Bersama
Malam
“Kring. Kringggg”
Raga bangun dari tidur nan lelap.
“Astagfirullah….! De, de.. dea bangun!”
ucapku kaget sambil menggoyongkan tubuhnya yang masih diselimuti kain.
“Masih ngantuk!” jawabnya dengan
tegas
“Pupus sudah harapan kita!” air
mata ini jatuh membasahi pipi
“Maksudnya?” tanyanya dengan muka
penuh keheranan.
“Jam 6”
Sahabatku ikut menangis. Bagaimana
tidak? Dia cinta mati dengan UI (Universitas Indonesia). Aku tidak salah
menilai, buktinya background tampilan laptopnya mahasiswa penerima
beasiswa aktivis mahasiswa UI, musik yang selalu diputarkannya UI, dan selalu
mengucapkan “Pengen pakai almamater kuning”.
“Nggak ke UI, hik hikss,” tangisnya
kencang sambil memukul kasur.
“Kenapa bisa telat, hik hiks”
tangisnya tak berhenti-henti.
Mencoba menenangkanyalah yang ku
bisa lakukan saat itu.
Aku menangis bukan karena rencana
tidak kesampaian, tapi aku yakin bahwa jilbaber satu ini pasti akan
menangis mengharu biru. Dan ternyata benar. Kamar yang dekat ruang tamupun
ramai akan tangisannya.
“De, kamu kenapa? Ayah berangkat
kerja ya!” tanya ayahnya dengan suaranya yang semakin menunjukan bahwa posisi
berada jauh.
“Servis panci bolong bu! Servis!
Servis! Barang-barang apapun bisa di servis!” teriak penjaja jasa, suaranya
mirip dengan ayah Dea.
“Ckrkk” ku buka pintu dan ku
mengintip.
“Benar!” dugaan ku benar.
“Itu ayahmu dea?” tanya ku dengan
terkejut.
Tangan kanan ini kembali
menggoyangkan tubuhnya yang sejak tadi hanya diam.
“Apa? Oh, dah jam 4 ya?” tanyanya
sambil melirik jam di handphone nexianya.
“Jam 4” segera
mencubit pipi chubby
“Ayah dea kerja
tukang servis panci?” tanyaku setengah sadar.
“Bukan! Pekerja
dinas intansilah, huamm” jawab nya bergegas menuju kamar mandi.
“Oh
Alhamdulillah, tadi hanya mimpi!” ucapku syukurku dalam hati.
*~*~*
Cukuplah sudah pengalaman yang
membuat jantung copot ini berakhir di bulan desember, sungguh tak ingin
terulang kembali. Masa-masa yang membuat teman-teman satu kelas ku dibuat
khawatir karena keterlambatan ku untuk berangkat ke Saung Mang Udjo, karena aku,
perjalanan yang seharusnya dimulai pukul 04.00 dini hari harus mengulur selama
dua jam, sungguh tidak ada niat sedikit pun.
“Ada satu hal yang aku takuti”
ucapku dengan serius
“Apa itu nis?” tanya Dea tak kalah
bertampang serius
“Hmmm, takut jika kita sudah
semaksimal hari ini, besok bangun jam 6”
“Hahahaaa. Emangnya kamu!, nggak
lah! Insya allah!” tawa Dea dengan lepas.
30 Januari adalah hari yang kami
tunggu, bedah buku “Belajar Merawat Indonesia” acara tersebut geratis dan
seratus pendatang pertama mendapatkan bukunya, siapa yang tidak ngiler?
GERATIS!. Moment yang sangat tepat setelah berperang melawan ganasnya soal-soal
UAS kini saatnya untuk memberikan reward kepada diri ini, karena badan
pun punya hak.
Malam kian larut, ku melirik ke
samping ternyata sahabat ku sudah tertidur pulas. Lantas, aku hanya diam,
merasakan suara heningnya malam.
“Tik, tok..” suara jam dinding yang
menemani aku dengan keheningan malam.
“Huaaam” tangan kanan segera
menutup mulut ku yang mengup.
Mata menuntut haknya untuk dipejamkan.
Tangan ini segera mencari handphone memastikan alarm sudah dipasang pukul
03.00. rasa takut setengah mati itu mengantarkan aku pada mimpi buruk, dan
keburukan mimpi itu memberikan kebahagian kareabn membuat ku terbangun pukul
040.00. melalui mimpi aku bisa banging lebih awal, bisa dibayangkan jika sat
itu tidak ada mimipi buruk dapat dipastikan terlambat bangun. Bagaimna tidak?
Ketika ku banging, dia masih terlelap.
Maka, bertermakasihlah dengan
siburuk mimpi itu.
0 komentar:
Posting Komentar