“Brukkk..!”
“Brukkk..!”
“Hai,
ada apa ini?”
Di bawah temaram ruang kamar, segeraku
menghampiri sumber bunyi yang menggaggetkan. Hampir saja secangkir teh ini
tumpah karena suara yang membuat denyut jantung bekerja lebih cepat. Lagi,
kumenemukan sosok mungil itu tersudut di ruang kamar dengan menatapi tumpukan
buku referensinya. Kepalanya menunduk,
kakiknya menekuk sangat rapat, kedua tangannya hanya diam tak bergerak.
“Bukunya
jatuh?”
“Saya
jatuhkan!”
“Kenapa?
Kasihan sahabatmu yang sering nemeninmu itu dibanting begitu. Apalagi ini buku
mahal. Hmm”
Hening.
Hanya isakan tangis yang mencoba mewarnai kamar. Selangkah demi selangkah
mencoba mendekat, memeluknya dengan erat penuh kasih.
“Kakkkk..”
sambutan pelukan darinya yang lemah.
Peluklah
kakakmu ini dik, sebelum kaka berada di pelukkan-Nya. Peluklah semaumu dik,
ceritakanlah semuanya jika itu bisa meringankan. Hanya ingin seperti tadi pagi
lagi, ketika semburat cahaya matahari memasuki jendelamu ini, saat itu pula bisa menemukan lekukan bibir
senyum manismu itu dan kemudian berpamit lagi menuju kampus.
Telinga
ini tidak berkurang ukurannya, masih sama, dan masih tetap setia untuk
mendengarkan keluh-kesahmu itu yang entah sampai kapan berujung. Tapi hebatnya
ketika sudah terbit ukiran senyuman kedua bibirmu itu sungguh menyenangkan dan
kakak berjanji itu tidak akan mengeluhkan keluhanmu tadi. Maka tersenyumlah
dik!
“Kenapa?
Judul lagi?” tanyaku penuh senyum. Hanya senyuman bibir kering ini senjata
ampuhku yang berharap besar kau bisa kembali ceria.
“Iya kak” kepalanya menunduk
“Ujiannya belum lulus tuh dik! Adik
kakak ini pasti lulus kok, tenang aja!” jawabku dengan tenang.
“Hmm.. “ diam dan gadis berjaket
biru itu masih menatap buku yang berhasil dijatuhkanya dengan kasar.
“Perihal dosen PAmu yang terkenal
super galaknya itu, kakak rasa itu adalah bentuk sayang kepadamu dik.
Belajarlah dari pengalaman, sayang. Jangan mudah terbawa oleh teman. Belajarlah
memahami oranglain dik, jangan tersulut hawa nafsu mu yang ingin segera lulus
dan mementingkan ego sendiri. Bukankah kakak sudah mengajarkan self of controlling ya? Belum maksimal
nih kamu mempraktikannya. Dosenpun mahluk sosial yang punya keluarga. Punya
istri, punya anak, saudara. Banyak hal yang dia pikirkan. Seperti ceritamu
dulu, tentang dosen PAmu yang sulit dihubungi dan susah ditemui. Bahkan ketika
ditemui, tak jarang ada api amarah, kemudian menolakmu, lalu menyuruhmu
menjumpainya bulan depan. Kemudian kamu pulang malam,dan menangis semalaman di
kamar. Selalu begitu. Di sana ujianmu dik, dan tuh kan belum lulus juga. Cengeng
nih ya! Bolehlah menangis adiku sayang, selagi menangis itu bisa menenangkan
dan menguatkan. Jangan sampai kau malah terpuruk, lantas mem-ba-bi-bu akan skenario
yang sudah ditulis oleh Nya, lalu kemudian kamu tidak bersyukur! Ah salah besar
jika seperti itu.
Oh
ya, perihal yang memintamu untuk menjumpainya kembali yang sangat lama, hingga
30 hari lamanya. Ya, itu adalah bentuk sayang padamu.”
“Oalaah,sayang gimana kak? Kok
dipersulit gini?”
“Kamuu tuh yaaa..” jariku tak kuasa
menghampiri pipi dan mencubitnya. Dilla, menggemaskan dia.
“Dihh.. kaaak! Rese!” gerutunya, dan
kemudian total dia cemberut, yang sangat sungguh menyeramkan jika dipandang.
“Gini looh Dilla yang sekarang kurus
tapi pipinya nggak turus turus. Kakak mengenali dosen PAmu itu, tidak jarang
dia mampir ke toko buku, ya walaupun hanya melihat tanpa membelinya. Kakak bisa
membaca sedikit sikapnya. Dia perfeksionis, segalanya berbau data. Ini nggak
salah looh, kan kamu mahasiswa yang kerjaanya memang harus bermandikan data. Nah, sudah dapat referensi yang tepat belum?
Untuk
waktu yang lama, hmm dia tuh dosen yang bak artis aja Dila. Dia bercerita bahwa
mahasiswa bimbinganya banyak, bisa sepuluh lebih. Dosen pembimbing itu
ibaratnya orangtua yang menyiapkan anak-anaknya agar bisa sukses ketika
menghadapi ujian ini, seminar ini itu. Ya kenapa harus waktu lama bisa ketemu
dengannya? Dia juga membagi perhatiannya nggak ke kamu aja, banyak kepala yang
dia pikirkan dik, gitu. Jangan sampai kau jadi anak yang bandel, udah kepala
dua masa masih bermanja-manja! Belajar memahi oranglain ya dik, belajar
memahami orangtuamu di kampus, dosen pembimbing”
Bahagianya
dia kembali bisa menatap langit, dan melakukan ritual membentuk senyum kembali,
dan siapa yang tahu bahwa adikku ini adalah pemilik senyum termanis di dunia.
“Makasih
kak.. Nulis lagi sana! Semoga tulisannya dimuat lagi di Koran, sama majalah
sabili”
Rabu,
8 Januari 2014
Mesjid
SNAB, dalam gerimis hujan menunggu UAS :p
0 komentar:
Posting Komentar