Selasa, 20 Mei 2014

Kita memang berjarak bukan? Pada puluhan kilometer kita terpisahkan. Tapi itu bukan alasan bukan? Karena ada iman yang berbicara. Beda iklim. Entah apa? Karena cara berinteraksi kita yang berbeda? Pemikiran atau apa? Itulah kata mereka. Dan mungkin kita akan  mengangguk dan mengiyakan apa kata semesta atau menggelengkan kepala akan semua pendapat itu.

Dasarnya berbeda? Tingkah kitapun demikiian bukan? Karena kita lahir dari rahim yang berbeda, diberikan ilmu yang tak sewarna, di tempatkupun kebanyakan perempuan, dan jika ku melangkahkan kaki kota baja menjadi grogi dan kikuk tak karuan, karena setiap menengokkan kepala, melangkahkan kaki di sanalah hampir semua laki-laki bergereombolan.

Tapi, jika kita memang kita satu warna, tak ada pembeda. Hidup ini hampa kawan, bukankah pelangi itu indah karena berbeda warna? Mari kita rayakan perbedaan. Tapi dari sekian banyak beda, kita punya satu kesamaan, kita sebut dengan persaudaraan.

Mungkin aku adalah orang teraneh, ah tapi ini sungguh membahagiakan bukan? Bisa bertahap saling mengenal dan memasukan satu persatu nama kalian ke daftar nama penghuni bilik hatiku. Ada cap di kepalakah? Hingga kita saling malu-malu jika mengunjingi, padahal kitakan satu almamater? Dan jarak bukankakah halangan untuk kita saling menyatukan ikatan persahabatan ini?

Selalu ada kagum pada kalian, yang berjibaku pada setumpuk pekerjaan, tanggung jawab yang di pundak, mencari uang untuk sesuap nasi dan sebongkah berlian, belajar memenuhi kebutuhann  finansial, ya mandiri kusebut.

Hal bodoh rasanya, ah lagi aku sendiri yang mengelakkan. Melangkahkan kaki dan dipaksa memakai baju atau safety utama berwarna putih yang harus dikenakan di badan dengan tulisan Fakultas Tehnik. Dan apa yang terjadi dan dirasakan?

Sangat bahagia rasanya, seorang anak jurusan sosial bisa berkililing laboratorium dan melihat barang-barang aneh, biasanya di lab jurusan ku adanya angklung, seperangkat alat gong, dan media pembelajaran. Dan di hari senin, cairan dengan label-label yang tertera satupun diantaranya aku tak mengerti apa fungsi dan arti dari nama ilmiah itu.

Berkesempatan pula bisa merasakan internet gratis di lantai 3, teh Mah bilang hitung-hitung belajar jadi penjaga warnet katanya begitu. Ngasleb, itulah kosa kata terbaru pada kamus kehidupanku, memerhatikan si teteh dengan materinya Absorsi yang awalnya aku sering salah dan berkata “Aborsi”. Parah. Belum lagi ketika teh Mah menjelaskan aku tak paham bahasanya apa semua ujungnya si, si, si.

Dan akhirnya aku menikmti saja komputer yang berada di depanku saat itu, berseluncur di dunia maya. Ya herannya aku saat itu, mereka yang sedang menyimak penjelasan adalah semester bawah alias adik tingkat, tapi apa? Wajahnya tidak menunjukan, ‘tua’ menyeramkan memang. Ah apakah ini faktor banyaknya tugas hingga mereka berwajah tua di usianya yang muda?

Catatan ini adalah catatan keisengan untuk sebuah jarak. Catatan ini adalah catatan bahwa jarak bukanlah alasan, mari berterimakasih pada jarak. Karena darinya kita bisa menanam rindu, memanenya pada suatu hari yang indah, entah kapan? Entah dimana? Tapi kita harus percaya bukan, dengan jarak kita bisa mengikat ini menjadi dekat.

Tidak pada jarak ku berterimakasih. Pada kalian, sekumpulan anak tehnik dengan perbedaan karakternya. Mbak atlet basket, mbak Brebes, teteh bocil, danke akan jamuan (walau nggak ada jamu) dengan tetesan bensin yang sudah mengantar keliling sana sini, makanan yang enak, bertukar pengalaman, suatu pagi buta, ahhh banyak rasanya, hingga cukup kita saja yang saling tahu.

Ilmu di mesjid Baja, cuap-cuap di KJ, terimakasih Desi, Saidah, Diah :) Mela, Riska, Norin, Partenernya teh Mah, terimakasih atas kesegaran pertemanan yang melebihi es kelapa yang kita seruput dan melebihi sedapnya semangkok baso di siang itu. Terimakasih Siro, yang menyambut di pintu lab, dan Satrio yang keheranan saya penampakan di lab.
Teh, ngapain di sini? Kok ke sini lagi? Emang di Serang kenapa?” masih jelas ucapan dik Nani itu yang selalu bersama dengan Ria. Haha, terimakasih atas alarmnya itu walaupun di hati ‘wah ngusir nih, ngusir nih’. Hhe. Just kidding, oke banyak belajar supaya bisa bersuara lantang dari kalian nih.
Falah, ibu bendum IKMA yang ketchenya membungkuskan es. Ah sebuah bentuk sayang pada keluarga ikma bukan sekedar dari mencampurkan serbuk jus dan air, tapi rasa sayangmu itu melebihi itu, semangat bu bendum!

Dan pada pagi, semoga ada semangat baru setelah membaca buku Anis matta itu dik! Semangat ketuplak, selalu ada pelajaran di setiap ujian! Ceriwisnya Puput, dan keheranannya Zea mengapa ada sesosok anak PGSD yang tersasar di kampus. Haha kalian menggemaskan!

“Nis udah kamu jadi warga tehnik aja, pindah jurusan!” salah satu celoteh
Hanya senyum dan di dalam hati “Otak saya nggak nyanggupin sama materi absorsi, korosi dan apalah itu!” hehe
Hingga percayalah, seseorang yang paling dekat denganmu, bukanlah dia yang selalu berada bersama, tapi adalah dia yang paling sering mendoakanmu.

Suatu kebanggan pakai jas lab, ntar mbak Is pakai seragam saya itupun kalau muat ya :P

Dan, selamat mengajar mimpi!
Dan, selamat menanam rindu  hingga saatnya kita bertemu :)


Serang, 21 Mei 2014
10.00 WIB
Alunan at takwir, ngerem di kamar.

Jumat, 16 Mei 2014

Selalu ada alasan untuk pulang......

Itulah kesepakatan aku dan kakak perempuanku yang bukan satu rahim dari seorang ibu. Selalu bersepakat, bahwa tempat ini, tempat yang selalu pandai menanam kerinduan kemudian memetiknya di waktu yang indah. Maka tak salah bukan jika sesekali kakak perempuanku itu selalu saja bisa menyempatkan diri untuk datang jauh-jauh dari kota Kembang?

Berjalanlah menuju kampung Ciloang, berawal dari  gang sempit melewati rel kereta yang tak berpalang, pematang sawah, sungai, rumah penduduk, mesjid, warung dan tibalah di rumah yang dihiasi pernak-pernik unik, pohon elektronik, patung kayu dan aula surosowan yang kini berdiri gagahnya. Terbayar sudah tenaga mengayuh pedal bisa berjumpa akan ketenangan dan kedamaian Rumah Dunia yang disuguhkan.

Cinta bertebaran dimana-mana, di bawah pohon rindang, di saung sejuk, di ruang RB 3, di Gongs-Library, dimanapun kakimu menginjak, akan kau temukan cinta dalam bentuk apapun. Cinta yang tidak akan terbeli dari materi, karena dia hadir tulus di bilik hati.

Inilah tempat yang tidak termasuk dalam kamus kebosananku. Bagaimana tidak? Akan kau temukan tawa anak-anak yang menikmati belajar drama,  atau heningnya ruangan karena jemari yang sedang belajar memoles warna di atas kertas, juga riuhnya para jejaka yang me-ngupi di warung sambil mengobrol santai seputar sastra sesekali wanita idaman mereka, bisa juga petikan gitar mulai dari rock, pop hingga musikalisasi puisi, kelas menulis yang sang pahlawan literasi Mas Gong atau Mbak Tias menularkan secara langsung semangat membaca dan menulisnya untuk para mereka yang haus ilmu.

Di setiap kegiatan selalu ada cinta, bagaimana Rumah Dunia adalah oase bagi kegersangan Banten. Wujud cinta untuk tanah Jawara, mengubah pikiran dari kejamnya golok digantikan dengan mengasah otak. 
 
kegiatan Jambore TBM se-Indonesia. Pict: Kamernya Mas Gong
Tidak sekedar itu. Cinta yang kuat bisa berubah menjadi kekuatan dahsyat. Bukan cinta seperti remaja labil yang tebar gombal-gembel di sosmed, tapi dia berwujud nyata. Bagaimana melejitkan diri dengan percaya akan mimpi, banyak mereka para relawan yang aku anggap sebagai abang-abang dan teteh-tetehku itu kini bisa berbagi cinta. Berawal dari nyirnyiran orang di sekeliling mereka, hinaan, cacian akan profesi mereka sebelumnya, dan kini? Mereka berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Penyebabnya ini semua adalah saripati kebaikan dari ketulusan dalam cinta. Banyak hal yang akan di dapatkan di sini, salah satu pelajaran yang diraih adalah semangat berbagi. Ah Rumah Dunia, selalu saja ada kata cinta untukmu.


Serang,
Jumat, 16 Mei 2014
11.07 WIB
An-Naba

Selasa, 13 Mei 2014

Hari-hari  yang aku lalui penuh dengan tantangan terhitung dari  5 Mei. Bagaimana rasa gerah urung pergi dari badan. Berkesempatan mandipun tidak serajin di kosan, hanya sehari satu kali.  Jika sikat gigipun serasa berkumur dengan air garam, asin. Jika ada luka di badan sungguh rasa perih tak tertahan. Jika keramas, rambut kering dan mudah rontok.

Inilah penginapan putri yang cukup luas dengan barang-barang yang sederhana, mengarah ke dermaga yang menuju pelabuhan Karang Antu. Inilah jawaban Sang Kuasa. Karena pada awal permulaan, tidak ada sebersitpun rencana untuk menjadikan rumah merah muda itu sebagai penginapan peserta dan panitia putri selama 5 hari.

Kecelakaan, ya. Sebelumnya ada sebuah rumah yang sudah dinego jauh hari, ibu pemiliknya pun sudah berkata ‘ya’ dan menyepakati harga. Dan aku beserta Ratna, Niken sebagai panitia yang pertama datang pada hari senin itupun memastikan dan membersihkan setiap ruangannya, bahkan sempat ikut menumpang untuk menunaikan solat ashar. Bahagia, selanjutanya usai berpamitan  dengan pemilik rumah roda motor siap membawa kami menuju penginapan putra dengan tuti (tumpuk tiga).

Setelah membersihkan penginapan putra, aku mengantarkan salah satu panitia menuju mushola untuk bersiap mengambil wudhu, menunaikan solat magrib. Langit merah jingga, matahari rupanya akan kembali ke peraduannya. Dan riuh celoteh aku temukan pada mereka yang sibuk menenteng koper, tas besar, kardus, jinjingan dengan menggunakan almamater yang berbeda, bak warna pelangi ada merah, kuning, hijau, biru, jingga. 

Tempat yang sungguh jauh, jika tidak terbiasa untuk berjalan kaki sudah dipastikan kaki pegal tak karuan. Akupun menjadi salah satu panitia yang mengekor di belakang peserta, ikut berjalan kaki sambil menggendong tas panitia. Bagusnya perjalanan ini tidak sendirian. Bukankah hal paling tak meng-enakan adalah perjalan dan hati hampa tak berteman? Perjalanan ini penuh canda, tawa, dan kadang keluhan tidak jarang keluar ‘kapan sampai?’.

Adzan isya sudah saja berkumandang, jalan ditempuh selama 37 menit lamanya, kasihan sebenaranya melihat peserta harus berjalan kaki sejauh itu. Tempat peristirahat putrapun menjadi singgahan seluruh peserta dan panitia.

Hingga, “Teh, ibunya mendadak ngebatalin” suara nyaring di ujung telepon Ratna, cukup menganggetkanku. Bagaimana mungkin bisa dibatalkan begitu saja? Padahal, satu jam  sebelumnya ibu penginapan sungguh ramah menyambut aku, Niken dan Ratna.

Pesertapun sudah tertangkap wajah kekesalannya, ya aku sadar itu. Belum lagi perut mereka yang kosong. Konsumsi masih diproses oleh ibu di dermaga. Resah, gelisah, menyelimuti banyak panitia. Kuantitas panitia sungguh jauh dibanding peserta, hingga tidak fokus dalam mengurus tanggung jawab. Bahkan banyak pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai jobdesnya. 

Keresahan tidak hanya menghampiri para panitia, pesertapun ada yang canda, boring time, banyak rupa yang aku dapatkan. 

Pada pukul 21.00 WIB, Gusti Allah Maha baiknya, menggerakan hati bu Tati untuk menerima para gadis manis dari penjuru daerah. Patut bersyukur rasanya, karena rumahnya memang nyaman dibanding rumah penginapan sebelumnya. Kini luas, kamar mandinya besar, sungguh berbeda. Ya ini mungkin jawaban terbaik yang tidak pernah aku dan panitia duga.

Di akhir acara PENGMAS, akhirnya aku tahu mengapa ibu pertama penginapan tetiba menolak kehadiran kami. Karena penyebab kerinduan yang sudah menahun. Pada saat akan ditempati oleh peserta putri PENGMAS, sang ibu menelpon suaminya, meminta izin kepadanya untuk memperkenankan mahasiswa yang terdiri dari antar kampus bisa menempati rumah mereka. Tapi, suaminya tidak mengizinkan karena dia akan segera pulang ke Pulo Panjang  dan menyatukan rindu yang sudah tak terbilang. Lega rasanya bukan sebab karena sikap kami yang tak mengenakan melainkan kerinduan yang harus disatukan.

“Akhirnya rumahnya ramai!” suatu sore hari pertama pada acara PENGMAS ketika peserta belum datang dan aku beserta yang lain sibuk membersihkan rumah penginapan putra, ada anak kecil yang bicara dengan lantang dengan bahasa Ja-Sengnya.

Ini rupanya yang menjadi dasar dari cerita Irfan Ali, salah satu panitia mahasiswa akuntasi 2010.

“Iye ni ye, ane kasih tahu. Tapi udah ente udah jangan cerita ama siapa-siapa. Ngerasain hal yang aneh nggak ama penginapan Ikhwan sono? Nah, ntu rumah udah seminggu kosong, nggak dihuni. Seminggu salah satu keleuarganya ada yang meninggal” ucap Ali di pelataran dengan gaya Arabnya.

“Parah lu, ini malam kan kita masih nginep di sana Li” sambut ucapan salah satu panita.

Aku menyimak dengan baik, ‘wah pantas toh ini ada kaitannya dengan ucapan anak-anak kecil itu’. Adakah yang merasa hal aneh saat itu?

Kembali tentang Ibu Tati, selain pada bapak nelayan, ibu-ibu dermaga yang membantu masak. Lagi aku dibuat jatuh cinta dengan sosok bu Tati. Pada malam ke-3 tidak seperti biasanya anak-anak kecil ramai untuk memasuki rumah penginapan, ada rasa antusia dan ingin berkenalan dari wajah anak-anak tersebut. Sungguh payah, dari ke delapan anak yang datang. Hanya Chandra seorang anak laki laki kelas 4 lah yang masih aku ingat namanya.

Ketika sudah berkenalan dengan mereka, aku mengobrol dengan bu Tati di teras. Ingat teras jadi ingat selama lima hari itulah teras menjadi tempat tidur panitia, Aku, Resti, Wieka, Sinta, Iim. Di dalam rumah sudah tidak cukup lagi, akhirnya tanpa beralaskan apapun kami tidur di sana. Ajaibnya, aku yang anti tidur di keramik selama menjadi panitia di sana tidak masuk angin, praise be to Allah. Ya, di teras itulah banyak kenangan yang aku dapatkan, salah satunya dengan bu Tati.

 Bu Tati, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dan memintaku untuk mengajarinya bahasa Inggris.

“Nong, ajari ibu bahasa Inggris, kepengen bisa ibu mah nong” ucap ibu sambil membenarkan sarungnya
Good Morning, selamat pagi”
Good Afternoon, selamat siang”

Good Evening, selamat sore”

Good Night, selamat malam”

Aku hanya mengenalkanya pada ucapan selamat, ibu dengan wajah teduh itu sangat sebarnya mengulan hingga hapal.


“Nah bu, yang tadi artinya itu siapa namamu? Nanti ibu jawab, my name is Tati”
“My Tati” ucap ibu dengan perlahan-lahan.

My name is Tati, bu”

“Oh, gitu ya Nong, my name is Tati”

“Nah, muhun kitu bu” jawabku dengan simpul senyum.

Malam yan indah, bagaiamana seorang ibu yang sudah di atas kepala 4 masih bersemangatnya untuk menuntut ilmu. Kalau secara picik, ‘untuk apa sih belajar bahasa Inggris, memang ada bule di Pulo Panjang?’ . Tapi sang Ibu, memahami betul apa makna dari menuntut ilmu.

Serang-deretan kursi rektorat dalam keriuahan anak Biologi yang sedang mengerjakan tugas.
Selasa, 13 Mei 2014
16.30 WIB.




Senin, 12 Mei 2014

Pada batas waktu kita selalu diuji pada rasa yang membuat hati tak karuan, ada yang bilang sakit jika merasakannya, perih, dan ingin menjauh dari rasa itu karena tidak tahu pada detik keberapa dan dimana rasa itu hilang, mereka menamai itu dengan rindu.

Ketika infocus terpasang dengan rapih, kemudian video buah karya dari team pubdekdok berhasil membuat wajah bahagia, ada tawa yang terselip, hingga siap untuk merasakan  rindu. Bukankah kita ditakdirkan berpisah dan harusnya kita sadar pada awal permulaan perkenalan  kita akan mengalami hal itu bukan? Mari kita menanam rindu! Hinga pada skenario ke berapa Tuhan menakdirkan kita untuk bersama.

Iri mengaliri diri, ketika banyak tampilan foto yang begitu bahagianya berbagi pada anak-anak kecil, memberikan motivasi, mimpi pada mereka. Iri pula ketika banyak wajah yang ceria menanam mangrove di tepian laut Pulo Panjang, berkuyup ria sambil menancapkan tumbuhan gagah itu agar pulau ini bisa terjaga dari amukan ombak. TBM pun berhasil membuat diriku iri, bagaimana lemari buku yang sederhana itu beriskan 200 buku hasil sumbangan dari kawan-kawan peserta PENGMAS lintas berpuluh universitas.

Ya video sungguh membuat diriku iri tak berujung. Inginku berkisah pada tiga orang wanita di ujung dermaga sana, yang menyatukan Pulo Panjang dan Bojenogoro. Maka simaklah rentetan huruf ini, apakah berhasil membuat diri kalian iri pada sosok 3 wanita yang menemaniku 3 hari lamanya.

Mereka adalah wanita tangguh, yang berhasil memendam rindu kepada orang yang dicintainya.
“Bu, kok nggak ada remaja di sini?”

“Pada di daratan Nong, kalau mau SMA harus nyebrang” jawabnya sambil meracik bumbu dengan wajah sendu.
Ya, hari-hariku di PENGMAS tidak jauh dari berbagai jenis bumbu, sayur-mayur, penggorengan, panci, tungku, dan senjata masak lainya. Bersama Niken kawan seperjuanganku, pada hari ke-2 akhirnya kami bisa membantu mereka secara langsung tidak lagi hanya menelpon “bu hari ini menunya ini yaa..” bisa fokus di hari selanjutnya, karena SDM panitia bertambah walau merasa heran sudah membungkus 90 makanan tapi tetap saja kurang, ternyata pendistribusiannya yang salah dan tak tepat (untuk teman-teman peserta dengan segala kerendahan hati kamu memohon maaf). 

Awalnya kami mengira mereka adalah ibu-ibu yang jutek, ternyata salah itu adalah wajah pembawaan yang mungkin ada beberapa orang yang merasa mereka menyeramkan, padahal hati mereka sangat lembut tak karuan.
“Iya nong ibu sendirian di sini!” semakin lama sang Ibu semakin terbuka dan menceritakan tentang keluarganya.
Kalau kau datang kemari, sulit untuk menemukan remaja. Karena mereka sedang berada di kota Serang-Cilegon demi menuntut ilmu di bangku SMA. Tidak ada pilihan selain ngekos atau mondok. Karena transportasi berupa kapal sungguh tidak memungkinkan. Kapal paling pagi saja pukul 09.00 WIB. ‘kenapa tidak mencharter saja’ rasanya berat kawan! Karena dengan mencharter sama saja telah mengeluarkan uang yang cukup besar, Rp.500.000,-.

Jadi, entah sampai kapan para wanita, ibu-ibu harus memandam rindu pada anak-anaknya yang beranjak ABG, kepada suami yang menjadi TKI di Arab Saudi. Hal yang menyakitkan bagi seorang wanita bukankah menunggu rindu itu hilang?

Pada hari pertama, sulit untuk menemukan ukiran senyum dari ketiga wanita itu, hingga pada akhirnya hari ke-2 ada seorang panitia berlaku seperti anak kecil, datang ke dermaga siap membantu sambil berkata ‘good morning bu!’ dan serempak mereka tersenyum sumringah dengan gigi putihnya. Berpedekate menanyakan keadaan kabar, siapa anaknya, bagaimana kehidupannya, bagaimana persiapan persalinannya. Ada seorang ibu yang sedang hami 8 bulan, dengan perutnya yang sebesar itu sang ibu tidak merasa lelah dan bersemangat membantu kami ‘terimakasih bu!’

Sebagai seorang wanita, memahami betul apa yang dirasakan mereka. Tatkala senja hadir, dan motor siap mengantar kami ke tempat penginapan di Kampung Peres sambil membawa berbungkus-bungkus makan malam, ketiga ibu secara bergantian mengatakan ‘udah Nis, Ken di sini aja! Supaya rame rumah ibunya’ ucap ibu sambil tersenyum penuh harap. Setiap akan beranjak pasti ibu selalu berkata demikian.

“Sabtu jangan pulang ya! Di sini aja, tinggal bareng ibu!” seketika haru memasuki raga kami. Bagaimana sungguh rindu itu terasa dalam. Hingga mereka menganggap kami sebagai anaknya.

Merekalah para perindu, hingga entah kapan kita saling kembali menyatu.
Mbak Lin - Niken- Always - Saya- Ibu



Senin, 12 Mei 2014
23. 50 WIB. Ar-rahman.
Salam rindu untuk para peserta dan panitia PENGMAS REALITA IV!:)
Tebarkan manfaat dimana kaki kalian menginjak!

team pejuang perut bersama Ibu
Tercium bau laut dari semilir angin yang tanpa izin terus melewati alat indera penciuman ini. Anginpun berebut menyambut kedatangan anak manusia dari daratan melewati lautan. Tanggal 5 Mei, disinilah dermaga Pulo Panjang, pertama kalinya kedua kaki ini mengijaki tanah yang di kelilingi oleh air laut yang entah berapa jumlah liternya.

Katanya dengan membayar Rp.5000,- sudah bisa menaiki kapal dari pelabuhan Bojonegoro menuju Pulo Panjang dan Rp. 10.000,- untuk kenderaan sepeda motor. Iya saya berkata dengan “katanya”, karena beruntungnya saya dan kawan-kawan saya saat itu adalah dimudahkan dalam membayar ongkos, karena ada yang bersedia dengan suka hati untuk membayarkannya.

Perjalanan panjang dan kegiatan ini tidak semudah yang kalian bayangkan kawan. Begitu banyak hal yang dikorbankan demi kesuksesan acara ini. Tepat pukul 13.00, bis merah untirta membawa saya dan rekan panitia yang lain untuk segera menuju pelabahan Bojonegara, dengan tenaga ekstra di awal permulaan keberangkatan Ma’ulfi, Ichsan, Fajar, Yopie harus mendorong dengan bermandikann peluh agar si bis merah yang sudah tua itu bisa melaju. Ya, begitulah.

Sepanjang perjalanan
menuju pelabuhan, lagi bukanlah perkara mudah. Karena debu selalu tidak ada habisnya mengotori udara di jalanan kota Baja ini. Mobil besar yang tiada pernah hentinya mewarnai dan semakin menatap ngeri roda-roda besar yang dengan kecepatan tinggi di jalan beraspal yang bolong-bolong. Lantas, mata ini menatap para wajah lelah tapi ada senyuman yang tulus dari para adik-adik di keluarga tercinta ini Yopie, Aliyuda, Ratna, Ichsan, Fajar, dan kawanku Ma’ulfi, Niken yang sangat pulasnya tidur untuk menunggu si bis segera sampai di pelabuhan.

Lagi, bukan perkara mudah. Mencoba pribadi ikhlas dan membagi tugas, hanya berdelapan oranglah kami menurunkan berbelas galon air, berpuluh-puluh tas peserta, lima gas tabung, sayur-mayur, peralatan untuk pengabdian selama lima hari. Tapi, canda-tawa jepretan lensa kamera bisa menjadi obat penawar lelah, saling menyemangatilah adalah obat yang paling ampuh.
“Yaah, teh buku taksiran kita jatuh.” Kuyup buku jatuh karya A. Fuadi, dicoba dikeringkan di bawah matahari yang semakin terik
Muka saya dan Niken aneh tak karuan, ketika buku itu rasanya sulit untuk sebagus dulu. Ya, salah kami tidak hati-hati mengangkut buku dari perahu menuju dermaga Pulo Panjang.

“Nong, ini buku dijual? Saya pinjam. Mau baca dulu di kapal ya Nong” Mata saya dan Niken saling menatap ada suara seorang bapak dengan bahasa Ja-Seng (Jawa-Serang) meminta izin kepada kami. Bukan kaget tidak ikhlas, tapi begitukah sangan memesonanya lembaran-lembaran buku itu untuknya?
Saya masih asik dan bergulat dengan barang-barang yang memiliki beratnya beraneka ragam dan lumayan menguras tenaga. Setelah selesai, masih di kapal asik menyaksikan ikan yang entah apa jenisnya, tapi banyak ukuran ikan yang berseliweran di air berenang bergerombalan, ah bukan jurusan perikanan jadi saya hanya menerka saja bahwa mereka sedang mencari makanan. Menggemaskan, ikan itu menjadi penghibur saya dan kawan-kawan yang terus berceloteh akan keindahan dasar laut Pulo Panjang.

Kepala ku menoleh ke sebelah kiri, lebih dari 30 menit bapak yang berkulit hitam terbakar sinar matahari mungkin karena melaut, masih sedang asik membaca buku. Membuka setiap lembaran-lembarannya dengan penuh senyum, kadang  tidak sengaja melihatnya tertawa bahagia membaca buku bergambar, kemudian ganti buku penuh tulisan. Uratan wajah yang sangat nampak, memang  menandakan kalau beliau sudah tidak muda lagi, otot lenganya menunjukan kalau sang Bapak adalah seorang pekerja keras. 

Ah tapi masih begitu menggodakan buku itu pak hingga kau rehat sejenak menghampiri kami dan meminjam sebentar buku sambil menunggu kami menurunkan barang bawaan dan bernego harga? k Kenapa bapak tidak menurunkan barang-barang dan meminta upah seperti orang-orang di sekitar bapak? Apakah penghasilan bapak sudah cukup untuk memenuhi perut anak-anak dan istri hingga bisa santai bersama buku? Atau apakah pak?

Seketika rasa ini begitu hanyut pada haru, bangga yang menggebu, cinta yang tak sendu ketika kau memandang buku itu, seolah kau asik sedang mengobrol dengan seseorang berwujud buku.

“Nong, buku ini dijual?”

“Nggak pak, Insha Allah ada TBM di kampung ini, bapak bisa minjam setiap waktu yang bapak mau”
Dialog Jaseng kembali terjadi, ya seperti itulah artinya saya tak begitu hapal bagaimana untuk menuliskannya dalam bahasa Ja-Seng.

Pak, mungkin mata bapak akan lelah melihat perpustakaan kami yang sepi pengunjung, saya dan beberapa kawan yang malas lebih tertaik mencolokan modem dan berselancar mencari data di dunia maya. Belum lagi perpustakaan daerah yang tidak strategis  berada di sudut terminal Pakupatan, padahal di sana banyak buku.

Bahkan buku-buku yang tertempuk di kamar banyak yang belum dibaca, dibeli dan dianggurkan begitu saja. Ada saja buku yang dijual ke tukang loak, atau lembaran-lembaranya dijual untuk membungkus kacang. Sedangkan kau pak? Ah rasanya kami tertampar untuk benar-benar mencintai buku, kami banyak belajar darimu mu pak! Seorang bapak yang sangat sayang lupa untuk berkenalan.

Serang, 11 Mei 2014
Alunan An-naba. 17.59 WIB
Oleh-oleh dari PENGMAS Nasional yang terdiri dari 20 universitas, Pulo Panjang, kab. Serang-Banten


NB: Mereka terbatas kawan! Tapi semangat mereka tidak ada batasnya. Listrik adanya malam, mau mandi saja dengan air tawar harus membeli 1 dirijen Rp. 850, mengeprint harus menyebrang ke daratan, sakit, bahkan karena tidak ada bidan, ada yang melahirkan di atas kapal. 

Tapi itu bukan alasan untuk mereka untuk bisa menjadi orang hebat. Coba saja kau kesana, akan kau temui sekelompok anak yang siap dengan motivasimu, sekumpulan ibu-ibu yang sedia mendngar ceramah atau diskusi seputar Islam, dan bapak-bapak yang siap bergotong royong untuk perbaikan kampungnya. Mereka ramah.
Terpenting adalah kau datang dengan cinta, maka cinta lagi yang kau dapatkan.
Anis Sofia © 2016