasehati.  
Ketika sibuk bermain dengan Azka dan Odie. Bela sedang santainya menyetrika. Jika mengingat dulu, dimana aku duduk di kelas 3 SMP dan besoknya menghadapi UN, tetap saja sibuk berjibaku dengan buku-buku. Tapi berbeda dengan Bela, dia bernyanyi-nyanyi sambil menyetrika pakaian. Teh dingin dan potongan-potongan gorengan dihidangkan dihadapan aku, Odie, Azka, dan Aeny. Gemasnya melihat kelakuan dua bocah tersebut, minum dan makan dengan lahapnya, kemudian meminum teh jatah miliknya Bela.
Menaiki tangga, menggotong kasur dari lantai 2, menjatuhkannya ke lantai 1, bermain tepukan dengan Azka, memainkan rambut Odie, mengobrol dengan Bela, berbincang dengan Mba Tyas, meminum teh, memakan potongan gorengan, melihat wajah kagetnya Bela ketika bangun kesiangan, sibuknya Mba Tyas menasehati Odie dan Azka bergegas siap ke sekolah, Odie yang bukan memasukan buku melainkan bola dan sandal ke tasnya, menyantap brownies bersama Aeny dan Abil. Ahhh sungguh banyak peristiwa yang terkesan bagi kebanyakan orang itu adalah hal biasa, tapi berbeda denganku, semua itu bermakna.
Apalagi yang akan ku ketik? Hmm hanya ada penyesalan. “Menyesal, kenapa tidak dari semester 1 saja ku menjadi bagian Rumah Dunia?”. Tetap bersyukur walaupun kini semester 6, tapi bisa diberikan kesempatan.
Selasa, 23 April 2013
07.10 WIB                                        
Sudut kamar, dalam kondisi mengenaskan hidung tersumbat.




Senin, 15 April 2013


Bunga Marwan
            Matahari kini mualai meredup, pancaran cahayanya kian berkurang. Desingan suara kendaraan, semakin memekkan telinga. Maklum pukul saat ini menunjukkan jam pulang dari rutinitas, kerja, sekolah, berdagang dan masih banyak lagi kegiatan manusia yang tidak pernah henti-hentinya.
Mengukir pinggiran taman kota adalah mengobati kejenuhan selama duduk di bangku sekolah yang seharian tidak pernah habisnya membahas tentang teori-teori Archimedes. Penat itulah yang dirasakan oleh Inggit gadis berusia 17 tahun.
            “Lagi-lagi nilai IPA gue mengenaskan!” gerutu Inggit sambil bercemin di kolam taman Kota. Sudah berusaha dengan keras, tetapi belum dijodohkan dengan nilai yang memuaskan.
            “Toloooong… tolong…!” suara yang mengalihkan lamunannya.
            “Hiaaat, jiaat! Hap! Argh! Mau kemana kamu?” tinjuan, serangan dan tangkisan gagah memancing puluhan pasang mata tertuju ke arah keributan.
            “Plak! Plak, plak!” tamparan yang berkali-kali terkena wajah pemuda tiada ada rasa tega untuk berhenti bak pukulan aktor ternama Jacki Chan.
            “Bruggh!” pukulan keras, terhantam dengan tepat di pelipis pemuda yang berpakaian serba hitam, dan pria tersebut tak sadarkan diri dalam nafas yang masih sempurna.
            Puluhan pasangan mata itu tidak bosannya berkomat-kamit melihat kejadian yang jarang ditemukan di keramaian taman kota. Seorang perempuan berpakaian putih abu-abu, telah bertarung dan mengalahkan pria berbadan kekar dengan wajah yang sangat menyeramkan.
            “Wahh, si eneng keren!”
            “Gadis yang pintar”
            “Manis, pintar  bertarung”
            “Wonder woman euleh euleuh!”
            Wajahnya memerah tomat, gadis berkerudung itu tidak pernah menyangka bisa mengalahkan pria yang dua kali lipat tubuhnya lebih besar dibandingkan dengannya. Padahal sabuknya baru kuning, dia belum naik sabuk. Amarah karena nilai IPA yang selalu tidak bersahabat ternyata telah menguntungkannya bisa menjadi superhero ditengah keramian orang.
            “Dek, Terimakasih!” Menyeka peluh di dahinya, segera mengulurkan tangan.
            Pria berkemeja biru muda itu, tetap menunggu sambutan tangan mungil Inggit. Wajah Inggit menatap sosok pria yang kini berada dihadapannya. Lesung pipi yang menghiasi wajah ovalnya, rambutnya yang tak karuan berantakan, belum lagi kemeja mahalnya kotor oleh tanah kering. Tapi senyuman pria itu menghipnotisnya, kaku tak bergerak.
            “Dek!” tepukan datang dibahu Inggit.
            “Oh iya, iya. Maaf, maaf, maaf. Makasih untuk apa a?” Gadis kelas 3 SMA itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
            “Tadi, saya yang berteriak minta tolong” ucapnya penuh dengan rasa yang bergemuruh di hatinya. Bahagia karena tas berisi uangnya terselamatkan, malu karena dia ditolong oleh gadis mungil nan manis, belum lagi ditonton oleh puluhan pasang mata yang sedang berada di taman Kota.
            Melihat geraknya yang kaku, setiap langkah kaki berpergian meninggalkan sepasang mahluk yang saling terpesona. Meninggalkan penuh kekagamuan melihat wonder woman berkostum seragam SMA. Dan penjahat pria hitam itu sudah digiring oleh petugas keamanan.
            “Marwan”
            “Inggit”
            Senja yang indah. Menolong orang sudah biasa dilakukan oleh gadis bebulu mata lentik tersebut. Tapi, sosok yang tidak sengaja dia tolong adalah pria yang bagaikan artis ibukota, membawa berkuntum bunga mawar,  berambut ikal, muka yang perpaduan jepang dan Indonesia, simpulan senyum lesung pipinya yang membuat dirinya tambah manis dan mempesona.

*~*~*
            “Namanya Marwan, bawa bunga mawar yang banyak pisan Ma!” wajah berkemeja biru muda itu tidak pernah hentinya hilang dari bayangan yang jatuh di matanya.
            “Serius loh Ingg! Kaya iklan wae.”
            “Serius!”
            “Ehh, kamu kan alergi bunga mawar!” 
            Rima, sahabat satu bangku sejak Sekolah Dasarnya tetap menjadi teman setianya. Mengetahui lekuk seluruh sifat Inggit sang jurnalis yang pandai karate. Sikapnya yang tomboy, pintar, mendapatkan nilai di atas 8 kecuali IPA, supel, selalu menjadi bahan perbincangan para siswa SMA Karya 1.
Begitu banyak keindahan yang jatuh dalam pribadi Inggit, hingga setiap hari tidak pernah lepas di kolong mejanya selalu hadir sekuntum atau berkuntum bunga mawar  hadiah dari penggemar gelapnya. Sedikit sekali siswa SMA Karya 1 yang berani mecantumkan namanya di bunga tersebut. Bersiaplah, maka serangan pukulannya akan hadir kepada pengirim bunga.
Bersinlah setiap hari tanpa pernah absen dari kesehariannya di sekolah ,seketika mencium wangi mawar di kolong mejanya.  Rima dan teman-teman sekelasnyapun merasakan bahagia, karena selalu mendapat bunga dari Inggit.
Senja kemarin, selain senja yang indah ada satu hal yang sangat ajaib. Inggit tidak bersin ketika berkenalan dengan Pria berusia 20 tahun yang memegang berkuntum-kuntum bunga mawar dengan warna yang bervariasi.
“Itu jodoh mu, Git. Hebat!” goda Rima melihat Inggit yang sejak tadi kebingungan dengan rasa yang membuncah di hatinya, ntahlah dia tak tahu rasa apa yang tertanam kini dihatinya. Apakah itu cinta? Ntahlah.
“Jodoh?” tanyanya dalam hati. “Semoga” tambahnya, sambil membuat simpulan senyuman indah.

*~*~*
            “Inggit berangkat ya bu! Mau meliput!” Menancap dengan kekuatan ekstra, mengayuh sepedanya dengan lincah.
            “Iya nak! Hati-hati… sukses meliputnya!” balas teriak ibunya seraya menutup pintu.
            Pagi yang bersahabat, membungkus kehangatan yang kemudian menyebarkan sinarnya ke penjuru dunia. Udara di minggu ini pun begitu segar, sangat segar untuk Inggit karena tidak bertemu dengan mata pelajaran IPA.
Pukul 20.00 WIB, semalam tadi dia mendapat kemudahan untuk mewancarai alumni SMA Karya yang sudah sukses, kuliah lancar dengan bisnis, mendapatkan beasiswa, sering mengikuti lomba, dan dia menjuarainya. Deskripsi sosok tersebut yang disampaikan melalui SMS oleh Alba ketua Jurnalistik disekolahnya, membuat hati Inggit penasaran dan ingin mengenali alumni yang begitu menyihir pikirannya. Gadis yang tak pernah mengenal arti kata pacaran tersebut, tidak sabar merampok ilmu kesuksesan yang telah ditorehkan oleh alumni tersebut.
“Adakah Kaze disini mba? Tadi ketua saya telah menghubunginya, dan saya akan mewancarainya mba!” ucap Inggit dengan memasang senyum termanis, berharap penjaga toko berdarah jawa itu bisa terpencut dengan mudahnya. Dan mengabulkan permohonannya.
“Oalah, sopo? Nggak ada yang namanya itu! Salah alamat jenengan!” jawab wanita berkepang sambil merangkai bunga mawar.
“Kaze mba! Ini jelas alamatnya!” kertas yang sedikit lusuh itu masih tertulis dengan jelas alamat yang dia tuju, dan sesuai.
“Iya, cahayu! Tapi nggak ada yang namanya Kaze disini!” wanita jawa itu tetap setia merangkai bunga.
“ Ada apa mba Tantri?” keluar lelaki yang tinggi, berpakian kaos bertuliskan “ I love Bandung” sambil memegang secangkir teh, dan Koran ditangan kirinya.
“Hai dek!” sambutnya dengan penuh kehangatan dan sambutan terhormat yang pertama kali baru Inggit rasakan.
Kaze adalah nama pena  dari Marwan. Seorang yang sangat berprestasi dimasanya. Semakin meluluhkan hati Inggit yang keras untuk menjalin hubungan dekat dengan kaum adam. Wawancara seputar kesuksesan alumni SMA Karya 1, lebih  mulus dari jalan tol. Bahkan wawancara yang ditargetkan hanya 30 menit, mengulur lebih hingga 3 jam. Bukan lagi membahas untuk hasil tulisannya yang akan dimuat di majalah.
Kisah menarik hidup Marwan atau Arwan panggilan akrabnya yang menjadi trand topic. Lelaki yang pernah juara di tiga besar olimpieade IPA, menjanjikan akan menjadikan dirinya sebagi guru IPA untuk Inggit, tanpa dibayar. Arwan hanya bisa memberkan pembelajaran materi kesukaannya yaitu IPA sebagai balasan atas kebaikan yang telah Inggit lakukan sehari yang lalu. Kagum, itulah rasa yang mengalir dalam aliran darah dua mahluk hidup tersebut. Ya, mereka saling mengaggumi.
*~*~*
            Setiap hari, sepulang sekolah Inggit tidak pernah absen untuk datang ke tokonya. Ajaib. Bunga-bunga mawar yang dijual di toko bunga miliki Arwan, tidak pernah membuat gadis bergigi kelinci tersebut bersin.
            Materi IPA yang membosankan kini disulap oleh mahasiswa tingkat 4 itu menjadi materi pelajaran yang begitu menyenangkan bagi Inggit. Alunan nada romantis, belum lagi disekelilingi oleh puluhan jenis bunga yang sedang bermekaran memebuat suasananya yang sangat indah seperti di film-film drama cinta. “Dia jodohko!” ucapnya dalam hati, sambil mengerjakan soal IPA.
            Perbincangan mengenai keluarga masing-masing, menjadi selingan yang mengasyikkan untuk mereka. Mengenai keadaan Arwan yang harus bangkit dari kesebatang karaan, pahit getir kehidupannya.
            “Ibu mu hebat ya dek! Usianya masih muda, bisa mendidik seorang gadis manis, yang cerdas, baik hati pintar kareta pula. Hebat mendidikmu, tanpa ditemani oleh seorang ayah” pujinya dengan sambil memberikan secangkir teh hangat manis.
*~*~*
            “Beberapa hari ini, kamu sering mendapatkan bunga mawar dari ka Arwan ya! Lihat ruang tamu, dan kamarmu penuh dengan bunga mawar, sayang! Ibu rasa dia suka kamu nak! Oh iya, sayang. Rima, sedih kehilangan dirimu tuh, kalian bertengkar? Ayolah jangan ke toko bunga saja! Bergaul lagilah dengan teman-teman sekelasmu. Ibu rindu sama Inggit yang supel, atau anak ibu jatuh cinta dengan penjual bunga itu” dapur harum akan masakkan yang sedang ibu racik dengan perpaduan bumbu takaran ibu.
            “Ahh ibu!” Ucap Inggit sambil memainkan bunga-bunga yang berada di atas meja makan. “Ya, bu. Apakah ini cinta? Inggit selalu nyaman dengannya, lebih nyaman   dibanding berada bersama Rima dan teman-teman sekelas yang lainnya. Inggit tenang bersamanya, dia jodohku bu, tidak ada yang bisa menghalangi Inggit dengan ka Arwan Kaze” berkata penuh harapan dalam hatinya sambil menatap ibunya yang sedang siap menyajikan sop ayam.
            Sop yang begitu nikmat, apalagi di depanya ada seorang pria yang ikut makan bersamanya. Ah ayah, lupakan! Ayah baginya adalah penghkianat, teganya meninggalkan ibu dengan perempuan lain. Membuat ibu luluh lantah, merawat diri Inggit sendirian sejak satu tahun usianya. Sop ini sudah nikmat. Dimakan bersama orang tersayang, yaitu Ibu, terlebih sosok pria dengan kemeja biru yang kotor terkena tanah, Marwan.
            “Kau, habiskan ya Nak! Ada tamu”. Ibu meninggalkan sop ayamnya yang tinggal setengah lagi habis.
*~*~*
            “Melamar? Bisakah kau tunggu dia hingga lulus SMA? Dia sebentar lagi akan menempuh UN, tentu dek Arwan bisa menunggu dengan sabar ya?” ucapan ibu membuat sendok Inggit terjatuh.
            “Kak Arwan, ingin melamarku? Dia, memang jodohku” tetesan air mata membasahi lesungan pipi gadis mungil tersebut. Makanannya belum habis, dia tak kuasa melangkahkan kaki untuk mengintip di balik daun pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang makan. Dia tak sabar menyaksikan, permohonan yang penuh harap sosok lelelki yang akan menjadi seperuh hidupnya, melihat reaksi ibu, dia tak sabar.
            “Ibu, maaf. Saya ingin melamar ibu. Bukan Inggit”
            “Apa? Saya?”
            “Ibu, hebat! Bisa mendidik Inggit menjadi sosok anak gadis yang begitu patuh, taat, baik hati, cerdas. Saya pun ingin membersamai ibu, untuk mendidiknya. Maukah ibu menjadi istri saya?”
            Senja itu begitu menusuk. Mematahkan setiap tulang yang sudah bersedia menyambut relung jiwa lelaki bermuka japanis. Membuatnya menatap nanar setiap bunga pemberiannya. Bunga mawar itu ternyata untuk ibunya, bukan untuk gadis yang sudah membuka hatinya dengan terbuka. “Bunga Marwan untuk ibu? Lamarannya untuk ibu” penuh luka menuju kamar, dan menutup pintu rapat-rapat.  
           





Anis Sofia © 2016