Sopir yang Hebat
Menunggu
angkot yang langka sudah menjadi aktivitas aku setiap pekannya. Setiap jum’at dan selasa, aku setia menunggu dan bersabar karena angkot yang biasa aku tumpangi seperti biasanya mengetem.
Ada rasa tidak enak sebenarnya jika harus telat
kembali mengajar, usaha untuk on time selalu ada tapi tempat lembaga
privat begitu jauh.
Kesabaran
aku membuahkan hasil, akhirnya ada angkot kosong yang berhenti di depanku. Tidak seperti biasanya mobil ke
Puri Hijau sepi penumpang.
“Mau kemana Neng?” Tanya Pak sopir sambil menatap wajahku.
“Mau ke Puri Hijau Pak?” Jawabku dengan pelan, sambil menatap ke arah tempat duduk
penumpang yang masih kosong.
“ Bapak juga rumahnya dekat-dekat situ, Neng” Ujar Pak sopir sambil mengendarai carry dengan hati-hati.
“ Neng kelas berapa?” Tanya Pak sopir sambil fokus matanya mencari penumpang.
Aku
terkejut akan pertanyaan yang mengira bahwa aku masih SMA, padahal aku sudah
duduk di bangku kuliah semester dua. Mungkin wajahku baby face. Jadi
wajar jika Bapak
sopir mengira aku masih mengenakan
seragam
abu-abu, ingin terbang rasanya mendengar
pernyataan
Pak sopir tadi. Hehe.
“Sebetulnya saya sudah kuliah Pak, di UNTIRTA alhamdulillah sudah semester 2.” Aku berusaha menjelaskan. Dan hari ini bukan mau pulang ke rumah tetapi saya mau mengajar privat,” Tambahku pada Pak sopir.
“Ohh... jadi Neng sudah kuliah, bukan anak
SMA lagi." Pak sopir menjadi
malu. “Ma’afin Bapak yah Neng, Bapak nggak tahu sambil senyum-senyum”.
“Bapak juga punya anak. Kedua anak Bapak sama kaya Neng kuliah
di UNTIRTA juga.
Anak pertama Bapak
jurusan ilmu komunikasi semester
4 dia ambil regular,
dan anak kedua Bapak
semester 2 sama seperti Neng
ambil jurusan ilmu administrasi Negara.
Dan anak Bapak
yang terakhir
perempuan dia masih SMA kelas 1”.
Tasbihku dalam hati. Bapaknya sangat
memerhatikan semua anaknya. Padahal
biaya untuk
sekolah dan kuliah begitu mahal, apalagi biaya SPP sekarang semakin tinggi. Hebat Pak
sopir bisa menyekolahkan ketiga anaknya, apa lagi penghasilannya yang tak
menentu dan tak seberapa besar separti orang yang kerja di kantoran.
“Mmh...Bapak tidak merasa berat yah menyekolahkannya?” Tanya ku dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Pak sopir.
“Untuk kalangan seperti Bapak ini agak berat Neng, tetapi
demi anak Bapak akan lakukan apa saja agar anak Bapak tidak susah hidupnya
seperti Bapak yang hanya sebatas tukang sopir yang berpenghasilan minim. Bapak
ingin melihat anak-anak Bapak
berhasil, dan bisa bermanfaat untuk orang lain. Harapannya.
Maka dari itu Bapak
akan terus berkerja keras demi anak-anak Bapak. Insya Allah semua pasti ada jalan. Bapak sangat berharap
sama gusti Allah dimudahkan rezekinya. Bapak juga bekerja ingin mendapatkan
keridhoanNya. Aamiin ya Robbal’alamin.” Pak sopir yang penuh semangat
menceritakan niatnya dalam menyekolahkan putra-putrinya kepadaku sambil
berkaca-kaca. Terlihat dari kaca mobil yang ada di depannya.
“Orangtua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk
anak-anaknya,” gumamku dalam
hati. Aku
tertegun mendengarkan semua cerita
Bapak,
hati ini terketuk dan mulai merasakan kerinduan yang mendalam kepada orangtua.
Saat itu rasanya ingin berada di hadapan Ibu
dan Bapak, memeluk
mereka dan mengucapkan
terima kasih. Tiba-tiba Pak
sopir kembali besuara setelah lima menit terdiam. “Neng,
belajar yang benar yah.
Bahagiakan
orang tuamu, buat mereka bangga!”
Nasihat Pak sopir itu kepadaku penuh semangat.
“Kiriiii...Pak!” Ternyata
tempat lembaga privatku hampir kelewat.
“Yah, Pak... Terima kasih atas nasihatnya” Senyumku penuh bahagia sambil merogohkan uang yang ada di dalam tas biruku untuk
ongkos. Bapak
sopir itu hanya tersenyum hangat, dan menyuruhku untuk
tidak
membayar ongkosnya. Perlahan demi
perlahan akhirnya angkot biru itu menjauh dari tatapanku.
Bapak sopir yang hebat, yang aku temui kali ini telah
membukakan mata hati aku, tulusnya kasih sayang orangtua, dahsyatnya perjuangan
orangtua. Satu hari yang tidak pernah aku lupakan, bertemu
dengan sosok sederhana penuh dengan kasih sayang yang luar biasa.
0 komentar:
Posting Komentar