Tercium bau laut dari semilir angin yang tanpa izin terus melewati
alat indera penciuman ini. Anginpun berebut menyambut kedatangan anak
manusia dari daratan melewati lautan. Tanggal 5 Mei, disinilah dermaga
Pulo Panjang, pertama kalinya kedua kaki ini mengijaki tanah yang di
kelilingi oleh air laut yang entah berapa jumlah liternya.
Katanya
dengan membayar Rp.5000,- sudah bisa menaiki kapal dari pelabuhan
Bojonegoro menuju Pulo Panjang dan Rp. 10.000,- untuk kenderaan sepeda
motor. Iya saya berkata dengan “katanya”, karena beruntungnya saya dan
kawan-kawan saya saat itu adalah dimudahkan dalam membayar ongkos,
karena ada yang bersedia dengan suka hati untuk membayarkannya.
Perjalanan
panjang dan kegiatan ini tidak semudah yang kalian bayangkan kawan.
Begitu banyak hal yang dikorbankan demi kesuksesan acara ini. Tepat
pukul 13.00, bis merah untirta membawa saya dan rekan panitia yang lain
untuk segera menuju pelabahan Bojonegara, dengan tenaga ekstra di awal
permulaan keberangkatan Ma’ulfi, Ichsan, Fajar, Yopie harus mendorong
dengan bermandikann peluh agar si bis merah yang sudah tua itu bisa
melaju. Ya, begitulah.
Sepanjang perjalanan
menuju
pelabuhan, lagi bukanlah perkara mudah. Karena debu selalu tidak ada
habisnya mengotori udara di jalanan kota Baja ini. Mobil besar yang
tiada pernah hentinya mewarnai dan semakin menatap ngeri roda-roda besar
yang dengan kecepatan tinggi di jalan beraspal yang bolong-bolong.
Lantas, mata ini menatap para wajah lelah tapi ada senyuman yang tulus
dari para adik-adik di keluarga tercinta ini Yopie, Aliyuda, Ratna,
Ichsan, Fajar, dan kawanku Ma’ulfi, Niken yang sangat pulasnya tidur
untuk menunggu si bis segera sampai di pelabuhan.
Lagi,
bukan perkara mudah. Mencoba pribadi ikhlas dan membagi tugas, hanya
berdelapan oranglah kami menurunkan berbelas galon air, berpuluh-puluh
tas peserta, lima gas tabung, sayur-mayur, peralatan untuk pengabdian
selama lima hari. Tapi, canda-tawa jepretan lensa kamera bisa menjadi
obat penawar lelah, saling menyemangatilah adalah obat yang paling
ampuh.
“Yaah, teh buku taksiran kita jatuh.” Kuyup buku jatuh karya A. Fuadi, dicoba dikeringkan di bawah matahari yang semakin terik
Muka
saya dan Niken aneh tak karuan, ketika buku itu rasanya sulit untuk
sebagus dulu. Ya, salah kami tidak hati-hati mengangkut buku dari perahu
menuju dermaga Pulo Panjang.
“Nong, ini buku dijual? Saya pinjam. Mau baca dulu di kapal ya Nong” Mata saya dan Niken saling menatap ada suara seorang bapak dengan bahasa Ja-Seng (Jawa-Serang) meminta izin kepada kami. Bukan kaget tidak ikhlas, tapi begitukah sangan memesonanya lembaran-lembaran buku itu untuknya?
Saya
masih asik dan bergulat dengan barang-barang yang memiliki beratnya
beraneka ragam dan lumayan menguras tenaga. Setelah selesai, masih di
kapal asik menyaksikan ikan yang entah apa jenisnya, tapi banyak ukuran
ikan yang berseliweran di air berenang bergerombalan, ah bukan jurusan
perikanan jadi saya hanya menerka saja bahwa mereka sedang mencari
makanan. Menggemaskan, ikan itu menjadi penghibur saya dan kawan-kawan
yang terus berceloteh akan keindahan dasar laut Pulo Panjang.
Kepala
ku menoleh ke sebelah kiri, lebih dari 30 menit bapak yang berkulit
hitam terbakar sinar matahari mungkin karena melaut, masih sedang asik
membaca buku. Membuka setiap lembaran-lembarannya dengan penuh senyum,
kadang tidak sengaja melihatnya tertawa bahagia membaca buku bergambar,
kemudian ganti buku penuh tulisan. Uratan wajah yang sangat nampak,
memang menandakan kalau beliau sudah tidak muda lagi, otot lenganya
menunjukan kalau sang Bapak adalah seorang pekerja keras.
Ah tapi masih
begitu menggodakan buku itu pak hingga kau rehat sejenak menghampiri
kami dan meminjam sebentar buku sambil menunggu kami menurunkan barang
bawaan dan bernego harga? k Kenapa bapak tidak menurunkan barang-barang
dan meminta upah seperti orang-orang di sekitar bapak? Apakah
penghasilan bapak sudah cukup untuk memenuhi perut anak-anak dan istri
hingga bisa santai bersama buku? Atau apakah pak?
Seketika
rasa ini begitu hanyut pada haru, bangga yang menggebu, cinta yang tak
sendu ketika kau memandang buku itu, seolah kau asik sedang mengobrol
dengan seseorang berwujud buku.
“Nong, buku ini dijual?”
“Nggak pak, Insha Allah ada TBM di kampung ini, bapak bisa minjam setiap waktu yang bapak mau”
Dialog
Jaseng kembali terjadi, ya seperti itulah artinya saya tak begitu hapal
bagaimana untuk menuliskannya dalam bahasa Ja-Seng.
Pak, mungkin mata bapak akan lelah melihat perpustakaan kami yang sepi pengunjung, saya dan beberapa kawan yang malas lebih tertaik mencolokan modem dan berselancar mencari data di dunia maya. Belum lagi perpustakaan daerah yang tidak strategis berada di sudut terminal Pakupatan, padahal di sana banyak buku.
Bahkan buku-buku yang tertempuk di kamar banyak yang belum dibaca, dibeli dan dianggurkan begitu saja. Ada saja buku yang dijual ke tukang loak, atau lembaran-lembaranya dijual untuk membungkus kacang. Sedangkan kau pak? Ah rasanya kami tertampar untuk benar-benar mencintai buku, kami banyak belajar darimu mu pak! Seorang bapak yang sangat sayang lupa untuk berkenalan.
Pak, mungkin mata bapak akan lelah melihat perpustakaan kami yang sepi pengunjung, saya dan beberapa kawan yang malas lebih tertaik mencolokan modem dan berselancar mencari data di dunia maya. Belum lagi perpustakaan daerah yang tidak strategis berada di sudut terminal Pakupatan, padahal di sana banyak buku.
Bahkan buku-buku yang tertempuk di kamar banyak yang belum dibaca, dibeli dan dianggurkan begitu saja. Ada saja buku yang dijual ke tukang loak, atau lembaran-lembaranya dijual untuk membungkus kacang. Sedangkan kau pak? Ah rasanya kami tertampar untuk benar-benar mencintai buku, kami banyak belajar darimu mu pak! Seorang bapak yang sangat sayang lupa untuk berkenalan.
Serang, 11 Mei 2014
Alunan An-naba. 17.59 WIB
Oleh-oleh dari PENGMAS Nasional yang terdiri dari 20 universitas, Pulo Panjang, kab. Serang-Banten
NB:
Mereka terbatas kawan! Tapi semangat mereka tidak ada batasnya. Listrik
adanya malam, mau mandi saja dengan air tawar harus membeli 1 dirijen
Rp. 850, mengeprint harus menyebrang ke daratan, sakit, bahkan karena
tidak ada bidan, ada yang melahirkan di atas kapal.
Tapi itu bukan
alasan untuk mereka untuk bisa menjadi orang hebat. Coba saja kau
kesana, akan kau temui sekelompok anak yang siap dengan motivasimu,
sekumpulan ibu-ibu yang sedia mendngar ceramah atau diskusi seputar
Islam, dan bapak-bapak yang siap bergotong royong untuk perbaikan
kampungnya. Mereka ramah.
Terpenting adalah kau datang dengan cinta, maka cinta lagi yang kau dapatkan.
0 komentar:
Posting Komentar