Jumat, 05 September 2014


Beberapa mahasiswa akan mengalami fase ini, mau tak mau, menjauh, atau menghindar fase itu sudah menanti. Hingga tiba sebutan MTA (Mahasiswa Tingkat Akhir). Skripsi adalah mudah (kata yang sudah), dan sayapun mengiyakan walau nyatanya saya masih berjibaku mencari buku kesana kemari, menunggu dosen berhari-hari, pedekate ke kepala sekolah dan guru kelas. Semua memiliki kesulitan dan kemudahan tersendiri baik sains maupun sosial.

Perkara skripsi memang mudah. Menemukan masalah, menawarkan solusi, mencari data, seminar proposal, revisi, penelitan, pengolahan data, presentasi dan masih berderet ritual untuk menuju sarjana. Dan saya rasa, anak semester 3 pun mampu melaksanakannya. Tapi mengapa skripsi menjadi suatu jembatan pasti untuk menjemput sarjana dan ditaro di semester 8?

Hasil obrolan ringan berbulan silam bersama Maharani Ramadhanti S.Pd, bahwa skripsi tak melulu sebagai ujian intelektual dan kepahamaham mengenai ilmu selama 4 tahun di tempuh. Ujian kesabaran, ujian tanggung jawab, ujian keikhlasan dan masih banyak ujian yang tak berkaitan dengan mata kuliah.
 
Realnya, ada beberapa tipe dosen, ada yang tak mau dihubungi dengan sms-telpon atau media sosial, bagaimana caranya mahasiswa mendatanginya untuk bimbingan tanpa komunikasi, mengadakan janji sebelumnya, ada yang harus datang ke rumahnya yang berbeda kota dan merogoh kocek yang tak sedikit untuk ukuran mahasiswa, ada yang tak ingin ditemui di rumah tapi di kampus sulitnya minta ampun, ada yang ingin mendapatkan buah tangan setiap bimbingan, ada yang marah kalau ada yang bawa makanan ataupun apapun itu, well guys! Masih banyak tipe dosen yang membuat kita harus pandai untuk memahaminya.
 
Di saat tak dibutuhkan si laptop fine-fine aja tuh. Tapi saat deadline, ataupun revisian. Look at! Laptop rusak, harus servis. Mending kalau sehari, sampai berminggu-minggu? Atau berbulan lamanya? Jangankan rusak, ada pula di saat genting, laptop kemalingan berserta gadget, smartphone, dan data semuanya ada disitu? Bicara laptop ini bukan mengada-ngada. Kisah nyata dari beberapa teman, sahabat yang secara bersamaan laptop tak bisa diharapkan. Ketika saya semester 5 mendaptakan kabar salah seorang ketua di organisasi, kehilangan laptop padahal di dalamnya berisi data skripsi tidak hanya itu LPJ, SPJ, PROKER. Bahkan Proker organisasi yang dinaunginya itu se-Banten. So, How? Kalau imannya nggak kuat, stress wajar, kalau gila? Ah sungguh menyeramkan jadinya perkara skripsi ini.
 
Kehilangan benda mati, masih bisa mencari di toko-toko terdekat, kalau malas tinggal browsing aja kemudian klik pesan deh, satu syarat yang terpenting money ada. Kalau kehilangan orang yang disayang? Di putusin pacar, diduain pacar (Alhamdulillah nggak pernah, nggak punya patjar soalnya *plakk*) beberapa teman saya jadi stress dan susah move on sampai skripsipun terlunta-lunta. Padahal patjar doang ya? (sok iya saya). Yang membuat menganga adalah jika nafas sudah tak berhembus dari orang yang telah melahirkan kita? Dari seorang yang telah banting tulang untuk kebutuhan kita sampai usia kepala 2 ini, sanggupkah bersabar? Teman saya berhasil melawan ujian itu disaat semeraut mengerjakan tugas akhir bahwa ada kabar duka bahwa ibu, bapaknya telah tiada. Hanya orang-orang kuat yang diberikan ujian semacam ini. Selamat ya! Di posisi mereka, belum tentu saya bisa tangguh.
“Skripsi itu bukan perkara cepat. Tapi tanggung jawab!”
Bapak Taufik M.Pd salah satu dosen di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, pernah berucap demikian.
 
So, tarik nafas! Dan kembali bersemangatlah untuk para pejuang skripsi!
 
Sabtu, 6 September 2014
Riuhnya anak MTS
Ditemani secangkir kopi  Good Day Chococinno.

6 komentar:

  1. Semangat Anis. Seharusnya skripsi di jadikan perbuatan jihad yah, emang bener-bener perjuangan banget. hehehe. Ohh iyah, Anis udah di daftrain seminar sama anak-anak tuh, cek group FB deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Luky makasih yaaa :))
      Insha Allah tahun ini. Semangat! Saling semangatin doa juga jangan lupa.

      Hapus

Anis Sofia © 2016