Jumat, 10 Januari 2014

“Brukkk..!”
“Brukkk..!”
“Hai, ada apa ini?”
 Di bawah temaram ruang kamar, segeraku menghampiri sumber bunyi yang menggaggetkan. Hampir saja secangkir teh ini tumpah karena suara yang membuat denyut jantung bekerja lebih cepat. Lagi, kumenemukan sosok mungil itu tersudut di ruang kamar dengan menatapi tumpukan buku referensinya.  Kepalanya menunduk, kakiknya menekuk sangat rapat, kedua tangannya hanya diam tak bergerak.
“Bukunya jatuh?”
“Saya jatuhkan!”
“Kenapa? Kasihan sahabatmu yang sering nemeninmu itu dibanting begitu. Apalagi ini buku mahal. Hmm”
Hening. Hanya isakan tangis yang mencoba mewarnai kamar. Selangkah demi selangkah mencoba mendekat, memeluknya dengan erat penuh kasih.
“Kakkkk..” sambutan pelukan darinya yang lemah.
Peluklah kakakmu ini dik, sebelum kaka berada di pelukkan-Nya. Peluklah semaumu dik, ceritakanlah semuanya jika itu bisa meringankan. Hanya ingin seperti tadi pagi lagi, ketika semburat cahaya matahari memasuki jendelamu ini,  saat itu pula bisa menemukan lekukan bibir senyum manismu itu dan kemudian berpamit lagi menuju kampus.
Telinga ini tidak berkurang ukurannya, masih sama, dan masih tetap setia untuk mendengarkan keluh-kesahmu itu yang entah sampai kapan berujung. Tapi hebatnya ketika sudah terbit ukiran senyuman kedua bibirmu itu sungguh menyenangkan dan kakak berjanji itu tidak akan mengeluhkan keluhanmu tadi. Maka tersenyumlah dik!
“Kenapa? Judul lagi?” tanyaku penuh senyum. Hanya senyuman bibir kering ini senjata ampuhku yang berharap besar kau bisa kembali ceria.
            “Iya kak” kepalanya menunduk
            “Ujiannya belum lulus tuh dik! Adik kakak ini pasti lulus kok, tenang aja!” jawabku dengan tenang.
            “Hmm.. “ diam dan gadis berjaket biru itu masih menatap buku yang berhasil dijatuhkanya dengan kasar.
            “Perihal dosen PAmu yang terkenal super galaknya itu, kakak rasa itu adalah bentuk sayang kepadamu dik. Belajarlah dari pengalaman, sayang. Jangan mudah terbawa oleh teman. Belajarlah memahami oranglain dik, jangan tersulut hawa nafsu mu yang ingin segera lulus dan mementingkan ego sendiri. Bukankah kakak sudah mengajarkan self of controlling ya? Belum maksimal nih kamu mempraktikannya. Dosenpun mahluk sosial yang punya keluarga. Punya istri, punya anak, saudara. Banyak hal yang dia pikirkan. Seperti ceritamu dulu, tentang dosen PAmu yang sulit dihubungi dan susah ditemui. Bahkan ketika ditemui, tak jarang ada api amarah, kemudian menolakmu, lalu menyuruhmu menjumpainya bulan depan. Kemudian kamu pulang malam,dan menangis semalaman di kamar. Selalu begitu. Di sana ujianmu dik, dan tuh kan belum lulus juga. Cengeng nih ya! Bolehlah menangis adiku sayang, selagi menangis itu bisa menenangkan dan menguatkan. Jangan sampai kau malah terpuruk, lantas mem-ba-bi-bu akan skenario yang sudah ditulis oleh Nya, lalu kemudian kamu tidak bersyukur! Ah salah besar jika seperti itu.
Oh ya, perihal yang memintamu untuk menjumpainya kembali yang sangat lama, hingga 30 hari lamanya. Ya, itu adalah bentuk sayang padamu.”
            “Oalaah,sayang gimana kak? Kok dipersulit gini?”
            “Kamuu tuh yaaa..” jariku tak kuasa menghampiri pipi dan mencubitnya. Dilla, menggemaskan dia.
            “Dihh.. kaaak! Rese!” gerutunya, dan kemudian total dia cemberut, yang sangat sungguh menyeramkan jika dipandang.
            “Gini looh Dilla yang sekarang kurus tapi pipinya nggak turus turus. Kakak mengenali dosen PAmu itu, tidak jarang dia mampir ke toko buku, ya walaupun hanya melihat tanpa membelinya. Kakak bisa membaca sedikit sikapnya. Dia perfeksionis, segalanya berbau data. Ini nggak salah looh, kan kamu mahasiswa yang kerjaanya memang harus bermandikan data.  Nah, sudah dapat referensi yang tepat belum?
Untuk waktu yang lama, hmm dia tuh dosen yang bak artis aja Dila. Dia bercerita bahwa mahasiswa bimbinganya banyak, bisa sepuluh lebih. Dosen pembimbing itu ibaratnya orangtua yang menyiapkan anak-anaknya agar bisa sukses ketika menghadapi ujian ini, seminar ini itu. Ya kenapa harus waktu lama bisa ketemu dengannya? Dia juga membagi perhatiannya nggak ke kamu aja, banyak kepala yang dia pikirkan dik, gitu. Jangan sampai kau jadi anak yang bandel, udah kepala dua masa masih bermanja-manja! Belajar memahi oranglain ya dik, belajar memahami orangtuamu di kampus, dosen pembimbing”
Bahagianya dia kembali bisa menatap langit, dan melakukan ritual membentuk senyum kembali, dan siapa yang tahu bahwa adikku ini adalah pemilik senyum termanis di dunia.
“Makasih kak.. Nulis lagi sana! Semoga tulisannya dimuat lagi di Koran, sama majalah sabili”
Rabu, 8 Januari 2014
Mesjid SNAB, dalam gerimis hujan menunggu UAS :p


           



0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016