Hari-hari yang aku lalui penuh dengan tantangan terhitung
dari 5 Mei. Bagaimana rasa gerah urung
pergi dari badan. Berkesempatan mandipun tidak serajin di kosan, hanya sehari
satu kali. Jika sikat gigipun serasa berkumur
dengan air garam, asin. Jika ada luka di badan sungguh rasa perih tak tertahan.
Jika keramas, rambut kering dan mudah rontok.
Inilah penginapan putri yang
cukup luas dengan barang-barang yang sederhana, mengarah ke dermaga yang menuju
pelabuhan Karang Antu. Inilah jawaban Sang Kuasa. Karena pada awal permulaan,
tidak ada sebersitpun rencana untuk menjadikan rumah merah muda itu sebagai
penginapan peserta dan panitia putri selama 5 hari.
Kecelakaan, ya. Sebelumnya ada sebuah rumah
yang sudah dinego jauh hari, ibu pemiliknya pun sudah berkata ‘ya’ dan
menyepakati harga. Dan aku beserta Ratna, Niken sebagai panitia yang pertama
datang pada hari senin itupun memastikan dan membersihkan setiap ruangannya,
bahkan sempat ikut menumpang untuk menunaikan solat ashar. Bahagia,
selanjutanya usai berpamitan dengan
pemilik rumah roda motor siap membawa kami menuju penginapan putra dengan tuti
(tumpuk tiga).
Setelah membersihkan penginapan
putra, aku mengantarkan salah satu panitia menuju mushola untuk bersiap mengambil
wudhu, menunaikan solat magrib. Langit merah jingga, matahari rupanya akan
kembali ke peraduannya. Dan riuh celoteh aku temukan pada mereka yang sibuk
menenteng koper, tas besar, kardus, jinjingan dengan menggunakan almamater yang
berbeda, bak warna pelangi ada merah, kuning, hijau, biru, jingga.
Tempat yang sungguh jauh, jika
tidak terbiasa untuk berjalan kaki sudah dipastikan kaki pegal tak karuan.
Akupun menjadi salah satu panitia yang mengekor di belakang peserta, ikut
berjalan kaki sambil menggendong tas panitia. Bagusnya perjalanan ini tidak
sendirian. Bukankah hal paling tak meng-enakan adalah perjalan dan hati hampa
tak berteman? Perjalanan ini penuh canda, tawa, dan kadang keluhan tidak jarang
keluar ‘kapan sampai?’.
Adzan isya sudah saja berkumandang,
jalan ditempuh selama 37 menit lamanya, kasihan sebenaranya melihat peserta
harus berjalan kaki sejauh itu. Tempat peristirahat putrapun menjadi singgahan
seluruh peserta dan panitia.
Hingga, “Teh, ibunya mendadak
ngebatalin” suara nyaring di ujung telepon Ratna, cukup menganggetkanku.
Bagaimana mungkin bisa dibatalkan begitu saja? Padahal, satu jam sebelumnya ibu penginapan sungguh ramah
menyambut aku, Niken dan Ratna.
Pesertapun sudah tertangkap wajah
kekesalannya, ya aku sadar itu. Belum lagi perut mereka yang kosong. Konsumsi
masih diproses oleh ibu di dermaga. Resah, gelisah, menyelimuti banyak panitia.
Kuantitas panitia sungguh jauh dibanding peserta, hingga tidak fokus dalam
mengurus tanggung jawab. Bahkan banyak pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai
jobdesnya.
Keresahan tidak hanya menghampiri
para panitia, pesertapun ada yang canda, boring
time, banyak rupa yang aku dapatkan.
Pada pukul 21.00 WIB, Gusti Allah
Maha baiknya, menggerakan hati bu Tati untuk menerima para gadis manis dari
penjuru daerah. Patut bersyukur rasanya, karena rumahnya memang nyaman
dibanding rumah penginapan sebelumnya. Kini luas, kamar mandinya besar, sungguh
berbeda. Ya ini mungkin jawaban terbaik yang tidak pernah aku dan panitia duga.
Di akhir acara PENGMAS, akhirnya
aku tahu mengapa ibu pertama penginapan tetiba menolak kehadiran kami. Karena penyebab
kerinduan yang sudah menahun. Pada saat akan ditempati oleh peserta putri
PENGMAS, sang ibu menelpon suaminya, meminta izin kepadanya untuk memperkenankan
mahasiswa yang terdiri dari antar kampus bisa menempati rumah mereka. Tapi,
suaminya tidak mengizinkan karena dia akan segera pulang ke Pulo Panjang dan menyatukan rindu yang sudah tak terbilang.
Lega rasanya bukan sebab karena sikap kami yang tak mengenakan melainkan
kerinduan yang harus disatukan.
“Akhirnya rumahnya ramai!” suatu sore hari pertama pada acara PENGMAS ketika peserta belum datang dan aku beserta yang lain sibuk membersihkan rumah penginapan putra, ada anak kecil yang bicara dengan lantang dengan bahasa Ja-Sengnya.
Ini rupanya yang menjadi dasar
dari cerita Irfan Ali, salah satu panitia mahasiswa akuntasi 2010.
“Iye ni ye, ane kasih tahu. Tapi udah ente udah jangan cerita ama siapa-siapa. Ngerasain hal yang aneh nggak ama penginapan Ikhwan sono? Nah, ntu rumah udah seminggu kosong, nggak dihuni. Seminggu salah satu keleuarganya ada yang meninggal” ucap Ali di pelataran dengan gaya Arabnya.
“Parah lu, ini malam kan kita masih nginep di sana Li” sambut ucapan salah satu panita.
Aku menyimak dengan baik, ‘wah pantas toh ini ada kaitannya dengan
ucapan anak-anak kecil itu’. Adakah yang merasa hal aneh saat itu?
Kembali tentang Ibu Tati, selain
pada bapak nelayan, ibu-ibu dermaga yang membantu masak. Lagi aku dibuat jatuh
cinta dengan sosok bu Tati. Pada malam ke-3 tidak seperti biasanya anak-anak
kecil ramai untuk memasuki rumah penginapan, ada rasa antusia dan ingin
berkenalan dari wajah anak-anak tersebut. Sungguh payah, dari ke delapan anak
yang datang. Hanya Chandra seorang anak laki laki kelas 4 lah yang masih aku
ingat namanya.
Ketika sudah berkenalan dengan
mereka, aku mengobrol dengan bu Tati di teras. Ingat teras jadi ingat selama
lima hari itulah teras menjadi tempat tidur panitia, Aku, Resti, Wieka, Sinta,
Iim. Di dalam rumah sudah tidak cukup lagi, akhirnya tanpa beralaskan apapun
kami tidur di sana. Ajaibnya, aku yang anti tidur di keramik selama menjadi
panitia di sana tidak masuk angin, praise
be to Allah. Ya, di teras itulah banyak kenangan yang aku dapatkan, salah
satunya dengan bu Tati.
Bu Tati, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dan
memintaku untuk mengajarinya bahasa Inggris.
“Nong, ajari ibu bahasa Inggris, kepengen bisa ibu mah nong” ucap ibu sambil membenarkan sarungnya
“ Good Morning, selamat pagi”
“Good Afternoon, selamat siang”
“Good Evening, selamat sore”
“Good Night, selamat malam”
Aku hanya mengenalkanya pada
ucapan selamat, ibu dengan wajah teduh itu sangat sebarnya mengulan hingga
hapal.
“Nah bu, yang tadi artinya itu siapa namamu? Nanti ibu jawab, my name is Tati”
“My Tati” ucap ibu dengan perlahan-lahan.
“My name is Tati, bu”
“Oh, gitu ya Nong, my name is Tati”
“Nah, muhun kitu bu” jawabku dengan simpul senyum.
Malam yan indah, bagaiamana
seorang ibu yang sudah di atas kepala 4 masih bersemangatnya untuk menuntut ilmu.
Kalau secara picik, ‘untuk apa sih
belajar bahasa Inggris, memang ada bule di Pulo Panjang?’ . Tapi sang Ibu,
memahami betul apa makna dari menuntut ilmu.
Serang-deretan kursi
rektorat dalam keriuahan anak Biologi yang sedang mengerjakan tugas.
Selasa, 13 Mei 2014
16.30 WIB.
hai anis.... seru ya menikmati masa muda dgn kegiatan2 positif,jempol deh buat anis :),btw.. pulau panjang itu dimana ya? :D
BalasHapusemak Aira. Maaf baru balas :)
HapusAlhamdulillah ya Mak. Enak jadi banyak pengalaman.
Itu ada di Serang mak :)