Selasa, 07 Januari 2014

“Salah kamu! Suruh siapa mengajukan judul, sedangkan referensiya belum dapat dan dipahami! Nah itu kesalahan kamu! Hah! Pokoknya saya tidak tahu menahu, dosen verifikasi bilang apa kek! Judul yang kamu ajukan dulu itu, harus lanjut! Percuma dong kemarin! Buang waktu-waktu saya saja!”
Terbayang sudah pasti dirimu disana bagaikan di sambar geledek, kepalamu ingin meledak, badan hangus, dan terlebih kelopak matamu yang imut itu pasti sedang mencoba membendung kumpulan air yang tak tertahankan jatuh ke pipi ya kan dik? Masih tetap setia mendengarkanmu dik.
“Kakak tahu kan saya begitu ekpresif? Saya mencoba tegar di dalam ruangan laboratorium komputer itu, seketika membuka daun pintu…uu..”
“.. dan pelukan Rosa seketika datang, dan menenangkan..”
Ah, Dilla adikku sayang. Hari ini dan selamanya selalu menjadi berwarna ada kamu dik. Jemari ini tak lelah dan merasa indah bisa membelai mu dengan penuh kasih ini, ya walau tidak pernah henti dan bosannya kau bercerita, menggeretu kehidupanmu di luar sana dik. Sebegitu penatnya kampus dik? Ah kakakmu ini hanya lulusan SMK yang sekarang mencari rezeki dari peluh yang saban hari setia menjaga toko buku di sudut terminal sana.
Dan hari-hariku pun tak pernah lepas dari suaramu yang sungguh memekkan telinga, berteriak sesuka hati, lupa menaruh barang. Padahal kini usiamu sudah berkepala dua, tetap sisi  kekanakkanmu masih saja nampak. Itulah keunikkanmu, sayang. Di sisi lain kau sungguh mendewasa, ya hanya orang terdekat saja yang bisa merasakan itu selebihnya banyak yang menganggap kau bagaikan kertas putih tanpa corak.
Kertas, ya setiap kau pergi sebelum matahari terbit, aku diam-diam memasuki kamarmu. Tumpukkan kertas itu. Kertas pengajuan judul-judulmu kini sudah lebih dari 30 lembar, sungguh mengenaskan. Kau harus mati-matian menunggu dosen seharian, berfokus pada buku referensimu, kau belajar dari setiap pengalamanmu dik, bagaimana mengolah komunikasi dengan dosenmu itu, kau harus rela bergadang. Lebih mengenaskanya lagi, kau kini kurus tidak seperti dulu yang dari jauh tampak kasur sedang berjalan. Hanya satu, pipimu itu tidak pernah tirus dik, entahlah apakah itu warisan dari almarhumah mamah? Pipimu selalu mengingatkan pada mamah dik.
“Kak, saya nangis setelah buka pintu itu! Bodo amat deh, banyak orang keheranan ngelihat mata saya yang makin sipit, bahkan nggak kelihatan bola matanya lagi! Saya cuman ingin segera melunaskan tugas saya kak. Saya ingin segera dapat S.si kak.. kak…”
Teruslah menangis dik, jika itu menanagkan. Bukankah akan ada senyuman setelah tangisan berkepanjanganmu itu. Segeralah! Kaka rindu senyuman mu itu dik.
“Dilla, sayang kakak. Dilla, nggak mau lihat kakak harus bergadang semalaman menyelesaikan tulisan-tulisan untuk dikirim di Koran, dan paginya kakak mulai sibuk menjaga toko hingga malam lagi!”
“Kak, maaf jika ini memberatkan kakak!”
Nangismu sungguh memilukkan dik. Selalu saja menyayat hati, permasalahan yang sungguh rumit. Rumit  bagi seorang yang miskin ilmu perkuliahan.
“Jika, dengan mudahnya temanmu mengajukan judul kemudian mulai mendapatkan SKnya, sedangkan dirimu harus terhambat dengan salah satu dosen PA mu yang sungguh saklek itu, tandanya kau harus lebih giat lagi. Dilla, hidup itu memang berproses. Dan, Allah sangat menilai proses. Biarkan jika temanmu sibuk mencari orang bayaran untuk pembuatan skripsi dangan uang berjuta-juta. Dan kawanmu yang curang itu lebih gesit dan mendapatkan gelar. Itu adalah suatu musibah dan pekerjaan yang sungguh menghinakan. Pemenang sejatinya itu kamu dik! Maafkan kakak, seharusnya tahun demi tahun kau harus fokus belajar di dunia perkuliahan. Tapi kau harus bergelut dengan waktu, tenaga, pikiran. Kau harus berjualan gorengan ke kampus, menentengnya tanpa malu. Ah adik, maafkan kakak…”
“Mengenai judul yang tak kunjung dapat persetujuan, itu adalah ujian kehidupanmu dik. Ujian kesabaran, keikhlasan, menahan amarah, itu ujian yang tak berijazah tapi sungguh indah jika bisa melaluinya dik. Maka tetaplah bersamangat, kakak pasti akan kuat jika selalu melihat senyum manismu itu. Dan kakak sangat percaya kelulusanmu sudah tertulis oleh Nya, entah lulus dalam waktu yang dekat atau lama sekalipun. Satu permohonan kakak, semuanya harus dengan penuh untuk mencapai keberkahannya ya dik!”
“Kakak tidak menuntutmu untuk lulus dengan cepat dik. Apakah artinya gelar tanpa pemahaman ilmu? Toh, kampus sejatinya untuk menuntut ilmu kan dik? Bukan mencetak pekerja, itu yang kakak pahami. Ah, tapi rasanya sekarang sudah banyak perubahan itu ya, tidak sedikit teman kakak yang sibuk menyelesaikan kuliahnya kemudian bingung mau jadi apa? Mau kerja dimana? Sebaikanya manusia adalah yang bermanfaat bagi sekelililingnya. Di sela kesibukanmu kuliah,  berjualan gorengan juga nasi, kau masih bisa berorganisasi, terlebih kau berada di jabatan tertinggi di organisasimu kan? Hebatnya adik kakak ini masih bisa membagi waktu. Teruslah bermanfaat! Teruslah menginspirasi banyak orang, melalui sikapmu, tenagamu tulisan-tulisanmu juga dik. Lebih baik kau bermanfaat bagi orang lain daripada segera menyelesaikan tugas akhirmu eh tapi kamu malah menyia-nyiakan amanah, mendzalimi orang lain dengan tidak berproduktifnya, tidak bermanfaatnya kamu berada di posisi itu. Tapi itu indah jika berjalan dengan seimbang dik..”
“Dik..”
“Dik…”
“Dilla…”
Dasar bocah, padahal kakakmu ini sedang tidak mendongeng. Seperti biasa kau tertidur dengan mata yang sembab di pangkuan kakakmu yang berlapis sarung using ini.
            “Selamaat tidur dik. Kakak rindu senyuman manismu itu..”


 --------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selasa, 7 Januari 2014
Kamar menyendiri -_-"
dan kerinduan yang nyataaa hooo


  

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016