Aku tak pernah peduli dengan mereka, yang saban hari
menggunakan celana, kemeja, kaos, blazer, koko, jaket, cupluk. Aku tak peduli.
Karena mereka sama. Mahluk yang diturunkan Tuhan untuk melengkapi kehidupanku. Kamu,
dia, mereka! Melengkapi kekuranganku, menyeimbangkan kelebihanku. Itu yang
kutahu.
Aku hanya pedul di dunia ini hanya ada dua hal. Baik atau
buruk. Maka aku pilih yang baik. Tapi jalanan tak pernah seperti yang ku
bayangkan sobat! Penuh lubang, sepeda motorku sering tersangkut di antara
rumput liar yang menjalar sepanjang jalan yang menutupi jalanan. Aku hanya
ingin menemukan suatu pembuktian. Adakah lelaki baik?
Di dalam perjalanan. Aku hanya mendapat suatu fatamorgana.
Tawaran untuk mengisi bensin, dan kau tahu apa sobat? Setelah mengisi persedian
bensinku, dia memaksaku untuk memberikan jabatan hangat pada tanganya? Hah
apakah itu? Persetan!
Aku menaikan gas dengan tinggi. Mengebut, tak peduli dia
berteriak sampai terlihat urat di lehernya. Aku kencang pergi menyisakan
kekesalan terhadap pria bertopi di pertiga jalan itu. Diakah pria yang baik?
Kini, ku beristirahat di bawah pohon beringin yang sangat
rindang memberikan kesujukan. Menghatarkan angin sepoi, yang diam-diam mulai
menghilangkan peluh di wajahku, dan rambut pirangku yang basah karena tertutup
oleh helm mulai mengering.
Tidak sendiri. Dedauan pada ranting ikut menyambutnya, seolah
mempersilahkan silahkan duduk di sampingku. “Hai gadis! Hauskah?” satu botol
mineral yang masih penuh dan terbungkus rapih berada di depan wajahku.
Menolehku padanya “Terimakasih”. Pergiku meninggalkanya bersama tanda tanya
pada raut wajahnya ditemani dengan pohon beringin yang masih mengakar kuat, dan
air mineral yang masih dalam genggamannya.
Baikah dia? Aku tak peduli. Aku tahu bahwa harus berhati-hati
pada orang yang datang, kemudian memberikan kebaikan yang tak tahu apakah dia
baik? Atau pura-pura baik? Kata oma aku harus berhat-hati pada lelaki asing
yang kutemukan di sepanjang jalan. Di tv pun tidak sedikit mereka yang
menawarkan makanan-minuman dan kemudian di dalamnya ada obat bius. Lelaki
baikkah? Entahlah, aku tak peduli. Aku harus memedulikan hati dan jiwaku ini.
Jangan sampai ada yang berani mencoba menyakitiku, karena aku wanita. Aku tak
mengerti seistimewakah wanita? Hingga aku harus berwaspada penuh pada mereka.
Kemudian aku kembali setia menaiki kendaraan beroda dua ini.
Menikmati panas yang mulai tak berdamai lagi denganku. Kulit putih warisan Opa,
mulai terbakar. Mata sipit inipun harus terjaga melihat jalan yang sangat
rusak, dan rambut ini berantakan tak karuan mengikuti hembusan angin. Aku
pergi, dan terus mencari dan mencari. Memerhatikan sekelilingku. Memerhatikan
desa yang mulai sepi. Kudapatkan anak kecil yang menangis, diujung gawang di
depannya terdapat pria dewasa mengambil bola secara paksa. Hah? Apakah itu
lelaki baik?
Aku muak! Sangat muak! Ketika banyak lelaki yang kutemukan
kemudian hal serupa yang kudapatkan? Adakah lelaki baik? Dua hari yang lalu,
aku melihatmu sobat sedang menangis di pojokkan tempat ibadahmu. Dari agamu,
kau dilarang berpacaran? Tapi mengapa kini matamu masih sembab setelah menerima
sepucuk surat putih dari lelaki berkoko dan berjanggut itu? Ada apakah? Apakan
benar dugaanku tentang seseorang perempuan yang menggunakan kain besar di
kepalanya dan kumemergokinya bergandengan tangan? Hal yang wajar bukan? Atau
apakah itu penyebabmu?
Ah aku mulai gila. Mendefinisikan lelaki baik dan buruk. Aku
tak paham dengan ucapan Oma, dan dirimu. Ini semua rumit sobat!
Hai! Mengapa kau diam saja!
Rangkasbitung, 29 Januari 2014
-ELIF
kereeen dek ceritanya ^_^
BalasHapusini fiksi?
BalasHapusWahh ini masih sepotong belum dilanjutkan, 'bersambung'
BalasHapusIya Fiksi kak :)
eh salah, maksudnya ini non fiksi hhe
BalasHapusBaru sempat berkunjung lagi ke blogmu. Ternyata sudah tidak dipakai lagi ya alamat blog satunya? Hmm..
BalasHapusdiganti jadi aniskreatif.blogspot.com yang dulu itu panjang pisan belibet hehe
BalasHapus