Senin, 12 Mei 2014

Tercium bau laut dari semilir angin yang tanpa izin terus melewati alat indera penciuman ini. Anginpun berebut menyambut kedatangan anak manusia dari daratan melewati lautan. Tanggal 5 Mei, disinilah dermaga Pulo Panjang, pertama kalinya kedua kaki ini mengijaki tanah yang di kelilingi oleh air laut yang entah berapa jumlah liternya.

Katanya dengan membayar Rp.5000,- sudah bisa menaiki kapal dari pelabuhan Bojonegoro menuju Pulo Panjang dan Rp. 10.000,- untuk kenderaan sepeda motor. Iya saya berkata dengan “katanya”, karena beruntungnya saya dan kawan-kawan saya saat itu adalah dimudahkan dalam membayar ongkos, karena ada yang bersedia dengan suka hati untuk membayarkannya.

Perjalanan panjang dan kegiatan ini tidak semudah yang kalian bayangkan kawan. Begitu banyak hal yang dikorbankan demi kesuksesan acara ini. Tepat pukul 13.00, bis merah untirta membawa saya dan rekan panitia yang lain untuk segera menuju pelabahan Bojonegara, dengan tenaga ekstra di awal permulaan keberangkatan Ma’ulfi, Ichsan, Fajar, Yopie harus mendorong dengan bermandikann peluh agar si bis merah yang sudah tua itu bisa melaju. Ya, begitulah.

Sepanjang perjalanan
menuju pelabuhan, lagi bukanlah perkara mudah. Karena debu selalu tidak ada habisnya mengotori udara di jalanan kota Baja ini. Mobil besar yang tiada pernah hentinya mewarnai dan semakin menatap ngeri roda-roda besar yang dengan kecepatan tinggi di jalan beraspal yang bolong-bolong. Lantas, mata ini menatap para wajah lelah tapi ada senyuman yang tulus dari para adik-adik di keluarga tercinta ini Yopie, Aliyuda, Ratna, Ichsan, Fajar, dan kawanku Ma’ulfi, Niken yang sangat pulasnya tidur untuk menunggu si bis segera sampai di pelabuhan.

Lagi, bukan perkara mudah. Mencoba pribadi ikhlas dan membagi tugas, hanya berdelapan oranglah kami menurunkan berbelas galon air, berpuluh-puluh tas peserta, lima gas tabung, sayur-mayur, peralatan untuk pengabdian selama lima hari. Tapi, canda-tawa jepretan lensa kamera bisa menjadi obat penawar lelah, saling menyemangatilah adalah obat yang paling ampuh.
“Yaah, teh buku taksiran kita jatuh.” Kuyup buku jatuh karya A. Fuadi, dicoba dikeringkan di bawah matahari yang semakin terik
Muka saya dan Niken aneh tak karuan, ketika buku itu rasanya sulit untuk sebagus dulu. Ya, salah kami tidak hati-hati mengangkut buku dari perahu menuju dermaga Pulo Panjang.

“Nong, ini buku dijual? Saya pinjam. Mau baca dulu di kapal ya Nong” Mata saya dan Niken saling menatap ada suara seorang bapak dengan bahasa Ja-Seng (Jawa-Serang) meminta izin kepada kami. Bukan kaget tidak ikhlas, tapi begitukah sangan memesonanya lembaran-lembaran buku itu untuknya?
Saya masih asik dan bergulat dengan barang-barang yang memiliki beratnya beraneka ragam dan lumayan menguras tenaga. Setelah selesai, masih di kapal asik menyaksikan ikan yang entah apa jenisnya, tapi banyak ukuran ikan yang berseliweran di air berenang bergerombalan, ah bukan jurusan perikanan jadi saya hanya menerka saja bahwa mereka sedang mencari makanan. Menggemaskan, ikan itu menjadi penghibur saya dan kawan-kawan yang terus berceloteh akan keindahan dasar laut Pulo Panjang.

Kepala ku menoleh ke sebelah kiri, lebih dari 30 menit bapak yang berkulit hitam terbakar sinar matahari mungkin karena melaut, masih sedang asik membaca buku. Membuka setiap lembaran-lembarannya dengan penuh senyum, kadang  tidak sengaja melihatnya tertawa bahagia membaca buku bergambar, kemudian ganti buku penuh tulisan. Uratan wajah yang sangat nampak, memang  menandakan kalau beliau sudah tidak muda lagi, otot lenganya menunjukan kalau sang Bapak adalah seorang pekerja keras. 

Ah tapi masih begitu menggodakan buku itu pak hingga kau rehat sejenak menghampiri kami dan meminjam sebentar buku sambil menunggu kami menurunkan barang bawaan dan bernego harga? k Kenapa bapak tidak menurunkan barang-barang dan meminta upah seperti orang-orang di sekitar bapak? Apakah penghasilan bapak sudah cukup untuk memenuhi perut anak-anak dan istri hingga bisa santai bersama buku? Atau apakah pak?

Seketika rasa ini begitu hanyut pada haru, bangga yang menggebu, cinta yang tak sendu ketika kau memandang buku itu, seolah kau asik sedang mengobrol dengan seseorang berwujud buku.

“Nong, buku ini dijual?”

“Nggak pak, Insha Allah ada TBM di kampung ini, bapak bisa minjam setiap waktu yang bapak mau”
Dialog Jaseng kembali terjadi, ya seperti itulah artinya saya tak begitu hapal bagaimana untuk menuliskannya dalam bahasa Ja-Seng.

Pak, mungkin mata bapak akan lelah melihat perpustakaan kami yang sepi pengunjung, saya dan beberapa kawan yang malas lebih tertaik mencolokan modem dan berselancar mencari data di dunia maya. Belum lagi perpustakaan daerah yang tidak strategis  berada di sudut terminal Pakupatan, padahal di sana banyak buku.

Bahkan buku-buku yang tertempuk di kamar banyak yang belum dibaca, dibeli dan dianggurkan begitu saja. Ada saja buku yang dijual ke tukang loak, atau lembaran-lembaranya dijual untuk membungkus kacang. Sedangkan kau pak? Ah rasanya kami tertampar untuk benar-benar mencintai buku, kami banyak belajar darimu mu pak! Seorang bapak yang sangat sayang lupa untuk berkenalan.

Serang, 11 Mei 2014
Alunan An-naba. 17.59 WIB
Oleh-oleh dari PENGMAS Nasional yang terdiri dari 20 universitas, Pulo Panjang, kab. Serang-Banten


NB: Mereka terbatas kawan! Tapi semangat mereka tidak ada batasnya. Listrik adanya malam, mau mandi saja dengan air tawar harus membeli 1 dirijen Rp. 850, mengeprint harus menyebrang ke daratan, sakit, bahkan karena tidak ada bidan, ada yang melahirkan di atas kapal. 

Tapi itu bukan alasan untuk mereka untuk bisa menjadi orang hebat. Coba saja kau kesana, akan kau temui sekelompok anak yang siap dengan motivasimu, sekumpulan ibu-ibu yang sedia mendngar ceramah atau diskusi seputar Islam, dan bapak-bapak yang siap bergotong royong untuk perbaikan kampungnya. Mereka ramah.
Terpenting adalah kau datang dengan cinta, maka cinta lagi yang kau dapatkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016