Selasa, 13 Mei 2014

Hari-hari  yang aku lalui penuh dengan tantangan terhitung dari  5 Mei. Bagaimana rasa gerah urung pergi dari badan. Berkesempatan mandipun tidak serajin di kosan, hanya sehari satu kali.  Jika sikat gigipun serasa berkumur dengan air garam, asin. Jika ada luka di badan sungguh rasa perih tak tertahan. Jika keramas, rambut kering dan mudah rontok.

Inilah penginapan putri yang cukup luas dengan barang-barang yang sederhana, mengarah ke dermaga yang menuju pelabuhan Karang Antu. Inilah jawaban Sang Kuasa. Karena pada awal permulaan, tidak ada sebersitpun rencana untuk menjadikan rumah merah muda itu sebagai penginapan peserta dan panitia putri selama 5 hari.

Kecelakaan, ya. Sebelumnya ada sebuah rumah yang sudah dinego jauh hari, ibu pemiliknya pun sudah berkata ‘ya’ dan menyepakati harga. Dan aku beserta Ratna, Niken sebagai panitia yang pertama datang pada hari senin itupun memastikan dan membersihkan setiap ruangannya, bahkan sempat ikut menumpang untuk menunaikan solat ashar. Bahagia, selanjutanya usai berpamitan  dengan pemilik rumah roda motor siap membawa kami menuju penginapan putra dengan tuti (tumpuk tiga).

Setelah membersihkan penginapan putra, aku mengantarkan salah satu panitia menuju mushola untuk bersiap mengambil wudhu, menunaikan solat magrib. Langit merah jingga, matahari rupanya akan kembali ke peraduannya. Dan riuh celoteh aku temukan pada mereka yang sibuk menenteng koper, tas besar, kardus, jinjingan dengan menggunakan almamater yang berbeda, bak warna pelangi ada merah, kuning, hijau, biru, jingga. 

Tempat yang sungguh jauh, jika tidak terbiasa untuk berjalan kaki sudah dipastikan kaki pegal tak karuan. Akupun menjadi salah satu panitia yang mengekor di belakang peserta, ikut berjalan kaki sambil menggendong tas panitia. Bagusnya perjalanan ini tidak sendirian. Bukankah hal paling tak meng-enakan adalah perjalan dan hati hampa tak berteman? Perjalanan ini penuh canda, tawa, dan kadang keluhan tidak jarang keluar ‘kapan sampai?’.

Adzan isya sudah saja berkumandang, jalan ditempuh selama 37 menit lamanya, kasihan sebenaranya melihat peserta harus berjalan kaki sejauh itu. Tempat peristirahat putrapun menjadi singgahan seluruh peserta dan panitia.

Hingga, “Teh, ibunya mendadak ngebatalin” suara nyaring di ujung telepon Ratna, cukup menganggetkanku. Bagaimana mungkin bisa dibatalkan begitu saja? Padahal, satu jam  sebelumnya ibu penginapan sungguh ramah menyambut aku, Niken dan Ratna.

Pesertapun sudah tertangkap wajah kekesalannya, ya aku sadar itu. Belum lagi perut mereka yang kosong. Konsumsi masih diproses oleh ibu di dermaga. Resah, gelisah, menyelimuti banyak panitia. Kuantitas panitia sungguh jauh dibanding peserta, hingga tidak fokus dalam mengurus tanggung jawab. Bahkan banyak pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai jobdesnya. 

Keresahan tidak hanya menghampiri para panitia, pesertapun ada yang canda, boring time, banyak rupa yang aku dapatkan. 

Pada pukul 21.00 WIB, Gusti Allah Maha baiknya, menggerakan hati bu Tati untuk menerima para gadis manis dari penjuru daerah. Patut bersyukur rasanya, karena rumahnya memang nyaman dibanding rumah penginapan sebelumnya. Kini luas, kamar mandinya besar, sungguh berbeda. Ya ini mungkin jawaban terbaik yang tidak pernah aku dan panitia duga.

Di akhir acara PENGMAS, akhirnya aku tahu mengapa ibu pertama penginapan tetiba menolak kehadiran kami. Karena penyebab kerinduan yang sudah menahun. Pada saat akan ditempati oleh peserta putri PENGMAS, sang ibu menelpon suaminya, meminta izin kepadanya untuk memperkenankan mahasiswa yang terdiri dari antar kampus bisa menempati rumah mereka. Tapi, suaminya tidak mengizinkan karena dia akan segera pulang ke Pulo Panjang  dan menyatukan rindu yang sudah tak terbilang. Lega rasanya bukan sebab karena sikap kami yang tak mengenakan melainkan kerinduan yang harus disatukan.

“Akhirnya rumahnya ramai!” suatu sore hari pertama pada acara PENGMAS ketika peserta belum datang dan aku beserta yang lain sibuk membersihkan rumah penginapan putra, ada anak kecil yang bicara dengan lantang dengan bahasa Ja-Sengnya.

Ini rupanya yang menjadi dasar dari cerita Irfan Ali, salah satu panitia mahasiswa akuntasi 2010.

“Iye ni ye, ane kasih tahu. Tapi udah ente udah jangan cerita ama siapa-siapa. Ngerasain hal yang aneh nggak ama penginapan Ikhwan sono? Nah, ntu rumah udah seminggu kosong, nggak dihuni. Seminggu salah satu keleuarganya ada yang meninggal” ucap Ali di pelataran dengan gaya Arabnya.

“Parah lu, ini malam kan kita masih nginep di sana Li” sambut ucapan salah satu panita.

Aku menyimak dengan baik, ‘wah pantas toh ini ada kaitannya dengan ucapan anak-anak kecil itu’. Adakah yang merasa hal aneh saat itu?

Kembali tentang Ibu Tati, selain pada bapak nelayan, ibu-ibu dermaga yang membantu masak. Lagi aku dibuat jatuh cinta dengan sosok bu Tati. Pada malam ke-3 tidak seperti biasanya anak-anak kecil ramai untuk memasuki rumah penginapan, ada rasa antusia dan ingin berkenalan dari wajah anak-anak tersebut. Sungguh payah, dari ke delapan anak yang datang. Hanya Chandra seorang anak laki laki kelas 4 lah yang masih aku ingat namanya.

Ketika sudah berkenalan dengan mereka, aku mengobrol dengan bu Tati di teras. Ingat teras jadi ingat selama lima hari itulah teras menjadi tempat tidur panitia, Aku, Resti, Wieka, Sinta, Iim. Di dalam rumah sudah tidak cukup lagi, akhirnya tanpa beralaskan apapun kami tidur di sana. Ajaibnya, aku yang anti tidur di keramik selama menjadi panitia di sana tidak masuk angin, praise be to Allah. Ya, di teras itulah banyak kenangan yang aku dapatkan, salah satunya dengan bu Tati.

 Bu Tati, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dan memintaku untuk mengajarinya bahasa Inggris.

“Nong, ajari ibu bahasa Inggris, kepengen bisa ibu mah nong” ucap ibu sambil membenarkan sarungnya
Good Morning, selamat pagi”
Good Afternoon, selamat siang”

Good Evening, selamat sore”

Good Night, selamat malam”

Aku hanya mengenalkanya pada ucapan selamat, ibu dengan wajah teduh itu sangat sebarnya mengulan hingga hapal.


“Nah bu, yang tadi artinya itu siapa namamu? Nanti ibu jawab, my name is Tati”
“My Tati” ucap ibu dengan perlahan-lahan.

My name is Tati, bu”

“Oh, gitu ya Nong, my name is Tati”

“Nah, muhun kitu bu” jawabku dengan simpul senyum.

Malam yan indah, bagaiamana seorang ibu yang sudah di atas kepala 4 masih bersemangatnya untuk menuntut ilmu. Kalau secara picik, ‘untuk apa sih belajar bahasa Inggris, memang ada bule di Pulo Panjang?’ . Tapi sang Ibu, memahami betul apa makna dari menuntut ilmu.

Serang-deretan kursi rektorat dalam keriuahan anak Biologi yang sedang mengerjakan tugas.
Selasa, 13 Mei 2014
16.30 WIB.




2 komentar:

  1. hai anis.... seru ya menikmati masa muda dgn kegiatan2 positif,jempol deh buat anis :),btw.. pulau panjang itu dimana ya? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. emak Aira. Maaf baru balas :)
      Alhamdulillah ya Mak. Enak jadi banyak pengalaman.

      Itu ada di Serang mak :)

      Hapus

Anis Sofia © 2016