Jumat, 23 Oktober 2020


“Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolangan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” (Moh. Natsir, mengutip Dr. G. Nieuwenhius)

Guru? Satu profesi yang tidak pernah aku idam-idamkan sebelumnya. TNI wanita, dokter, penulis, pelukis adalah daftar nama profesi yang aku cita-citakan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Hingga tingkat akhir SMA, ibu dan bapak kompak mengarahkan aku untuk berkuliah di Fakultas Keguruan dengan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Apakah aku mau? Saat itu untuk kuliah pun enggan. Aku memilih megambil jurusan Sastra Indonesia dalam setiap pilihan tes  masuk perguruan tinggi, tidak lupa aku menyandingkan PGSD sebagai pilihan berikutnya. Walaupun  aku nakal, aku masih takut akan dikutuk karena telah menjadi anak durhaka.

Tuhan mengamini keinginan kedua orangtua, 2010 aku menjadi mahasiswa PGSD di Untirta Banten. 

“Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling cocok untuk seorang wanita, Teh! Di mana hari libur, anak kamu nanti libur, dan kamu juga tentunya libur, belum lagi pagi sampai siang kamu di sekolah. Setelah itu kamu bisa mengurusi suamimu nanti” kurang lebih itu yang diucapkan oleh bapak dan ibu tujuh tahun yang lalu. Lulusan SMA dinasehati seperti itu? Aku tak paham!

Hingga seperempat abad menghampiri diriku, aku setuju dengan perkataan mereka.  Tidak ada yang lebih membahagiakan dari seorang wanita selain melihat tumbuh kembang anaknya sendiri. Usia emas seorang anak tentunya tidak akan pernah terulang bukan? 

Aku profesional?
Tujuh tahun bukanlah waktu yang tepat jika dikatakan bahwa aku sudah ahli dalam dunia pendidikan. Wong buat RPP, silabus, mengajar diawasi dosen dan guru pamong saja aku masih keringat dingin. Dan aku tidak cukup dikatakan profesional karena pernah mengajar satu tahun di pedalaman Papua. Atau aku yang kini sedang mengikuti kuliah PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang nantinya akan memiliki gelar baru: Gr, yaitu kepanjangan dari ‘Guru Profesional’ dan memiliki ijazah yang dijadikan SIM mengajar, lalu aku sudah layak disebut guru profesional? Jauh! Sungguh jauh rasanya profesional seorang guru, terlalu berharga jika hanya dihargai dengan selembar kertas. Tapi mau tak mau, apalagi yang mampu diperbuat guru-guru saat ini, sudah dituntut dengan segala sistem yang ada, bagiku kebijakan pemerintah kadang tak bijak, ah tapi siapalah aku, hanya bocah ingusan saja yang tengah lari ‘sprint’ menyelesaikan kuliah profesi.

Serba Rumit
Sungguh salah besar jika banyak menganggap menjadi guru adalah mudah. Tinggal bermodalkan suara lantang dan hobi bicara di depan kelas, tidak seperti itu. Butuh jiwa yang ikhlas, sabar yang tinggi agar ilmu yang disampaikan dapat diterima baik oleh peserta didik. Belum lagi rasa hormat kepada guru yang semakin menurun. Prihatin, ketika pertama kali kakiku menginjakkan kaki di SDN Jati 03, aku sudah diwanti-wanti untuk bisa bersikap baik, tidak boleh memarahi peserta didik sedikitpun. Sedikit salah bersikap, menegur, atau marah kecil, urusannya bisa panjang. Bukannya anak kapok lalu menyesali perbuatannya, malahan guru yang keesokan harinya dituntut oleh orang tua siswa, menyedihkan bukan? Aku percaya jika ada tindakan seorang guru marah dengan wajar itu tidak lain adalah bentuk rasa cintanya yang tertinggi kepada peserta didik agar tidak melakukan kesalahan. Selagi tidak bermain tangan, tidak menggunakan bahasa yang kasar, cukup tegas tapi santun itu masih bisa bukan? 

Pemerintah mencanangkan sambil memulai secara perlahan, bahwa guru harus menempuh kuliah PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kuliah yang ditempuh selama satu tahun, tinggal di asrama membuat sulit untuk guru senior, karena harus melepas peserta didiknya, meninggalkan keluarganya. Tidak mudah juga untuk sarjana muda, di mana harus bersabar menunda pernikahan, jauh  dari gebetan bahkan ketinggalan jalan-jalan bersama kawan seperjuangan. Atau memang pikiranku harus diluruskan bahwa sebuah keberhasilan butuh banyak pengorbanan  dan kesabaran?

Apakah menjamin  profesional dari selembar kertas? Yang aku khwatirkan jika selembar kertas  yang bertuliskan Gr, malah membuat lalai, tidak bersemangat mengajar, malas-malasan, memakan gaji seenaknya dengan meninggalkan peserta didik dengan setumpuk tugas? Kalau seperti itu, profesional layaknya diberikan untuk mereka para guru yang mengajar di pelosok dengan gaji yang turun rapelan. Jadi, apakah mampu ijazah menjamin lulusnya keiikhlasan dalam menyampaikan ilmu? Ketika ijazah itu diterima berarti semakin banyak tanggung jawab yang diemban, semakin banyak timbangan dan pertanyaan di hadapan-Nya kelak, bukan begitu?

Judulnya, aku bosan. Apa yang dibosankan?
Aku cukup sangat bosan, jika banyak orang memandang rendah guru. Bosan, jika banyak peserta didik yang tidak menghormati gurunya. Bosan, jika ada guru yang meninggalkan peserta didiknya begitu saja padahal sudah bersertifikasi. Bosan, jika guru dihakimi karena mendisiplinkan peserta didiknya. Bosan, kepada pemeirntah yang belum merangkul guru honorer/pelosok yang dapurnya jarang mengepul karena menunggu rapelan gaji. 

Saat ini, aku bosan. Bosan pertemuan selalu disandingkan dengan perpisahan. Ah, memang sudah takdirnya begitu. Aku pasti akan merindunka tatapan polos Keysa, peserta didik kelas IV A 
“ Ibu Ujiannya bagaimana?”
“Ibu tadi aku tegang, karena aku takut kalau ibu nggak lulus dari UNJ”
 “Pas istirahat, tadi Tristan seperti ini, Tuhan Yesus semoga Ibu Anis lulus ujiannya” gadis mungil itu menunjukkan bagaimana Tristan berdoa.
“Aku pun juga ikut berdoa Bu: Ya, Allah semoga ibu Anis lulus”
Wajahnya penuh kecemasan, aku melihatnya dari kedua bola matanya yang berbicara. Ada harapan darinya untuk aku selalu bisa duduk manis mendengarkan ceritanya, dan bibirku pun kelu tak sanggup harus berkata jika pekan depan untuk semantara waktu kita akan berpisah, karena PPL sudah selesai.

Ya, aku bosan mendapatkan pertemuan lalu berpisah dengan anak-anak seragam merah putih yang polos. Terlebih aku tidak menyangka menjumpai banyak anak manis di kota metropolitan.

Rusunawa, 24 Oktober 2017
Dalam lari Sprint menuju garis finish

Sabtu, 17 Oktober 2020

"Altair adalah bintang terang di langit musim panas di utara yang merupakan salah satu dari tiga bintang yang membentuk asterism astronomi yang disebut Segitiga Musim Panas.Bintang ini terletak di konstelasi Aquila (Elang) dan berjarak sekitar 16,7 tahun dari Bumi serta bisa di lihat tanpa menggunakan alat bantu.Bintang ini adalah bintang paling terang ke 12 di langit malam dan memiliki magnitudo 0.77"

Alta, adalah bintang terang di keluarga. Menjadi cahaya yang Allah titipkan untuk Ibun. Tidak terasa ya Al, begitu cepat Allah gulirkan waktu. 

Padahal, baru kemarin rasanya ibun menangis masih belum menerima saran dokter untuk dilakukan operasi SC, setelah menempuh jalan induksi beberapa jam tapi hanya bertambah satu, sedangkan kondisimu udah lewat bulan, ketuban sedikit dan pengapuran plasenta.

Ibun juga masih belum sepenuhnya ikhlas di ruangan operasi. Ternyata melahirkan operasi membuat ibu jadi terlihat aurat di sana sini. Terlebih menakutkan, pandangan orang sekitar tentang wanita melahirkan SC seperti tak menjadi sepenuhnya, ya ibu lebih takut menjadi down karena cibiran orang orang.

Waktu Duha, tidak ada ayah yang menemani. Ruangan dipenuhi dokter, perawat. Berbagai alat operasi berdenting, suntikan bius gagal untuk pertama kalinya. Hingga kedua kali suntikan yang mendarat di pinggul Ibun, berhasil, ibu berteriak, menangis karena sungguh itu suntikan yang tak tertahankan bagi ibun.

Di ruang operasi, ibun masih sadar. Tapi bagian perut bawah ibun terasa kaku, ya ibun di bius setengah Al. Terlihat dari pantulan lampu operasi, ibun dapat mengamati bagaimana proses terjadinya kita bertemu Al.

Perut ibu disayat, darah dan ketuban menyembur dari perut ibun. Ibun mengerjap ngerjap karena tidak kuat melihat darah, suara bising alat operasi menambah ketakutan ibun, terlebih perlahan-lahan rasa menggigil dan pusing datang.

Bulir air terasa hangat membasahi pipi ibun. Ketika tangan para dokter itu mengeluarkan Al dari perut Ibun. Tangisan yang kencang mengukir senyum. Al, itu pertama kalinya kita bertatap muka. Kamu menangis, datang di dunia penuh tantangan. Ibun menangis, masih tak percaya menatapmu Al.
Hai dunia, baiklah terhadap Alta!

Beberapa jam pasca operasi, kita terpisah ruangan. Rasanya masih rindu, dan ingin segera memangkumu Al! Tapi apa daya ibu menggigil ekstrim, ini pertama kali ibun merasakan menggigil yang tidak mampu ibun kuasai. Ibun menangis, karena masih belum menerima ada luka sayatan berlapis-lapis di perut Ibun 

"Terimakasih menjadi Ibu hebat" ayah mencium kening Ibun, butiran air hangat kembali membasahi pipi ibun.

Ibu? Aku seorang Ibu?

Mahluk mungil, terbungkus bedong, terbenam dalam tidur yang yenyak. Al, ibun menangis lagi memandang wajahmu yang teduh. Hisapan mulut mungil yang mencari Asi terasa syahdu di hati Ibun. Terimakasih ya Al, sudah hadir memberikan begitu banyak pelajaran!

Hari ke hari, sudah kita lewati bersama. Seringkali ibun merasa frustasi dan tidak becus menjadi seorang ibu. Ibun sama sekali belum bisa menimang mu, karena luka yang sakit. Ibun masih kesulitan untuk membuatmu tenang. Karena ibun mudah panik setiap kali mendapatimu menangis. Merasa lelah dan payah seringkali hadir di diri ibun. Terimakasih ya Al, sudah memaklumi Ibun yang masih belajar menjadi Ibu.

Hari ke hari, ibun bahagia melihat kamu yang pandai menyentuh hati ibu. Siapa yang tidak meleleh, setiap kali habis menyusui, kamu selalu memberikan senyuman yang begitu manis. Al kini sudah pandai mengoceh, mengangkat kepala, menggerakkan kaki dan tangan. Mencari sumber suara, dan paham kondisi ibun.
Al, begitu banyak kurang di diri ibun. Tapi ibun berjanji akan terus belajar menjadi ibu yang baik untuk Al, untuk bintang yang Allah titipkan.

Al, kita bertumbuh bersama ya! ❤
Anis Sofia © 2016