“Serang saja
angkot Serang!”
Angkot Serang
bagiku adalah perkawinan gaya taxi dan metromini. ‘Ke Pocis?’ ‘ya’ dengan baiknya angkot berwarna biru itu
meluncur dengan empat rodanya mengikuti apa permintaan dari penumpang, itu
kalau beruntung seperti taxi meminta ke daerah a,b,c hingga z pasti dituruti. Kalau
buntung? Siap-siaplah menahan amarah. Kau
bisa diturunkan dimanapun yang supir angkot inginkan. Jika kau adalah adalah
kaum homogeny arah tujuan siap-siap kau akan diturunkan di daeran sopir angkot
yang dia mau, belum lagi ngetem yang membuatmu harus mencampur batin ikhlas dan
sabar.
“Hai, kau jas
dongker! Pahamlah maksud aku?” Ada apalah dengan sahabatku mahasiswa Bogor ini.
Mengantuk kah? Atau memang sedang asik membaca buku.
Di akhir bulan November,
saat itu aku baru saja selesai menajaga etalase jamur crispy. Setelah menunaikan solat ashra, aku harus bergegas menuju
Cipocok tempat dimana dua sepasang anak lelaki dan perempuan yang masih
menggunakan merah-putih akan menungguku untuk mendapat materi bahasa Inggris. Tentu
aku tidak ingin mengecewakannya bukan? Aku adalah calon guru yang tidak boleh
bergelar ecek-ecek.
‘’Warjok pak?”
Seperti biasa
supir menggangguk dengan pasti. Arlojiku menunjukan waktu 15.30, aku memiliki
setengah jam lagi untuk sampai di tempat tujuan. Dengan jarak waktu 15 menit
ini tentu lebih cepat, namun aku sudah mempredeksi perkawinan taxi dan
metromini ini.
Dia terus melaju
setelah lampu merah yang berada setelah kampus IAIN, aku mulai curiga. Mengapa angkot
in tidak langsung berbelok kea rah kiri. ‘Oh OMG…, apa yang saya bilang?’ si
biru ini membawa saya lurus ke jalan berikutnya, hingga berhentilan oleh si
lampu merah dan beberapa hitungan detik kemudian angkot mengitari pasar royal, pocis.
Belum lagi ngetam yang tak karuan. Waktuku
ohh waktuku menunjukan 10 menit lagi menuju pukul 16.00.
“Kirrrrriiiiii
pak!” kepalaku jika di dalam film Naruto,
sudah pasti kepalaku ini mengebul, berwarna merah, mengeluarkan api dari mulut.
“Eh neng,
ongkosnya?” uang yang hanya lima ribu di saku harus dikeluarkan. Sungguh kejam
memang angkot Serang ini, harusnya jika memang tidak bisa melayani dengan baik
tak usah meminta di bayar.
“Oke, fine pak” gerutuku dalam hati.
“Oh Tuhannn,
jika harus ku memilih datangkanlah super hero, kstaria berkuda, atau pintu
ajaib doraemon, baling-baling bambupun tak apa, pliees ya Tuhan jangan
pertemukan aku dengan supir angkot” menyusuri trotoar jalan dan tak
mempedulikan rayuan genit sopir yang memintaku untuk menjadi penumpangnya.
16.55.
“Tidaaak, lima
menit lagi” cemas dan udara dan kekesalanku semakin memanas.
“Warjokk neng?”
Berjodohlah aku
dengan si angkot itu ‘mengapa tak ada
kesatria berkuda seperti di film romantis’ .
“Mau kemana
neng?”
“Cipocok pak”
jawabku singkat, cemas pula dengan jarum jamku ini yang tak pernah mati, dia
semakin memutar dengan lincah. 16.00
“Ah, bapak juga
kesana. Kalau gitu, tak usah turun naik mobil kuning neng”
“Realy?” hatiku
senang tak karuan, mataku berbinar dengan indah.
“Mau ngapain
neng? Masih kuliah ya? “ ternyata bapak berkumis ini sangat K E P O juga.
“Iya bapak, saya
masih kuliah semester 3. Mau ngajar pak, ke komplek apa tuh yang dekat hot fm”
“Oh puri hijau
ya? Bapak juga punya anak 3 neng. Alhamdulillah tiga-tiganya kuliah juga”
“Oh gitu pak”
jawabku tidak bersemangat.
“Iya, sekarang
semester 8 mahasiswa FISIP untirta, satu lagi mahasiswa tehnik. Yang FISIP itu
sambil kerja neng”
Hai sadar Doli! Ini bapak seorang supir dua
anaknya berhasil kuliah!
“Ah untirta pak?
Saya juga untirta?”
“Dia non regular
neng”
“Saya juga pak… “
mungkin saya berjodoh dengan anak bapak ya.
“Dia perempuan
neng, neng berarti kalau siangnya ngapain?”
Oh tidak masa jeruk-makan jeruk.
“Ya begini pak,
saya setiap pagi sampai jam tiga sore jagain jamur crispy gitu. Sorenya ngajar di puri hijau pak, nanti jam setengah
delapan malamnya kuliah sambil jualan snack
kriuk pak”
“Wah rajin ya
neng, anak bapak juga sibuk jualan gitu. Nggak malu juga”
Angkot berbelok
menuju gerbang puri hijau, dan memasuki komplek gersang itu.
“Eh kok kesini
pak?”
“Iya, saya juga
rumahnya di sini neng…”
“Orangtua selalu
ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya neng. Bapak seorang supir angkot,
tapi bapak nggak mau kalau anak-anak bapak merasakan hidup sebagai seorang
supir. Cukup bapak aja! Bapak ingin lihat anak-anak bapak lebih hebat dari
bapak neng..” ucap pak sopir berkemeja putih itu.
Ah Tuhan, apakah ini kesatria berkuda?. Hatiku
bergemuruh rasa, seketika wajah orangtua terbayang di depan.
“Berikan
yang terbaik untuk orangtua neng ya. Oh iya
turun dimana? Bapak belok”
“Di sini aja
pak..”
“Ambil saja
uangnya tak usah bayar” ucapnya menolak uang yang telah aku ambil dari kantong
rokku.
“Ta..apii pak”
“Ambil saja neng”
ucapnya dengan senyumannya yang ramah.
“Makasih pak… “
16.15 pukul itu
memisahkan aku dengan pak sopir yang sampai saat ini entahlah siapa namanya. Jika
ada SUPIR ANGKOT SERANG AWARDS, saya akan berikan dia adalah SUPIR ANGKOT
SESERANG YANG MENGINSPIRASI!
“Eh loe, anak
Bogor? Denger nggak? Hati-hati ya kalau main ke Serang” ucapku pada Rima
“Doliiii…”
peluknya padaku, mungkin dia terharu.
0 komentar:
Posting Komentar