Man Shabara Zhafira
Kesabaran
akan selalu diuji untuk umat yang dicintai-Nya. Begitu dengan diri ketika
menghadapi permasalahan yang membutuhkan bahan bakar yaitu sabar. Setiap hari
menuntut ilmu di gedung hijau, belajar mandiri karena jauh dari orang tua.
Dunia pesantren kini menjadi bagian cerita dalam hidup ku.
Antara Lebak dan Cipanas memberikan
perbedaan yang tampak. Matahari yang mulai tidur, raja malam yang
menggantikannya. Hawa dingin mulai menusuk hingga tulang-tulang. Iklim yang
sungguh jauh berbeda membuat badan ini menggigil setiap harinya. Doa dan
selimut menjadi pelindungku ketika rasa dingin mulia menyerang.
Hari yang begitu indah, aku lalui
dengan semangat yang membara. Perjalanan dari kamar menuju gedung sekolah tidak
terlalu jauh tapi di pertengahan jalan udara yang aku hirup begitu sulit dan
dada terasa sesak. Bertahan, hal itu yang aku bisa lakukan, menaiki tangga jantung
ini berdebar kencang, keringat dingin mengucuri badan. Sesampainya di kelas ku
ucap syukur kepada Sang Pencipta dan mengambil nafas secara teratur.
Sebagai anak sulung harus mengikuti
keinginan orang tua memberikan contoh yang baik terhadap adik. Melanjutkan ke
jenjang Sekolah Menengah Atas dalam dunia pondok adalah keinginan mereka dan
aku patuhi sebagai wujud kasih sayang. Al Quran, sajadah, kitab kuning
merekalah teman-teman baruku yang selalu menambahkan ilmu terhadap otak yang
masih kosong akan ilmu agama. Kuatnya fisik merupakan salah satu syarat untuk
menjalankan amanah orangtua dengan baik yakni belajar. Karena di dunia santri
belajar adalah makanan sehari-hari. Bila tubuh sakit maka kegiatan di pondok
akan terhambat dan semakin tertinggal.
Tapi bagaimana jika fisik lemah?.
Otomatis kegiatan pembelajaran akan banyak yang tertinggal. Bukan lagi buku
yang menemani melainkan obat, selimut. Mensano in corperesano, di dalam tubuh
yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pepatah itu sangat benar jiwa yang kuat
berasal dari jiwa yang sehat. Tidak menjaga kesehatan dengan baik maka jiwa
buruk akan bersemai di dalam diri. Sudah tiga minggu sakit batuk menempa diri,
tidak henti-hentinya aku memanjatkan doa pada Sang Khalik dan menelan obat-obat
sebagai ikhtiar. Tubuh ini sakit, nafas yang sesak sering aku alami di saat
kedinginan dan lelah. Kepala pusing, demam tinggi ikut melengkapi. Sabar, hanya
itu yang bisa kulakukan.
Teman-teman sekamar “ Rabiatul
Adawiyah ” sangat kawatir melihat aku yang semakin lemah, tidak bisa bangun
dari tempat tidur ketika mentari mulai menyapa. Setiap hari bermandikan
keringat dingin air mata sempat melintasi pipi menandakan kekuatan yang lemah.
Obat telah habis, tapi tidak menunjukkan perkembangan. Tidak lama teman-teman
satu kamar memberikan kabar akan kesehatanku yang buruk kepada orangtua
tercinta. Kemudian ayah, ibu memeriksan
aku ke klinik. Tekanan darah, suhu, kondisi badanku diperiksa secara teliti
oleh ibu dokter. Dokter yang solehah. Langkah terakhir wanita yang menggunakan
pakaian putih-putih menyuruhku untuk merontgen. Aku hanya memanjatkan doa
semoaga sakit yang aku rasakan selama ini bukan penyakit yang parah. Teknologi
kedokteran yang semakin canggih memudahkan aku, orangtua tercinta, ibu dokter
dapat mengetahui penyakit yang sedang menenpel di tubuh ini.
Tidak menunggu lama “ TBC “, ucap
ibu dokter dengan suara yang berat. Jiwa yang rapuh kini runtuh menyadari
ketetapan takdir yang tela ditulis-Nya. Aku tidak menerima musibah yang menempa
kesehatan. Sebelumnya aku pernah merasakan ini ketika duduk di bangku Sekolah
Dasar rasanya sungguh tidak enak. Selama dua belas tenggorakan ini selalu
menelan obat-obatan yang berukuran besar, jumlah yang banyak, dan pahit rasanya.
Sekali lupa untuk meminum obat, maka sama saja melakukan hal yang sia-sia dan
harus mengulang dari awal meminum obat.
Karena jiwa yang lemah, pikiranku
tidak terarah. Aku hanya bisa menyalahkan kepada Sang Maha Pencipta “…mengapa
harus terulang kembali? Dan TBC lagi? Sungguh Engkau tidak adil!..”. Aku
berteriak sekencang-kencangnya hingga kedamain bumi tertanggu oleh teriak yang
menggelegar. Berteriak tidak setuju akan penyakit yang melelahkan dan
menyalahkan Allah. Teman-teman tetap sibuk menenangkan hatiku yang kacau.
“ Istigfar…istigfar…istigfar fi!, “
teriak teman-teman dengan sibuk memegang
tanganku erat, sambil mengusap kepala dengan penuh rasa saying.
“ Innallaha ma shobirin ya ukht..,”
“ La tahzan, innallaha ma’na…,”
“
Man shabara zhafira ,“
Teman-teman
terus meberikan semangat agar aku bisa bangkit dari keterputukan.
“
Sabar ya ukht ini adalah penawar dosa, syukurilah, istigfar!. Lihatlah orangtua
yang telah berusaha agar kau sehat, mengantarkan sebotol obat untukmu. Man
shabara zhafira, siapa yang sabar maka beruntung”. Nasihat teman sekamar yang
mendamaikan hati. Bangkit. Aku bangkit dari jatuh yang kedua kalinya. Merasa
gagal kembali karena penyakit sama kini terulang membuat diri lebih mengerti
arti kesehatan.
Pengobat
segala penyakit yaitu Allah, meminum obat berbulan-bulan tanpa terputus adalah
ikhtiar, tidak lupa doa aku panjatkan. Istigfar terus terucap menyadari akan
kekufuran. Ini adalah rahman-Nya, yang membuatku bangun dari terjatuhnya
semangat dan mulai belajar kesabaran. Man shabara zhafira, siapa yang bersabar
akan beruntung. Beruntung? Dikatakan seperti itu jika mampu bersabar maka Allah
akan bersamanya. Keberuntungan yang luar biasa jika bisa dekat bersama Allah
karena kesabaran. Aku mulai berpikir akan penyakit yang menantang ini sebagai
hamparan penawar dosa dan laboraturium kesabaran. Aku orang yang beruntung
karena terjatuh lagi dan bangkit dalam kesabaran untuk mencapai cinta-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar