Jumat, 31 Mei 2013



          Pada jarak-jarak waktu aku selalu menunggu. Sebuat cita dalam cinta yang kudapatkan dalam detakan waktu.  Di bulan April ini begitu banyak langkah-langkah cinta yang kuharap, segala ketulusan cinta itu menjadikan cita ku menggebu.
          Dalam masa yang semakin bertambah, ada cita yang bergemuruh tak terbantah. Berbagai targetan impian, ku tulisakan dalam catatan impian ku. Berharap semua dapat tercoret sempurna.
          “Oke, fiks. Go to padang. Go to Jakarta. Go to Aceh. Allahuma Aamiin. Oh once again jadi pengajar! Eh, the winner di Bem univ nulis esai” selepas merangkainya ku tempelkan di mading hijau.
          Kehidupan berjalan dengan baik. Menulis esai dua jam sebelum deadline. Bersyukur panitia begitu baik hingga masih mau menerima tiga halaman esai yang telah kubuat. Kemudian menunggu dengan penuh doa.
          Di sela-sela kehidupan masa mahasiswa, yang tiap hari tak pernah terhindar akan tugas yang bejibun. Organisasi yang selalu ada di setiap bilik hati ini, bagaimana tidak? Di keluarga kelas menulis ini aku menjadi salah satu petinggi disini. Harus bisa mengayomi adik-adik tingkat, memberikan teladan, menyamangati mereka. Lomba Karya Tulis Al Quran, menjadi satu langkah untuk memberikan contoh dan semangat kepada adik-adik tingkat,  mengijakan kaki di kota yang terkenal makanan pedasnya.
Menambah khasanah ilmu, menjaring sahabat baru, terbang gratis. Ah memang segala alasan menjadi penggerak aku, Lita, Rika untuk mengorbankan malam tak tidur, akhir pekan tidak pulang kampung, dan sibuk mencari buku referensi di perpustakaan.
          “Semangat Rara! Go to padang!” ucap Lita menggebu-gebu sambil menepuk bahuku, melihat mataku yang sudah tak karuan bentuknya.
          LKTIA itu Alhamdulillah sudah mendapat beberapa referensi, dan saatnya hari ini fokus menjawab pertanyaan lima penguji. Kini kuberada di LPPM universitas dimana aku menuntut ilmu. Ada tigapuluh peserta lintas fakultas jurusan yang mengikuti seleksi KKM Nasional ini, dan mereka semua adalah aktivis.
          “Apa yang kamu ketahui tentang Aceh?”
          “Apa program kerjamu jika terpilih?”
          “GAM, tidak takutkah kamu nanti KKM disana?”
          “Rara, kamu seorang perempuan memangnya berani?”
          Lebih dari tiga pertanyaan terlontar  yang harus dijawab dengan cepat dan tepat. Malangnya nasibku, selalu mendapatkan pertanyaan terakhir. Apakah karena aku hanya satu-satunya wanita yang berada di kelompok 2 wawancara ini? Jika karena aku berjenis kelamin wanita penyebabnya, ini sungguh diskriminasi. Setiap jawaban yang aku sampaikan terkesan copas dari jawaban-jawaban teman-temanku sebelumnya, ya nasib mendapatkan pertanyaan terakhir. Hanya berusaha menjawab sebaik mungkin, tanpa ada copas argument sana sini.
          Seleksi KKM Nasional fase wawancara, telah usai walaupun mengorbankan jatah kuliah, tak mengapa. Karena impian itu tak instan, butuh perjuangan keras. Lagi, ku menunggu dengan dipenuhi deruman doa dalam setiap ku menghadap-Nya.
          Sungguh seharian ini begitu berjuang dengan peluh, semangat bergemuruh. Setelah diuji oleh lima penguji, lima ruangan yang berbeda, dan pertanyaan yang sudah tak terhitungkan oleh jari dan hebatnya ku perempuan seorang dalam di kelompok dua, hebatnya lagi satu kelompok dengan mantan ketua himatika, ketua himaguseda, ketua umum pramuka, pengurus BEM-FE. Ke empat teman-teman seperjuangan itu sungguh luar biasa, cerdasnya mereka tak terbantahkan. Pertanyaan terbesar yang bergejolak dalam diri ini siapakah dari kelompokku yang akan menuju Aceh?
          Lagi dan lagi menunggu dan tak bosanya untuk selalu memanaskan doa doa yang ku mohon pada Maha Pecinta. Setibanya di masjid, waktu masih jauh menunjukkan waktu adzan ashar. Langsung ke memanfaatkan waktu membuka sibiru, mengkoneksikannya dengan wifi kampus yang tersedia. Mudah, memiliki akun NIM disertai password sesuai yang diinginkan “Tik.. tak tik”, sudah terkoneksi dengan cepat.
          Jemariku dengan lincah memasukan situs www.FIM.com. Hari ini, hari penantianku selama 31 hari. Penantian dipinang oleh FIM untuk mengikuti rangkaian leadership di Jakarta. Sungguh kalau bukan sahabatku di IPB, pasti sudah ku acuhkan kegiatan FIM ini. Kaze sahabat satuku ini telah berkoar-koar kehebatan kegiatan FIM yang pernah dirasakan olehnya. Ku masukkan username, password di situs FIM, harapan itu semakin berderu kencang. Tak lupa kalimat bismillah yang selalu diingatkan oleh murrabi untuk melakukan kegiatan, aku ucapkan.
          “Tak apa, tahun depan masih bisa!” mencoba tenang, menatap nyinyir dan hati berdesah resah. Satu langkah gagal, masih ada harapan-harapan lain yang masih dalam masa penantian.
          *~*~*
          Setelah berjuang keras, menahan malu dihadapan para audiens saat lomba syarhil quran. Saatnya memantapkan kaki menuju gedung rektorat. Disana ada pengumuman, tiga besar LKTI yang lolos dan akan dipresentasikan esok harinya, kemudian akan dipilih satu terbaik.
          Tiga nama jelas tertempel di mading rektorat, berkali-kali ku menjelikan mata memerhatikan setiap abjad dalam rangkaian nama-nama yang tertera. Tetap saja tak akan mengubah, tidak ada nama Rara Sofia dan Lita Nur Dwi. Sungguh kembali gagal, dan cukup menelan pahit. Kembali belum berhasil merasakan MTQ Nasional di Padang, dan tak akan bisa. Kesempatan terakhir, untuk menunggu dua tahun ke depan itu sangatlah tidak mungkin, sudah dipastikan aku mendapatkan gelar S.Pd dan sahabatku Lita S.p.        
          Tiga hari dalam menunggu rasanya bagaikan tiga tahun menahan rindu. Dalam tiga hari menunggu pengumuman KKM Nasional yang akan dihubungi by phone oleh LPPM, ku persiapkan diri dengan mencari bahan-bahan materi untuk tes tulis. Lagi, aku berharap bisa lolos dan menjadi bagian keluarga besar di Rumah Baru, lembaga bimbel yang katanya popular seIndonesia. “Ya semoga bisa masuk ke Rumah Baru.”
          Kini telepon genggamku yang berwarna hitam yang setengah canggih, bermerkkan nokia 200. Menjadi jantung sebuah pengumuman. Si hitam tidak boleh diberikan kesempatan mati walau sesaat. Maka di tas gendongku, tak pernah lupa membawa chargeran sebagai aliran kehidupan untuk si Hitam jika tetiba mati.
          Si Hitam belum disilentkan. Padahal jarum jam sudah lebih dari tigapuluh menit masa pembelajaran di dalam kelas, tapi tetap saja dosen belum terlihat batang hidungnya. Sambil menunggu dosen yang tak da kabar, ku membalas sms yang datang satu persatu ke telepon genggamku ini.
          “Trala-la..laa” Si Hitam bersuara, nomor baru. Sedikit ragu untuk mengangkat, mengingat sebulan yang lalu aku kecelakaan terhipnotis melalui orang yang menelepon.
          Memberanikan diri, dan mengucapkan lafadzNya “Assalamu’alaikum, halo?” tanyaku mengawali pembicaraan sambil ke luar kelas.
          “Walaikumsalam. Selamat siang bu! Dengan ibu Rara Sofia? Besok  lusa diharapkan datang di Rumah Baru, kebun Jahe untuk mengikuti tes tulis. Pukul 13.00. oke bu? Ada yang ditanyakan?”
          Sekejap kumengingat jadwal. Tak ada kuliah. “Iya bu, bisa terimakasih”
          Sebuah senyum sumringah yang telah mengalihkan pandangan mata yang keheranan menatap ku senyum-senyum sendiri yang memasuki kelas. Tak apa, rasa ini mulai tersiram kabar segar.
          Seratus dua puluh menit berlalu, dengan keributan tak karuan di dalam kelas. Ada yang mengobrol, sore ini mau makan di AW, MOS, CFC, MD. Ada yang menagih uang arisan, di sudut kanan ruangan ada yang menjajakan blazer terbaru, ada kumpulan tiga temanku yang membahas observasi mengajar, hingga ada yang meminta usul ke teman-temanku mengenai buah tangan apa yang pas untuk di hari pernikahannya. Sungguh gambaran kelas yang banyak warna, sedangkan aku menjadi penonton setia mereka, sambil sesekali membaca buku dan satu lagi aku segera memberikan kabar gembira kepada sang guru kehidupan, bahwa aku ditelepon oleh sesosok wanita yang menyuruhku datang untuk tes tulis.
          Sesuai arahan petunjuk sang guru kehidupan. Ku mencari data-data materi yang sekiranya nanti akan menodongku ketika tes tulis nanti. Puisi, pantun, cerpen, pidato, pengumuman, surat dan masih banyak materi bahasa Indonesia yang harus kudapatkan.
          Sekelibat ku melihat sahabatku yang berjalan menuju masjid “ Eh sob, jadi siapa yang KKM Nasional? Lu dah ditelpon?. Hp gw sepi sepi aja nih nggak ada yang nelponin” ucapku to the point.
          “ Wihh udah Ra, pas senin. Gw, Pamungkas, Mantufli, Hana, lolos! Doain ya Ra!” ucapnya sambil meninggalkan jejak sepatu pentopel cokelatnya.
          “Sukses ya Bro!” ucapku teriak, hati ini yang terdalam ikut menjerit. Sudah lebih berkali-kali gagal, lagi dan lagi menelan pil pahit. Padahal luka kemarin masih sedikit menyisakan.
          “Selamat ya adiku sayang! Juara satu esai bem univ, juara 2 aksi” ucapku dengan penuh senyum bangga melihat Ika dan Eni yang menjuarai beberapa lomba. Walau jujur dalam hati ada beberapa luka tersayat, berharap bisa masuk tiga besar dengan adik-adik kelas yang luar biasa ini.
          Setidaknya Ika yang juara 1 lomba esai telah membuatku tersenyum dan bangga memiliki adik yang punya semangat menulis, tulisannya memang indah. Semakin banyak saja orang yang suka menulis, semakin bahagia rasanya.
Belum lagi sahabat Ika, Eni. Dua mahluk ini memang susah dipisahkan, sikapnya yang memiliki kesamaan. Bangga rasanya balutan kebaya putih yang anggun, jilbab panjangnya tidak menghalanginya untuk berkoar mengungkapkan segala keresahan mengenai wanita. Sungguh hari pertama kita berjumpa, kemarin saat mereka memagang tropi, hingga saat ini cinta ini tidak berkurang, yang ada semakin bertambah.
Sudahlah, kertas itu memang tercoret satu demi satu. Walau bukan karena suatu keberhasilan yang diharapkan. Ada yang lebih tahu terbaik untuk diriku. Masih ada cita tak kelabu untuk menjadi bagian dari keluarga Rumah Baru, bisakah? Aku hanya menguatkan tangan, hati, pikiran, otak untuk bersiap tes tulis. Segala cita ini tak akan kelabu..
Bersambung..
Sabtu, 1 Juni 2013|08.29 WIB
Dalam instrument keran|bondan-Kita selamanya|prepare to walimahan senior TRAS|Prepare to babsa peduli|TAK ADA YANG SIA SIA J!!

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016