Bunga
Marwan
Matahari kini mualai meredup,
pancaran cahayanya kian berkurang. Desingan suara kendaraan, semakin memekkan
telinga. Maklum pukul saat ini menunjukkan jam pulang dari rutinitas, kerja,
sekolah, berdagang dan masih banyak lagi kegiatan manusia yang tidak pernah
henti-hentinya.
Mengukir
pinggiran taman kota adalah mengobati kejenuhan selama duduk di bangku sekolah
yang seharian tidak pernah habisnya membahas tentang teori-teori Archimedes.
Penat itulah yang dirasakan oleh Inggit gadis berusia 17 tahun.
“Lagi-lagi nilai IPA gue
mengenaskan!” gerutu Inggit sambil bercemin di kolam taman Kota. Sudah berusaha
dengan keras, tetapi belum dijodohkan dengan nilai yang memuaskan.
“Toloooong… tolong…!” suara yang
mengalihkan lamunannya.
“Hiaaat, jiaat! Hap! Argh! Mau
kemana kamu?” tinjuan, serangan dan tangkisan gagah memancing puluhan pasang
mata tertuju ke arah keributan.
“Plak! Plak, plak!” tamparan yang
berkali-kali terkena wajah pemuda tiada ada rasa tega untuk berhenti bak
pukulan aktor ternama Jacki Chan.
“Bruggh!” pukulan keras, terhantam
dengan tepat di pelipis pemuda yang berpakaian serba hitam, dan pria tersebut
tak sadarkan diri dalam nafas yang masih sempurna.
Puluhan pasangan mata itu tidak bosannya
berkomat-kamit melihat kejadian yang jarang ditemukan di keramaian taman kota.
Seorang perempuan berpakaian putih abu-abu, telah bertarung dan mengalahkan
pria berbadan kekar dengan wajah yang sangat menyeramkan.
“Wahh, si eneng keren!”
“Gadis yang pintar”
“Manis, pintar bertarung”
“Wonder woman euleh euleuh!”
Wajahnya memerah tomat, gadis
berkerudung itu tidak pernah menyangka bisa mengalahkan pria yang dua kali
lipat tubuhnya lebih besar dibandingkan dengannya. Padahal sabuknya baru
kuning, dia belum naik sabuk. Amarah karena nilai IPA yang selalu tidak
bersahabat ternyata telah menguntungkannya bisa menjadi superhero ditengah
keramian orang.
“Dek, Terimakasih!” Menyeka peluh di
dahinya, segera mengulurkan tangan.
Pria berkemeja biru muda itu, tetap
menunggu sambutan tangan mungil Inggit. Wajah Inggit menatap sosok pria yang
kini berada dihadapannya. Lesung pipi yang menghiasi wajah ovalnya, rambutnya
yang tak karuan berantakan, belum lagi kemeja mahalnya kotor oleh tanah kering.
Tapi senyuman pria itu menghipnotisnya, kaku tak bergerak.
“Dek!” tepukan datang dibahu Inggit.
“Oh iya, iya. Maaf, maaf, maaf.
Makasih untuk apa a?” Gadis kelas 3 SMA itu menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.
“Tadi, saya yang berteriak minta
tolong” ucapnya penuh dengan rasa yang bergemuruh di hatinya. Bahagia karena
tas berisi uangnya terselamatkan, malu karena dia ditolong oleh gadis mungil
nan manis, belum lagi ditonton oleh puluhan pasang mata yang sedang berada di
taman Kota.
Melihat geraknya yang kaku, setiap
langkah kaki berpergian meninggalkan sepasang mahluk yang saling terpesona.
Meninggalkan penuh kekagamuan melihat wonder woman berkostum seragam
SMA. Dan penjahat pria hitam itu sudah digiring oleh petugas keamanan.
“Marwan”
“Inggit”
Senja yang indah. Menolong orang
sudah biasa dilakukan oleh gadis bebulu mata lentik tersebut. Tapi, sosok yang
tidak sengaja dia tolong adalah pria yang bagaikan artis ibukota, membawa
berkuntum bunga mawar, berambut ikal,
muka yang perpaduan jepang dan Indonesia, simpulan senyum lesung pipinya yang
membuat dirinya tambah manis dan mempesona.
*~*~*
“Namanya Marwan, bawa bunga mawar
yang banyak pisan Ma!” wajah berkemeja biru muda itu tidak pernah hentinya
hilang dari bayangan yang jatuh di matanya.
“Serius loh Ingg! Kaya iklan wae.”
“Serius!”
“Ehh, kamu kan alergi bunga
mawar!”
Rima, sahabat satu bangku sejak
Sekolah Dasarnya tetap menjadi teman setianya. Mengetahui lekuk seluruh sifat
Inggit sang jurnalis yang pandai karate. Sikapnya yang tomboy, pintar, mendapatkan
nilai di atas 8 kecuali IPA, supel, selalu menjadi bahan perbincangan para
siswa SMA Karya 1.
Begitu
banyak keindahan yang jatuh dalam pribadi Inggit, hingga setiap hari tidak
pernah lepas di kolong mejanya selalu hadir sekuntum atau berkuntum bunga
mawar hadiah dari penggemar gelapnya. Sedikit
sekali siswa SMA Karya 1 yang berani mecantumkan namanya di bunga tersebut.
Bersiaplah, maka serangan pukulannya akan hadir kepada pengirim bunga.
Bersinlah
setiap hari tanpa pernah absen dari kesehariannya di sekolah ,seketika mencium
wangi mawar di kolong mejanya. Rima dan
teman-teman sekelasnyapun merasakan bahagia, karena selalu mendapat bunga dari
Inggit.
Senja
kemarin, selain senja yang indah ada satu hal yang sangat ajaib. Inggit tidak
bersin ketika berkenalan dengan Pria berusia 20 tahun yang memegang
berkuntum-kuntum bunga mawar dengan warna yang bervariasi.
“Itu
jodoh mu, Git. Hebat!” goda Rima melihat Inggit yang sejak tadi kebingungan
dengan rasa yang membuncah di hatinya, ntahlah dia tak tahu rasa apa yang
tertanam kini dihatinya. Apakah itu cinta? Ntahlah.
“Jodoh?”
tanyanya dalam hati. “Semoga” tambahnya, sambil membuat simpulan senyuman
indah.
*~*~*
“Inggit berangkat ya bu! Mau
meliput!” Menancap dengan kekuatan ekstra, mengayuh sepedanya dengan lincah.
“Iya nak! Hati-hati… sukses meliputnya!”
balas teriak ibunya seraya menutup pintu.
Pagi yang bersahabat, membungkus kehangatan
yang kemudian menyebarkan sinarnya ke penjuru dunia. Udara di minggu ini pun
begitu segar, sangat segar untuk Inggit karena tidak bertemu dengan mata
pelajaran IPA.
Pukul
20.00 WIB, semalam tadi dia mendapat kemudahan untuk mewancarai alumni SMA
Karya yang sudah sukses, kuliah lancar dengan bisnis, mendapatkan beasiswa,
sering mengikuti lomba, dan dia menjuarainya. Deskripsi sosok tersebut yang
disampaikan melalui SMS oleh Alba ketua Jurnalistik disekolahnya, membuat hati
Inggit penasaran dan ingin mengenali alumni yang begitu menyihir pikirannya.
Gadis yang tak pernah mengenal arti kata pacaran tersebut, tidak sabar merampok
ilmu kesuksesan yang telah ditorehkan oleh alumni tersebut.
“Adakah
Kaze disini mba? Tadi ketua saya telah menghubunginya, dan saya akan
mewancarainya mba!” ucap Inggit dengan memasang senyum termanis, berharap
penjaga toko berdarah jawa itu bisa terpencut dengan mudahnya. Dan mengabulkan permohonannya.
“Oalah,
sopo? Nggak ada yang namanya itu! Salah alamat jenengan!” jawab wanita
berkepang sambil merangkai bunga mawar.
“Kaze
mba! Ini jelas alamatnya!” kertas yang sedikit lusuh itu masih tertulis dengan
jelas alamat yang dia tuju, dan sesuai.
“Iya,
cahayu! Tapi nggak ada yang namanya Kaze disini!” wanita jawa itu tetap setia
merangkai bunga.
“
Ada apa mba Tantri?” keluar lelaki yang tinggi, berpakian kaos bertuliskan “ I
love Bandung” sambil memegang secangkir teh, dan Koran ditangan kirinya.
“Hai
dek!” sambutnya dengan penuh kehangatan dan sambutan terhormat yang pertama
kali baru Inggit rasakan.
Kaze
adalah nama pena dari Marwan. Seorang
yang sangat berprestasi dimasanya. Semakin meluluhkan hati Inggit yang keras
untuk menjalin hubungan dekat dengan kaum adam. Wawancara seputar kesuksesan
alumni SMA Karya 1, lebih mulus dari
jalan tol. Bahkan wawancara yang ditargetkan hanya 30 menit, mengulur lebih
hingga 3 jam. Bukan lagi membahas untuk hasil tulisannya yang akan dimuat di
majalah.
Kisah
menarik hidup Marwan atau Arwan panggilan akrabnya yang menjadi trand topic.
Lelaki yang pernah juara di tiga besar olimpieade IPA, menjanjikan akan
menjadikan dirinya sebagi guru IPA untuk Inggit, tanpa dibayar. Arwan hanya
bisa memberkan pembelajaran materi kesukaannya yaitu IPA sebagai balasan atas
kebaikan yang telah Inggit lakukan sehari yang lalu. Kagum, itulah rasa yang
mengalir dalam aliran darah dua mahluk hidup tersebut. Ya, mereka saling
mengaggumi.
*~*~*
Setiap hari, sepulang sekolah Inggit
tidak pernah absen untuk datang ke tokonya. Ajaib. Bunga-bunga mawar yang
dijual di toko bunga miliki Arwan, tidak pernah membuat gadis bergigi kelinci
tersebut bersin.
Materi IPA yang membosankan kini
disulap oleh mahasiswa tingkat 4 itu menjadi materi pelajaran yang begitu
menyenangkan bagi Inggit. Alunan nada romantis, belum lagi disekelilingi oleh
puluhan jenis bunga yang sedang bermekaran memebuat suasananya yang sangat
indah seperti di film-film drama cinta. “Dia jodohko!” ucapnya dalam hati,
sambil mengerjakan soal IPA.
Perbincangan mengenai keluarga
masing-masing, menjadi selingan yang mengasyikkan untuk mereka. Mengenai
keadaan Arwan yang harus bangkit dari kesebatang karaan, pahit getir
kehidupannya.
“Ibu mu hebat ya dek! Usianya masih
muda, bisa mendidik seorang gadis manis, yang cerdas, baik hati pintar kareta
pula. Hebat mendidikmu, tanpa ditemani oleh seorang ayah” pujinya dengan sambil
memberikan secangkir teh hangat manis.
*~*~*
“Beberapa hari ini, kamu sering
mendapatkan bunga mawar dari ka Arwan ya! Lihat ruang tamu, dan kamarmu penuh
dengan bunga mawar, sayang! Ibu rasa dia suka kamu nak! Oh iya, sayang. Rima,
sedih kehilangan dirimu tuh, kalian bertengkar? Ayolah jangan ke toko bunga
saja! Bergaul lagilah dengan teman-teman sekelasmu. Ibu rindu sama Inggit yang
supel, atau anak ibu jatuh cinta dengan penjual bunga itu” dapur harum akan
masakkan yang sedang ibu racik dengan perpaduan bumbu takaran ibu.
“Ahh ibu!” Ucap Inggit sambil
memainkan bunga-bunga yang berada di atas meja makan. “Ya, bu. Apakah ini
cinta? Inggit selalu nyaman dengannya, lebih nyaman dibanding berada bersama Rima dan
teman-teman sekelas yang lainnya. Inggit tenang bersamanya, dia jodohku bu,
tidak ada yang bisa menghalangi Inggit dengan ka Arwan Kaze” berkata penuh
harapan dalam hatinya sambil menatap ibunya yang sedang siap menyajikan sop
ayam.
Sop yang begitu nikmat, apalagi di
depanya ada seorang pria yang ikut makan bersamanya. Ah ayah, lupakan! Ayah
baginya adalah penghkianat, teganya meninggalkan ibu dengan perempuan lain.
Membuat ibu luluh lantah, merawat diri Inggit sendirian sejak satu tahun
usianya. Sop ini sudah nikmat. Dimakan bersama orang tersayang, yaitu Ibu,
terlebih sosok pria dengan kemeja biru yang kotor terkena tanah, Marwan.
“Kau, habiskan ya Nak! Ada tamu”.
Ibu meninggalkan sop ayamnya yang tinggal setengah lagi habis.
*~*~*
“Melamar? Bisakah kau tunggu dia
hingga lulus SMA? Dia sebentar lagi akan menempuh UN, tentu dek Arwan bisa
menunggu dengan sabar ya?” ucapan ibu membuat sendok Inggit terjatuh.
“Kak Arwan, ingin melamarku? Dia,
memang jodohku” tetesan air mata membasahi lesungan pipi gadis mungil tersebut.
Makanannya belum habis, dia tak kuasa melangkahkan kaki untuk mengintip di
balik daun pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang makan. Dia tak
sabar menyaksikan, permohonan yang penuh harap sosok lelelki yang akan menjadi
seperuh hidupnya, melihat reaksi ibu, dia tak sabar.
“Ibu, maaf. Saya ingin melamar ibu.
Bukan Inggit”
“Apa? Saya?”
“Ibu, hebat! Bisa mendidik Inggit
menjadi sosok anak gadis yang begitu patuh, taat, baik hati, cerdas. Saya pun
ingin membersamai ibu, untuk mendidiknya. Maukah ibu menjadi istri saya?”
Senja itu begitu menusuk. Mematahkan
setiap tulang yang sudah bersedia menyambut relung jiwa lelaki bermuka japanis.
Membuatnya menatap nanar setiap bunga pemberiannya. Bunga mawar itu ternyata
untuk ibunya, bukan untuk gadis yang sudah membuka hatinya dengan terbuka.
“Bunga Marwan untuk ibu? Lamarannya untuk ibu” penuh luka menuju kamar, dan
menutup pintu rapat-rapat.
0 komentar:
Posting Komentar