Selasa, 06 Maret 2012


Man Shabara Zhafira
            Kesabaran akan selalu diuji untuk umat yang dicintai-Nya. Begitu dengan diri ketika menghadapi permasalahan yang membutuhkan bahan bakar yaitu sabar. Setiap hari menuntut ilmu di gedung hijau, belajar mandiri karena jauh dari orang tua. Dunia pesantren kini menjadi bagian cerita dalam hidup ku.
            Antara Lebak dan Cipanas memberikan perbedaan yang tampak. Matahari yang mulai tidur, raja malam yang menggantikannya. Hawa dingin mulai menusuk hingga tulang-tulang. Iklim yang sungguh jauh berbeda membuat badan ini menggigil setiap harinya. Doa dan selimut menjadi pelindungku ketika rasa dingin mulia menyerang.
            Hari yang begitu indah, aku lalui dengan semangat yang membara. Perjalanan dari kamar menuju gedung sekolah tidak terlalu jauh tapi di pertengahan jalan udara yang aku hirup begitu sulit dan dada terasa sesak. Bertahan, hal itu yang aku bisa lakukan, menaiki tangga jantung ini berdebar kencang, keringat dingin mengucuri badan. Sesampainya di kelas ku ucap syukur kepada Sang Pencipta dan mengambil nafas secara teratur.
            Sebagai anak sulung harus mengikuti keinginan orang tua memberikan contoh yang baik terhadap adik. Melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas dalam dunia pondok adalah keinginan mereka dan aku patuhi sebagai wujud kasih sayang. Al Quran, sajadah, kitab kuning merekalah teman-teman baruku yang selalu menambahkan ilmu terhadap otak yang masih kosong akan ilmu agama. Kuatnya fisik merupakan salah satu syarat untuk menjalankan amanah orangtua dengan baik yakni belajar. Karena di dunia santri belajar adalah makanan sehari-hari. Bila tubuh sakit maka kegiatan di pondok akan terhambat dan semakin tertinggal.
            Tapi bagaimana jika fisik lemah?. Otomatis kegiatan pembelajaran akan banyak yang tertinggal. Bukan lagi buku yang menemani melainkan obat, selimut. Mensano in corperesano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pepatah itu sangat benar jiwa yang kuat berasal dari jiwa yang sehat. Tidak menjaga kesehatan dengan baik maka jiwa buruk akan bersemai di dalam diri. Sudah tiga minggu sakit batuk menempa diri, tidak henti-hentinya aku memanjatkan doa pada Sang Khalik dan menelan obat-obat sebagai ikhtiar. Tubuh ini sakit, nafas yang sesak sering aku alami di saat kedinginan dan lelah. Kepala pusing, demam tinggi ikut melengkapi. Sabar, hanya itu yang bisa kulakukan.
            Teman-teman sekamar “ Rabiatul Adawiyah ” sangat kawatir melihat aku yang semakin lemah, tidak bisa bangun dari tempat tidur ketika mentari mulai menyapa. Setiap hari bermandikan keringat dingin air mata sempat melintasi pipi menandakan kekuatan yang lemah. Obat telah habis, tapi tidak menunjukkan perkembangan. Tidak lama teman-teman satu kamar memberikan kabar akan kesehatanku yang buruk kepada orangtua tercinta. Kemudian ayah,  ibu memeriksan aku ke klinik. Tekanan darah, suhu, kondisi badanku diperiksa secara teliti oleh ibu dokter. Dokter yang solehah. Langkah terakhir wanita yang menggunakan pakaian putih-putih menyuruhku untuk merontgen. Aku hanya memanjatkan doa semoaga sakit yang aku rasakan selama ini bukan penyakit yang parah. Teknologi kedokteran yang semakin canggih memudahkan aku, orangtua tercinta, ibu dokter dapat mengetahui penyakit yang sedang menenpel di tubuh ini.
            Tidak menunggu lama “ TBC “, ucap ibu dokter dengan suara yang berat. Jiwa yang rapuh kini runtuh menyadari ketetapan takdir yang tela ditulis-Nya. Aku tidak menerima musibah yang menempa kesehatan. Sebelumnya aku pernah merasakan ini ketika duduk di bangku Sekolah Dasar rasanya sungguh tidak enak. Selama dua belas tenggorakan ini selalu menelan obat-obatan yang berukuran besar, jumlah yang banyak, dan pahit rasanya. Sekali lupa untuk meminum obat, maka sama saja melakukan hal yang sia-sia dan harus mengulang dari awal meminum obat.
            Karena jiwa yang lemah, pikiranku tidak terarah. Aku hanya bisa menyalahkan kepada Sang Maha Pencipta “…mengapa harus terulang kembali? Dan TBC lagi? Sungguh Engkau tidak adil!..”. Aku berteriak sekencang-kencangnya hingga kedamain bumi tertanggu oleh teriak yang menggelegar. Berteriak tidak setuju akan penyakit yang melelahkan dan menyalahkan Allah. Teman-teman tetap sibuk menenangkan hatiku yang kacau.
            “ Istigfar…istigfar…istigfar fi!, “ teriak teman-teman  dengan sibuk memegang tanganku erat, sambil mengusap kepala dengan penuh rasa saying.
            “ Innallaha ma shobirin ya ukht..,”
            “ La tahzan, innallaha ma’na…,”
“ Man shabara zhafira ,“
Teman-teman terus meberikan semangat agar aku bisa bangkit dari keterputukan.
“ Sabar ya ukht ini adalah penawar dosa, syukurilah, istigfar!. Lihatlah orangtua yang telah berusaha agar kau sehat, mengantarkan sebotol obat untukmu. Man shabara zhafira, siapa yang sabar maka beruntung”. Nasihat teman sekamar yang mendamaikan hati. Bangkit. Aku bangkit dari jatuh yang kedua kalinya. Merasa gagal kembali karena penyakit sama kini terulang membuat diri lebih mengerti arti kesehatan.
Pengobat segala penyakit yaitu Allah, meminum obat berbulan-bulan tanpa terputus adalah ikhtiar, tidak lupa doa aku panjatkan. Istigfar terus terucap menyadari akan kekufuran. Ini adalah rahman-Nya, yang membuatku bangun dari terjatuhnya semangat dan mulai belajar kesabaran. Man shabara zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung. Beruntung? Dikatakan seperti itu jika mampu bersabar maka Allah akan bersamanya. Keberuntungan yang luar biasa jika bisa dekat bersama Allah karena kesabaran. Aku mulai berpikir akan penyakit yang menantang ini sebagai hamparan penawar dosa dan laboraturium kesabaran. Aku orang yang beruntung karena terjatuh lagi dan bangkit dalam kesabaran untuk mencapai cinta-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016