Segudang
Mainan dalam UN Fani
“
Trang.. tring..tiing..,”
Suara
telepon genggam berdering dengan kencang memecahkan keheningan sepertiga malam.
Bukan alarm, melainkan sebuah panggilan. Fani yang berusia 14 tahun terbangun
oleh nada dering telepon genggamnya yang sudah kuno itu. Perempuan bermata
sipit itu tidak mematikannya, melainkan memaksakan diri untuk berwudu.
Panggilan itu adalah permainan dalam mengahadapi UN Fani.
Tahajud
call sebuah ide cemerlang dari seorang sosok wanita bersahaja juga disegani oleh
muridnya yaitu bernama ibu Ayu, yang memiliki peranan penting karena beliau
adalah guru BK (Bimbingan Konseling). Sudah dua bulan remaja belia ini
menjalankan tahajud call bersama teman-temannya. Ibu Ayu hanya memanggil kepada
ketua kelas, kemudian ketua kelas menelepon salah seorang temannya salanjutnya
teman yang telah dipanggil oleh ketua kelas menelpon teman yang lainnya. Ini
seperti bermain bisik berantai, bedanya bisik berantai secara langsung dari
kuping ke kuping sedangkan tahajud call menggunakan telepon karena jarak yang
jauh.
“
Ya Rabb…,Yang Maha Pengasih. Bantulah, permudahkanlah dalam UN ini, juga teman
Fani. Luluskanlah ya Allah…luluskan amiin..,” doa tulus terucap dari bibir
mungilnya, suara Fani begitu lirih penuh dengan harapan. Setelah bermunajat
kepada sang Pencipta, gadis kecil berkulit kuning langsat ini segera menuju
meja belajarnya. Dia tidak mau waktunya terbuang sia-sia.
Fani
kini mempunyai kebiasaan baru dan ini permainan yang digemarinya. Ketika
setelah belajar gadis lincah itu mulai mengambil gunting, kertas bekas tidak
lupa alat tulis. Kertas-kertas bekas tersebut digunting dalam berbagai bentuk
mulai kupu-kupu, bunga, lingkaran dan segala yang ada dipikirannya dia tuangkan
dalam kertas bekas. Jari-jari mungilnya memegang pena, menuangkan ingatan
tentang materi-materi yang telah dipelajarinya kemudian tangan dan pikirannya
mulai bekerjasama membentuk hiasan tadi dengan tali dan digantungkan disekitar
atap-atap yang mudah dijangkaunya. Tujuan Fani yaitu untuk mengingat dan memudahkannya
untuk menghafal. Jika dia berjalan dan terhalang oleh hiasan indahnya, gadis
cerdik itu bisa membacanya tanpa disengaja.
* * *
“ Anak-anak yang bapak sayangi, di
saat kalian UN harus saling membantu. Jika, ada yang bertanya berikan saja
jawabannya. Kalau, kalian tidak ingin memberi jawaban, jangan berbohong!.
Kasiankan teman kalian?. Kalian harus saling membantu, ya!,” ucap bapak Yadi
guru matematika dengan ajakan yang menarik.
“ Iya pak,” jawab serempak siswa SMP
Pelita Bangsa dengan polosnya.
“ Hmm ini permainan apa pak? Saya
tidak paham!. Kok begini?.di saat ulangan tidak boleh bekerjasama, UN kok bapak
nyuruh…huft permainan lucu,”gerutu Fani dalam hatinya.
Guru-guru di SMP
Pelita Bangsa sangat melarang akan kerjasama, menyontek, membuka buku, itu
adalah pelanggaran akademik. Bahkan Fani pernah melihat kertas ulangan milik
temannya Fito disobek oleh guru bahasa Inggris karena suara gaduh yang
ditimbulkannya. Tapi di UN yang baru pertama kali ini Fani rasakan,
guru-gurunya berubah seratus delapan puluh derajat. Dalam pikiran gadis polos
situ “..hmm, mungkin pada takut kali yah, kalau anak-anak pelita bangsa nggak
lulus..Ya sudah mainkan saja…”
Ujian Negara tinggal menghitung jam
saja, tapi rasa deg-degan, khawatir begitu tampak dari wajah-wajah siswa SMP
Pelita Bangsa dan guru-guru yang telah mati-matian memikirkan nasib anak-anak
didiknya.
***
Dua pengawas telah berdiri di depan
kelas dengan membawa soal-soal. Bapak Acep guru dari pengawas SMP lain dengan
lantangnya memberikan pengarahan, sedangkan seorang mahasiswa disampingnya
mempersiapkan absen juga soal-soal yang akan diberikan.
“ Baik..bapak menganggap kalian anak
didik bapak. Silahkan kalian bekerjasama, tapi jangan berisik…,”ucapan penutup
dari bapak Acep.
Fani melotot
keheranan, akan pernyataan terakhir yang diucapkan bapak Acep.
“
Beginikah UN?, semua takut terhadap UN. Ya.. Rabb, Fani nggak paham. Jika
seperti ini jangan ada UN…,” Fani
merasakan kesedihan akan adanya UN.
UN
berlangsung dengan tenang walau diwarnai dengan lirik kanan, lirik kiri, tanya sana, tanya sini.
“
Ni.. ni 31 apa isinya?,” Didik menarik kerudung Fani yang panjang. Dengan
telunjuk diangkat ke atas, lelaki
berambut hitam itu paham bahwa jawabannya adalah A. ini adalah permainan
isyarat ciptaan teman satu kelasnya, menurut mereka ini cara yang rapih dan
tidak membuat kegaduhan. Persiapan menghadapi UN dilakukan Fani dengan matang,
sehingga membuat gadis berkerudung itu percaya diri akan jawabannya
“
Ni…Fan sst.. sst 20 Fan apa?,”tanya Tio, segera Fani mengangkat empat jarinya.
“
Ni..apaan? idih diem, pelit luh!,” sentak Tio.
“
Hmm….,” Fani cemberut menatap Tio.
“
Ih, payah luh Tio, empat jari itu d, tiga itu c,gitu. Paham nggak lu?,” jelas
Didik.
“
Oh berarti d ya?,” tanya Tio sambil menggaruk kepalanya.
“
Iye, dasar payah lu !,”sentak Didik dengan nada merendahkan.
Fani tidak
menghiraukan akan kedua temannya, perempuan berkacamata itu dengan khusyunya
menyelesaikan soal terakhirnya, kemudian diperiksa kembali jawabannya.
Fani lebih unggul mengerjakan soal UN
dibanding teman-temannya.
Waktu tersisa tiga puluh menit dan
Fani sudah yakin akan jawabannya, dia telah memeriksa lebih dari tiga balikan.
Karena merasa lelah dengan keseriusannya mengerjakan soal yang menantang itu.
Fani mulai menatap sekelilingnya. Di bangku belakang sudut kiri, dia menemui
temannya Hendri sedang merobek kertas, menjadi empat bagian kecil. Selanjutnya
entah apa yang ditulis Hendri, karena posisi Hendri dan Fani begitu jauh,
sehingga Fani tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang ditulis teman
gemuknya itu. Gerakan Hendri semakin aneh kertas itu dimasukkan ke dalam
genggaman tangan kemudian digoyangkan tangannya ke atas dan bawah hingga jatuh
satu gulungan kertas, dibukanya gulangan kemudian dituliskan dilembar jawaban
UN nya.
“ Aha.. itu seperti arisan, Hendri
kamu arisan?,” celoteh Fani pelan-pelan.
“ Iya, Fan daripada aku mengganggu
teman, lebih baik seperti ini hhehe.. duhh pusing euy,” ucap Hendri dengan
tersipu malu.
“ Ternyata di UN ada main arisan ya?,”
ucap Fani dalam hati sambil tertawa kecil. Fani terhibur akan kelakuan unik
temannya tersebut, juga keheranan disaat genting seperti ini temannya masih
bertingkah aneh hingga hatinya tergelitik. Tingkah Hendri membuat Fani angkat
jempol terhadapnya karena cara yang digunakan Hendri bertujuan untuk tidak
mengganggu teman-temannya dan menggantungkan diri terhadap keberuntungan.
Fani menoleh ke sebelah kanan,
didapati gadis manis berambut panjang sedang sibuk mengeluarkan kertas dari
kaoskaki secara perlahan-lahan.
“ Qika?,”tamyaku.
“ Sst… aku sedang petak umpet,”
jawab Qika.
Fani keheranan “
Apanya yang petak umpet?,” tanyanya dalam hati. Diperhatikannya dalam-dalam,
kertas yang dia umpatkan adalah
rangkuman yang dibuat Qika.
“ Kertasnya petak umpat…,” gerutu
Fani dalam hati. Fani terhanyut dalam lamunan akan permainan teman-temannya
yang menggelitik dan baru kali ini dia menemukannya. Fani menyimpan banyak
pertanyaan mengapa teman-temannya bisa seperti itu.
“ Tet..tet..tet...”.
Suara bel
meraung keras dan menyadarkan gadis cilik berkerudung dari lamunanya. Kedua
pengawas mulai beraksi untuk mengumpulkan soal dan jawaban.
Fani keluar ruangan dengan langkah
yang berat setelah melihat ulah temannya yang aneh dan menunjukkan bahwa mereka
tidak percaya diri dalam mengerjakan UN membuat Fani sedih, walaupun ada saja
hal yang membuatnya tertawa akan arisannya Hendri, petak umpatnya Qika.
UN seolah-olah sebagai penentu
kehidupan. Para siswa juga guru-guru SMP
Pelita Bangsa dibuat ketakutan. Tapi, Fani lebih takut jika Sang Maha Pencipta
murka akan ketidak jujuran mereka. Fani resah dan ingin kembali ke masa dia
menggunakan putih merah. Dimana kelulusan yang menentukan ialah guru, tidak ada
kebohongan melainkan usaha yang keras dan indahnya kejujuran.
Segudang mainan dalam UN Fani mewarnai
kisah di lembaran kehidupannya. UN pertamanya yang begitu unik, langka, tidak
akan terhapus dalam ingatannya. Dan menyimpan harapan yang begitu besar agar
tidak ada permainan dalam UN yang menyebabkan kejujuran menjadi nilai rendah.
0 komentar:
Posting Komentar