Pada jarak-jarak waktu aku selalu
menunggu. Sebuat cita dalam cinta yang kudapatkan dalam detakan waktu. Di bulan April ini
begitu
banyak langkah-langkah cinta yang kuharap, segala ketulusan cinta itu
menjadikan cita ku menggebu.
Dalam masa yang semakin bertambah, ada
cita yang bergemuruh tak terbantah. Berbagai targetan impian, ku tulisakan
dalam catatan impian ku. Berharap semua dapat tercoret sempurna.
“Oke, fiks. Go to padang. Go
to Jakarta. Go to Aceh. Allahuma Aamiin. Oh once again jadi
pengajar! Eh, the winner di Bem univ nulis esai” selepas merangkainya ku
tempelkan di mading hijau.
Kehidupan berjalan dengan baik.
Menulis esai dua jam sebelum deadline. Bersyukur panitia begitu baik hingga
masih mau menerima tiga halaman esai yang telah kubuat. Kemudian menunggu
dengan penuh doa.
Di sela-sela kehidupan masa mahasiswa,
yang tiap hari tak pernah terhindar akan tugas yang bejibun. Organisasi yang
selalu ada di setiap bilik hati ini, bagaimana tidak? Di keluarga kelas menulis
ini aku menjadi salah satu petinggi disini. Harus bisa mengayomi adik-adik
tingkat, memberikan teladan, menyamangati mereka. Lomba Karya Tulis Al Quran,
menjadi satu langkah untuk memberikan contoh dan semangat kepada adik-adik
tingkat, mengijakan kaki di kota yang
terkenal makanan pedasnya.
Menambah
khasanah ilmu, menjaring sahabat baru, terbang gratis. Ah memang segala alasan
menjadi penggerak aku, Lita, Rika untuk mengorbankan malam tak tidur, akhir pekan
tidak pulang kampung, dan sibuk mencari buku referensi di perpustakaan.
“Semangat Rara! Go to padang!” ucap
Lita menggebu-gebu sambil menepuk bahuku, melihat mataku yang sudah tak karuan
bentuknya.
LKTIA itu Alhamdulillah sudah mendapat
beberapa referensi, dan saatnya hari ini fokus menjawab pertanyaan lima
penguji. Kini kuberada di LPPM universitas dimana aku menuntut ilmu. Ada
tigapuluh peserta lintas fakultas jurusan yang mengikuti seleksi KKM Nasional
ini, dan mereka semua adalah aktivis.
“Apa yang kamu ketahui tentang Aceh?”
“Apa program kerjamu jika terpilih?”
“GAM, tidak takutkah kamu nanti KKM
disana?”
“Rara, kamu seorang perempuan
memangnya berani?”
Lebih dari tiga pertanyaan terlontar yang harus dijawab dengan cepat dan tepat.
Malangnya nasibku, selalu mendapatkan pertanyaan terakhir. Apakah karena aku
hanya satu-satunya wanita yang berada di kelompok 2 wawancara ini? Jika karena
aku berjenis kelamin wanita penyebabnya, ini sungguh diskriminasi. Setiap
jawaban yang aku sampaikan terkesan copas dari jawaban-jawaban teman-temanku
sebelumnya, ya nasib mendapatkan pertanyaan terakhir. Hanya berusaha menjawab
sebaik mungkin, tanpa ada copas argument sana sini.
Seleksi KKM Nasional fase wawancara,
telah usai walaupun mengorbankan jatah kuliah, tak mengapa. Karena impian itu tak
instan, butuh perjuangan keras. Lagi, ku menunggu dengan dipenuhi deruman doa
dalam setiap ku menghadap-Nya.
Sungguh seharian ini begitu berjuang
dengan peluh, semangat bergemuruh. Setelah diuji oleh lima penguji, lima
ruangan yang berbeda, dan pertanyaan yang sudah tak terhitungkan oleh jari dan
hebatnya ku perempuan seorang dalam di kelompok dua, hebatnya lagi satu
kelompok dengan mantan ketua himatika, ketua himaguseda, ketua umum pramuka,
pengurus BEM-FE. Ke empat teman-teman seperjuangan itu sungguh luar biasa,
cerdasnya mereka tak terbantahkan. Pertanyaan terbesar yang bergejolak dalam
diri ini siapakah dari kelompokku yang akan menuju Aceh?
Lagi dan lagi menunggu dan tak bosanya
untuk selalu memanaskan doa doa yang ku mohon pada Maha Pecinta. Setibanya di
masjid, waktu masih jauh menunjukkan waktu adzan ashar. Langsung ke
memanfaatkan waktu membuka sibiru, mengkoneksikannya dengan wifi kampus yang
tersedia. Mudah, memiliki akun NIM disertai password sesuai yang diinginkan
“Tik.. tak tik”, sudah terkoneksi dengan cepat.
Jemariku dengan lincah memasukan situs
www.FIM.com. Hari ini, hari penantianku selama
31 hari. Penantian dipinang oleh FIM untuk mengikuti rangkaian leadership di
Jakarta. Sungguh kalau bukan sahabatku di IPB, pasti sudah ku acuhkan kegiatan
FIM ini. Kaze sahabat satuku ini telah berkoar-koar kehebatan kegiatan FIM yang
pernah dirasakan olehnya. Ku masukkan username, password di situs FIM, harapan
itu semakin berderu kencang. Tak lupa kalimat bismillah yang selalu diingatkan
oleh murrabi untuk melakukan kegiatan, aku ucapkan.
“Tak apa, tahun depan masih bisa!”
mencoba tenang, menatap nyinyir dan hati berdesah resah. Satu langkah gagal,
masih ada harapan-harapan lain yang masih dalam masa penantian.
*~*~*
Setelah berjuang keras, menahan malu
dihadapan para audiens saat lomba syarhil quran. Saatnya memantapkan kaki
menuju gedung rektorat. Disana ada pengumuman, tiga besar LKTI yang lolos dan
akan dipresentasikan esok harinya, kemudian akan dipilih satu terbaik.
Tiga nama jelas tertempel di mading
rektorat, berkali-kali ku menjelikan mata memerhatikan setiap abjad dalam
rangkaian nama-nama yang tertera. Tetap saja tak akan mengubah, tidak ada nama
Rara Sofia dan Lita Nur Dwi. Sungguh kembali gagal, dan cukup menelan pahit.
Kembali belum berhasil merasakan MTQ Nasional di Padang, dan tak akan bisa.
Kesempatan terakhir, untuk menunggu dua tahun ke depan itu sangatlah tidak
mungkin, sudah dipastikan aku mendapatkan gelar S.Pd dan sahabatku Lita S.p.
Tiga hari dalam menunggu rasanya
bagaikan tiga tahun menahan rindu. Dalam tiga hari menunggu pengumuman KKM
Nasional yang akan dihubungi by phone oleh LPPM, ku persiapkan diri
dengan mencari bahan-bahan materi untuk tes tulis. Lagi, aku berharap bisa lolos
dan menjadi bagian keluarga besar di Rumah Baru, lembaga bimbel yang katanya
popular seIndonesia. “Ya semoga bisa masuk ke Rumah Baru.”
Kini telepon genggamku yang berwarna
hitam yang setengah canggih, bermerkkan nokia 200. Menjadi jantung sebuah pengumuman.
Si hitam tidak boleh diberikan kesempatan mati walau sesaat. Maka di tas gendongku,
tak pernah lupa membawa chargeran sebagai aliran kehidupan untuk si
Hitam jika tetiba mati.
Si Hitam belum disilentkan.
Padahal jarum jam sudah lebih dari tigapuluh menit masa pembelajaran di dalam
kelas, tapi tetap saja dosen belum terlihat batang hidungnya. Sambil menunggu
dosen yang tak da kabar, ku membalas sms yang datang satu persatu ke telepon
genggamku ini.
“Trala-la..laa” Si Hitam bersuara,
nomor baru. Sedikit ragu untuk mengangkat, mengingat sebulan yang lalu aku
kecelakaan terhipnotis melalui orang yang menelepon.
Memberanikan diri, dan mengucapkan
lafadzNya “Assalamu’alaikum, halo?” tanyaku mengawali pembicaraan sambil ke
luar kelas.
“Walaikumsalam. Selamat siang bu!
Dengan ibu Rara Sofia? Besok lusa
diharapkan datang di Rumah Baru, kebun Jahe untuk mengikuti tes tulis. Pukul
13.00. oke bu? Ada yang ditanyakan?”
Sekejap kumengingat jadwal. Tak ada
kuliah. “Iya bu, bisa terimakasih”
Sebuah senyum sumringah yang telah
mengalihkan pandangan mata yang keheranan menatap ku senyum-senyum sendiri yang
memasuki kelas. Tak apa, rasa ini mulai tersiram kabar segar.
Seratus dua puluh menit berlalu,
dengan keributan tak karuan di dalam kelas. Ada yang mengobrol, sore ini mau
makan di AW, MOS, CFC, MD. Ada yang menagih uang arisan, di sudut kanan ruangan
ada yang menjajakan blazer terbaru, ada kumpulan tiga temanku yang membahas
observasi mengajar, hingga ada yang meminta usul ke teman-temanku mengenai buah
tangan apa yang pas untuk di hari pernikahannya. Sungguh gambaran kelas yang
banyak warna, sedangkan aku menjadi penonton setia mereka, sambil sesekali
membaca buku dan satu lagi aku segera memberikan kabar gembira kepada sang guru
kehidupan, bahwa aku ditelepon oleh sesosok wanita yang menyuruhku datang untuk
tes tulis.
Sesuai arahan petunjuk sang guru
kehidupan. Ku mencari data-data materi yang sekiranya nanti akan menodongku ketika
tes tulis nanti. Puisi, pantun, cerpen, pidato, pengumuman, surat dan masih
banyak materi bahasa Indonesia yang harus kudapatkan.
Sekelibat ku melihat sahabatku yang
berjalan menuju masjid “ Eh sob, jadi siapa yang KKM Nasional? Lu dah
ditelpon?. Hp gw sepi sepi aja nih nggak ada yang nelponin” ucapku to the
point.
“ Wihh udah Ra,
pas senin. Gw, Pamungkas, Mantufli, Hana, lolos! Doain ya Ra!” ucapnya sambil
meninggalkan jejak sepatu pentopel cokelatnya.
“Sukses ya Bro!” ucapku teriak, hati
ini yang terdalam ikut menjerit. Sudah lebih berkali-kali gagal, lagi dan lagi
menelan pil pahit. Padahal luka kemarin masih sedikit menyisakan.
“Selamat ya adiku sayang! Juara satu
esai bem univ, juara 2 aksi” ucapku dengan penuh senyum bangga melihat Ika dan
Eni yang menjuarai beberapa lomba. Walau jujur dalam hati ada beberapa luka
tersayat, berharap bisa masuk tiga besar dengan adik-adik kelas yang luar biasa
ini.
Setidaknya Ika yang juara 1 lomba esai
telah membuatku tersenyum dan bangga memiliki adik yang punya semangat menulis,
tulisannya memang indah. Semakin banyak saja orang yang suka menulis, semakin
bahagia rasanya.
Belum
lagi sahabat Ika, Eni. Dua mahluk ini memang susah dipisahkan, sikapnya yang
memiliki kesamaan. Bangga rasanya balutan kebaya putih yang anggun, jilbab
panjangnya tidak menghalanginya untuk berkoar mengungkapkan segala keresahan
mengenai wanita. Sungguh hari pertama kita berjumpa, kemarin saat mereka
memagang tropi, hingga saat ini cinta ini tidak berkurang, yang ada semakin
bertambah.
Sudahlah,
kertas itu memang tercoret satu demi satu. Walau bukan karena suatu
keberhasilan yang diharapkan. Ada yang lebih tahu terbaik untuk diriku. Masih
ada cita tak kelabu untuk menjadi bagian dari keluarga Rumah Baru, bisakah? Aku
hanya menguatkan tangan, hati, pikiran, otak untuk bersiap tes tulis. Segala
cita ini tak akan kelabu..
Bersambung..
Sabtu,
1 Juni 2013|08.29 WIB
Dalam
instrument keran|bondan-Kita selamanya|prepare to walimahan senior TRAS|Prepare
to babsa peduli|TAK ADA YANG SIA SIA J!!