Senin, 24 Oktober 2016

 
 
Sagu Papua merupakan salah satu dari makanan nusantara, Sagu Papua berbeda dengan sagu-sagu yang di Pulau Jawa yang terbuat dari tepung Tapioka. Sudahkah pernah mencoba panganan khas di timur Indonesia ini? Sebelum melahap Papeda, mari kita betapa rumitnya proses pembuatan Sagu Papua. Inilah pengalaman saya menyaksikan langsung bagaimana pembuatan Sagu Papua di Kampung Beo, Distrik Tiplol Mayalibit, Raja Ampat, Papua Barat.

 Langkah pertama untuk mendapatkan sagu yaitu dengan “Tokong Sagu” suatu kegiatan memperoleh sagu, dengan menebang pohon sagu lalu dikelupas kulitnya dan diambil isinya, satu pohon sagu bisa dikerjakan 4-6 orang. 
 


Langkah selanjutnya setelah mendapatkan bahan mentah sagu dari tokong sagu, masih banyak PR yang harus dikerjakan. Sagu satu karung dihargai Rp. 100.000,- itu dicuci berkali-kali dengan air tawar. Syukur jika musim penghujan, jika kemarau? Sungguh sangat merepotkan, karena harus mendayung perahu untuk mendapatkan beberapa ember air tawar. Pencucian bahan sagu mentah ini dilakukan berkali-kali, hingga si sagu berwarna putih.

Sagu yang sudah berwarna putih, harus dijemur untuk memudahkan tahap selanjutnya yaitu disaring. Penyaringan sagu ini memerlukan keahlian khusus,  3-4 penyaringan patokannya. Tapi, walaupun sudah 4 kali disaring, belum tentu sempurna. Bibi Tini bilang harus benar-benar halus, tidak boleh basah dan kering, oalah di sini dibuat bingung “Tidak boleh basah dan kering?”
 


Setelah diayak berkali-kali sudah sesuai dengan ukuran halus Bibi Tini, maka siap untuk dimasak. Bukan oven yang berbentuk kotak, melainkan tanah liat yang dicetak berbentuk kubus di dalamnya ada ruang-ruang untuk tempat sagu dimasak. Alat ini disebut dengan Forno. Memasak sagu, tidak langsung di atas tungku. Melainkan, si Forno dipanaskan di atas tungku, hingga berwarana merah menyala akibat panas yang dihasilkan oleh api kayu bakar. Berbekal lap, Bibi Tini mengangkat Forno, melihatnya membuatku mengigit bibir, bagaimana jika si Forno yang beratnya 2-3 kg itu jatuh lalu mengenai kaki?
 
 

Forno yang sudah diangkat, kemudian menunggunya agar tidak terlalu panas, lalu butiran-butiran halus sagu dimasukkan ke dalam ruang-ruang kosong. Alat untuk memasukkan butiran halus sagu yaitu terbuat dari benda di yang ditemukan alam Kampung Beo, berupa daun sagu dan bilah bambu yang sudah dibersihkan sebelumnya. Ketika ruang-ruang Forno sudah terisi oleh butiran halus sagu, maka Forno yang terbuka ditutup oleh seng, di atas seng ditimpahi oleh batu.
 


Lagi-lagi, butuh insting yang kuat untuk mengatahui apakah si butiran halus ini mencair lalu membentuk sesuai cetakan dan mengeras. Pengalaman Bibi Tini yang bertahun-tahun membuat kedua mataku terpukau. Tanpa ragu, Bibi Tini membuka tutup dari seng, lalu mengambil menggunakan capitan yang terbuat dari pilah bambu.

Sagu sudah tidak berbentuk butiran halus, melainkan berupa persegi padat dengan pinggiran yang berwarna hitam. Sagu masih belum bisa dinikmati, harus ditaruh di atas perapian, bukan untuk dibakar, melainkan mendapat asap dari api di tungku.

Sagu semakin menghitam akibat asap, setelah dirasa pengasapan cukup. Maka, sagu diangkat lalu dibersihkan dari bekas pengasapan dan dioven tadi. Pembersihan noda hitampun tidak memakai alat sembarangan, bukan sikat atau pisau, melainkan dibersihkan menggunakan kulit ikan pari. Tidak semua jenis ikan pari dapat digunakan. Kulit ikan Pari yang sudah didapatkan, dijemur lalu dibalutkan mengeliingi tongkat kecil. Permukaan ikan kulit ikan pari yang bergerigi, memudahkan untuk membersihkan noda hitam.

Sudah siap disantap? Belum! Sagu yang sudah dibersihkan, harus didiamkan semalaman untuk besok harinya dapat dipotong sesuai selera. Lalu sudah dibisa dinikmati dengan secangkir kopi senang? Masih belum bisa. Setelah dipotong sesuai ukuran yang diinginkan, sagu-sagu dijejerkan dijemur di bawah panas terik matahari selama berhari-hari, paling cepat tiga hari. Rumit bukan? Butuh kesabaran tinggi untuk mendapatkan sagu terbaik, prosesnya begitu sangat lama. Harus bersabar untuk bisa menikmati sagu bersama teh, kopi atau kamu, eh.

Ceritanya ku sungai yang deras, ceritanya ku pu hutan yang luas, tempat matahari selalu menyanyi.


  
http://www.sarihusada.co.id/Nutrisi-Untuk-Bangsa/Aktivitas/Jelajah-Gizi/Jelajah-Gizi-4-Membedah-Nilai-Gizi-Masakan-Minahasa   




















#Jelajahgizi #jelajahgiziminahasa #sarihusada #nutrisiuntukbangsa

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016