Alam selalu
menjadi latar yang indah dalam setiap pertemuan. Terlebih suatu puncak gunung,
karena menuju sana tidaklah mudah. Butuh latihan olah fisik, latihan olah lisan
(read: izin), menebalkan uang. Begitupun pada saat kaki mulai menepaki daerah
pegunungan, hidung yang disambut udara segar, matahari yang bersinar ramah,
burung yang merdu berkicau, awan putih berarakan, seolah semesta
mendukung
untuk melakukan perjalanan.
Aku adalah anak
kemarin senja yang jatuh cinta pada tas carier,
sandal gunung dan tetek bengek perlengkapan mahal itu. Hanya sesosok
manusia yang hanya mampu mengiler-ria ketika menjumpai sahabat sedang memasang
senyum dan ciiiisss di poto yang
mereka upload. Gunung ternama juga
indah sudah beberapa kawanku tapaki. Sedangkan aku? Hanyalah gunung Anak
Krakatau, dan pulau yang berada menemaninya juga beberapa gunung di sekitar tempatku
berada, Gn. Pulosari, gn. (lupa namanya T.T).
Jika ditawari
untuk menuju gunung ternama di Indonesia, selalu ada kata mau. Tapi takdir
rasanya belum jatuh pada kedua telapak tanganku. Masih terkendala dengan izin
yang susah. Masih terhambat ketika ajakan itu datang tapi uang tak bersahabat,
kosong.
Mengenai izin,
kadang aku iri pada kaum adam yang bisa membolang sesuka hati mereka. Sedangkan
perempuan, para orangtua selalu berubah menjadi mahluk yang posesif, ya bagaimanapun aku paham mengapa
orangtua selalu sulit berkata iya untuk para gadis mereka yang berniat mendaki
gunung. Dan semoga ketika alam akan mempertemukan kita, tiket izin sudah ada
dikantong sehingga bisa leluasa kemanapun kaki melangkah.
Layakkah seorang
sepertiku dikatakan pemula? Rasanya pemulapun tidak pantas. Secara sandal gunungpun
hilang diapakai orang entah kemana. Tapi, kau bisa pahamkan akan raut wajah ku
yang begitu aneh ketika menjumpai poto-poto para pendaki, termasuk dirimu
disana, dan seketika aku tak menahan ke-iri-an ini dan guling-guling tak
karuan.
“Alam menjadi
tempat yang mematikan” ucap salah satu sahabat kita. Dari sanalah aku
paham artinya, bagaimana kita harus
saling menyayangi, menjaga. Ketika berangkat bersama, pulangpun harus bersama. Karena
alam selalu memberikan kejutan, seperti kehidupan ini yang penuh dengan rasa. Ada
manis, asin, pahit, asam, gurih. Itulah kehidupan dan gunung satu kesatuan yang
tak bisa dipisahkan. Bagaimana gambaran kehidupan ada pada perjalanan kita
menuju sana, pahit, getir untuk mencapai puncak, seperti sedang menyeselaikan
masalah yang semeraut. Ketika mencapai puncak, ada keindahan layaknya bahagia
dapat mampu menyelesaikan masalah. Ah semoga… (dan kemudian terbata bata)
Semoga bisa ceceriaan di puncak bersama :))
Dan bisa bernasis bersama :D
Serang,
Kamis 13 Maret 2014
*Quote nemu di FB :D
09.16
WIB
Banten
dan kemudian Pekalongan (semoga)
Kaum adam ngga selalu bisa membolang sesuka hati, kok. Kadang justru dipingit buat jaga... Jadi ngerelain momen ngebolang utk memenuhi tanggung jawab.
BalasHapuskarene pekerjaan ya ka? oalaah, tapi kayanya kalau izin ke orangtua lebih mudah *sok tahu
HapusJustru sebelum ijin, keluarga bilang: "Titip. Jagain Mamah ya!"
Hapusjustru sebelum ijin, keduluan dibilangin keluarga: "Titip ibu, jagain ya!"
Hapusoalaaah jadi sama aja toh
Hapus