Alunan depape
menghantarkan jemari ku untuk segera bermain keyboard notebook biru. Rindu
rasanya dengan si biru, terlebih lagi kepala ini pusing tak kuat menahan
kegemasan ingin segera mengetik menceritakan tentang suatu hal yang begitu membahagiakan.
Lagi, dan semoga tidak bosan izinkan ku bermesraan dengan Rumah Dunia.
Minggu, 21 Maret 2013. Hari kartini
bukan? Bukan sekedar itu, hari istirahat yang tidak seperti biasanya mataharinya
begitu terik, membuat siapa saja ingin berbetah lama-lama di dalam rumah,
menikmati kasur empuk atau menikmati es kelapa. Ahh, sungguh enaknya. Ya, hari
lalu kemalasan sangat menyayat jiwaku, cuaca yang panas, mata yang tidak kuat
untuk dibawa tidur, dan pedal sepeda yang lepas. Oke, kalau mengikuti rasa
malas, tidak akan maju-maju. So, akhirnya berjalan menenteng sepeda dari
pondokan menuju jalan raya yang wow lumayan bikin gempor hu.
Alhasil datang ke Rumah Dunia dalam
keadaan acara bedah bukunya sudah
dimulai dan menyisakan sisa sisa kursi belakang. Pasti kalau bertanya susah
dilirik oleh MC untuk diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, dan
benar saja tiga kali berdiri tidak bisa mengalihka pandangan mc untuk
memilihku. Tapi semua terobati ketika Ka Salam, Ka Ardian Je, Bang Jack, Asep
memberikan bukunya kepadaku secara cuma-cuma. Mereka tahu saja kalau isi
dompetku sangat mengenaskan.
Semakin cinta
Adalah hari terindah yang Allah berikan
di rumah dunia, tapi aku yakin masih ada hari-hari indah yang Allah siapkan untuku, sangat percaya itu.
Selain bangga melihat relawan Rumah Dunia yang sudah ku anggap sebagai sahabat,
guru kehidupan yang merayakan kebahagian
karena telah melahirkan anak batin dari proses kreatifnya. Ada hal yang membuat ku semakin menaruh cinta
pada Rumah Dunia.
Di bawah gelapnya malam, yang hanya
berhiaskan lampu teaterlah yang menghantarkan rasa cinta itu. Ada apa dengan
malam? Rasanya malam memanglah waktu yang membuat kesunyian menjadi kebahagian
atau sebaliknya.
Musikalisasi
puisi, teater yang diperankan oleh Ka Ardian Je, Ka Wayang, Uni, Aeny,
pembacaan puisi, pertunjukan lagu hip hop, petikan gitarnya ka Ruli, lantunan
gitar Getah Alas untuk kekasihnya, dan kehebohan relawan bernyanyi ria. Ada satu
performance yang sungguh memesona bagiku.
Inilah sekelompok
anak-anak kecil Rumah Dunia, bermusikalisasi dengan suaranya yang merdu
diiringi petikan indah gitar oleh Pak Firman. Itulah pertama kalinya, kedua
lensa mata ini menyaksikan kembali “anak kecil” sesungguhnya. Ceria ria dengan
berdendang lagu anak-anaknya, bernari dengan lincah tanpa malu-malu.
Cobalah lihat
eksperesi dari seorang anak laki-laki yang menjadi komando setiap penampilan
mereka. Ahh siapa dia, suatu saat harus dekat dengannya. Anak laki-laki itu
begitu menghayati setiap lirik lagu yang dibawakan. Ada satu lagu yang membuat
batin terenyuh, bukan karena cengeng atau karena anak laki-laki itu menangis
ketika bernyanyi. Adalah tatapan tulus matanya yang berbicara kepadaku akan
sebuah getirnya kehidupan. Sungguh, merasa menyesal tidak merekamnya, ingin
sekali kutuliskan liriknya. “Kenapa meminta-minta? Padahal kita masih berkerja”
kalau tak salah itu bagian liriknya.
Sungguh,
sungguh, saat itu level rasa hati ini semakin bertambah. Anak kecil dengan
dunianya, dan rumah dunia menghantarkan mereka pada cinta sesungguhnya, sungguh
cintaku semakin menjadi-jadi.
Katakan kalau ini bukan mimpi!
Rumah Dunia, dua kata tersebut
dapat kukenal dari seorang wartawan yang selalu berkunjung ke SMA ku saat ku
masih menggunakan seragam abu-abu, ialah Ka Harir Baldan. Sebelum mengenal
Rumah Dunia, ternyata ketika aku duduk di bangku SMP, aku sudah mengenal mas
Gong. Bukan dari bukunya, atau
pelatihan-pelatihan menulisnya, bukan!
Masa SMP
adalah masa-masa ku tiada hari tanpa menonton tv. Selalu ada cuplikan pengarang
skenarionya ya kan? Dan kudapati nama Gol A Gong. Ada bagian memori ingatan ku
yang hilang di bagian mananya ku mengetahui kalau Gol A Gong adalah orang
Banten. Pada akhirnya, membuatku sadar bahwa Banten bukanlah suatu provinsi
yang hanya terkenal akan kekerasanya, tetapi ada seorang penulis yang begitu
terkenal. Melalui mas Gong, membuatku bangga akan Banten.
Ketika menjadi peserta KMRD 21 (kelas
menulis rumah dunia 21), tidak hanya mengagumi Mas Gong, seluruhnya aku kagumi.
Mba Tyas yang sangat lembut, Azka dan Odie kekocakkan dan kelucuannya yang
menggemaskan, Bella pendiamnya yang emas, dan Abi mengaguminya dari jauh, anak
laki-laki yang belajar di Abu Dhabi. Mereka sangat menggumkan.
Mas gong dan Mba Tyas, kini bisa
menikmati hasil peluhnya bertahun-tahun memperjuangkan literasi di Banten. Merekalah
inspirator penggerak jemariku untuk selalu berusaha mengetik, mengeluarkan ide.
Mas Gong dengan satu lengannya saja bisa terus menulis, menysukuri 26 huruf
yang diberikan Maha Kuasa, mengapa aku tidak? Walaupun masih ingusan dengan
dunia kata-kata aku tetap berusaha mengasah jemari dan pikiranku agar lincah. Sungguh
bahagianya bisa berjumpa, mengenal Mas Gong, Mba Tyas, Bela, Abi, Odie, Azka,
dan para relawan dengan kegokilannya.
Please, Katakan kalau ini memang
bukan mimpi!
Setelah mengaguminya, tentunya
ingin dekat denganya bukan? Itulah seorang pengagum. Begitupun dengan aku,
walaupun dilahirkan dengan ada unsur pendiam dalam diriku, tapi ingin dekat
dengan orang yang kukagumi adalah suatu kebahagian. Dan please, Katakan
kalau ini bukan mimpi! ketika selama semalaman saya bisa menginap dan merasakan
kehidupan penulis. Tak apalah orang menganggapku sebagai orang yang “alay”. Pokoknya
aku bahagia! Sangat bahagia! Sempat bertanya pada diri, “Kebaikan apa yang
telah ku lakukan hari ini? Mmh, padahal tahajud kesiangan, dhuha kebablasan
karena ada manasik haji” sungguh agak futur. Tapi, sang Pecinta itu memang
baik, taka da yang melebihi kebaikanNya, dan Dia memang segalanya tahu apa yang
kuinginkan dan kubutuhkan J
Berawal dari rasa penasaran untuk
menikmati malam di Rumah Dunia, akhirnya kegalauan pulang malam-malam aku
hempaskan begitu saja. Walau pada minggu malam, aku sedikit nakal dengan
membolos dari kegiatan pengajian di pondokan. “Ahh tapi tidak bolos kok, saya
sudah izin sama ibu asrama, lagian biasanya ustad tidak suka datang”. Rasa nekat inilah yang membuatku bisa
merasakan kehidupan keluarga penulis walaupun selama semalaman.
Azka dan Odie, kedua bocah itu sangat
menggemaskan. Sekilas membuat rinduku semakin menjadi kepada de Kiki, ah
merindu. Mereka memang anak kecil dengan dihiasi dengan kepolosan, kelucuan
juga kenakalan. Jarum jam menunjukan 23.00 mereka tetap saja berisik dengan
terus mengajakku bermain-main, rupanya batrai mereka belum habis. Terus saja
bermain, sangat menyenangkan bisa melihat tawa lepas mereka. Rambutnya Odie
yang kribo menambah dia semakin lucu saja. Belum lagi Mba Tyas, selalu marah
(ahh tapi bukan marah, karena tetap saja suaranya begitu lembut dan
menenangkan) mungkin lebih tepatnya menasehati.
Ketika sibuk
bermain dengan Azka dan Odie. Bela sedang santainya menyetrika. Jika mengingat
dulu, dimana aku duduk di kelas 3 SMP dan besoknya menghadapi UN, tetap saja
sibuk berjibaku dengan buku-buku. Tapi berbeda dengan Bela, dia
bernyanyi-nyanyi sambil menyetrika pakaian. Teh dingin dan potongan-potongan
gorengan dihidangkan dihadapan aku, Odie, Azka, dan Aeny. Gemasnya melihat
kelakuan dua bocah tersebut, minum dan makan dengan lahapnya, kemudian meminum teh
jatah miliknya Bela.
Menaiki tangga,
menggotong kasur dari lantai 2, menjatuhkannya ke lantai 1, bermain tepukan
dengan Azka, memainkan rambut Odie, mengobrol dengan Bela, berbincang dengan
Mba Tyas, meminum teh, memakan potongan gorengan, melihat wajah kagetnya Bela
ketika bangun kesiangan, sibuknya Mba Tyas menasehati Odie dan Azka bergegas
siap ke sekolah, Odie yang bukan memasukan buku melainkan bola dan sandal ke
tasnya, menyantap brownies bersama Aeny dan Abil. Ahhh sungguh banyak peristiwa
yang terkesan bagi kebanyakan orang itu adalah hal biasa, tapi berbeda
denganku, semua itu bermakna.
Apalagi yang
akan ku ketik? Hmm hanya ada penyesalan. “Menyesal, kenapa tidak dari semester
1 saja ku menjadi bagian Rumah Dunia?”. Tetap bersyukur walaupun kini semester
6, tapi bisa diberikan kesempatan.
Selasa,
23 April 2013
07.10 WIB
Sudut kamar,
dalam kondisi mengenaskan hidung tersumbat.