Jumat, 17 April 2020



Layaknya teleskop yang kamu tunjukan kepadaku, pernikahan kita seunik itu. Kamu merangkai bagian-bagian teleskop, menjadi teleskop yang sempurna. Kamu yang terus mencoba lensa mana yang cocok dan sanggup menangkap rembulan dengan tepat. Mengeker, mengarahkan hingga terpampang jelas pada tangkapan lensa. Seperti itu, penuh kegigihan, kesabaran, keuletan untuk saling merawat amanah Tuhan: keluarga kecil kita.

Meneropong ke belakang, menengok  tahun 2018, tiga pekan sebelum awal Oktober. Kamu dan aku berada di tempat yang berbeda
, berdiskusi terbentang jarak: berbicara seputar undangan, kelancaran menggemanya ijab qabul dan tentu rangkaian mimpi yang akan kita susun bersama. 

Terasa lelah, tapi begitu indah. Saling memperjuangkan nama, yang sebelumnya tak pernah saling menyapa. Hanya satu, yakin! Yakin karena Allah selalu membukakan pintu dan mempermudah segalanya, meyakinkan hati yang masih sering bertanya “apakah mimpi?”

Begitu banyak suka dan duka yang kita lalui, pertengkaran-pertengkaran yang sering mewarnai hari. Lelah menyiapkan pernikahan tidak sebanding dengan lelah menahan ego masing-masing. Terlebih aku, gadis satu-satunya dan sulung, ditambah lagi aku adalah mahluk yang sangat perasa. Sudah bukan rahasia keluarga, bahwa aku mudah sekali cemberut, untuk mengubah kebiasan buruk ini? Ini lebih rumit dibandingkan mengetik nama-nama tamu undangan bapak yang menggunung banyaknya. 

Kamu yang ceplas ceplos, aku yang mudah baper. Kamu yang bergerak cepat, aku yang lambat. Kamu yang visioner, aku yang tidak peka. Kamu yang ramah kepada siapapun, aku yang pencemburu. Kamu yang sabar, aku yang selalu kalah menahan amarah. Ah rumit! Sungguh!  Tapi, ini menjadi tantangan tersendiri untuk keluarga kecil kita bukan? Bukankah menikah adalah proses saling mengenal seumur hidup? 

“… Bahtera rumah tangga berhasil menjadi sempurna, bukan karena ikatan perkawinan dari dua orang yang sempurna. Ia sempurna karena pasangan laki-laki dan perempuan yang membinanya melalui ikatan pernikahan itu menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak sempurna namun berusaha keras untuk menikmati perbedaan-perbedaa mereka”

Sebuah kutipan dari buku “Emak” karya Dr.Daoed Joesoef empat tahun lalu ketika aku di pelosok Papua. 

Di lautan kekuranganku, terimakasih telah hadir dan memilihku, menjadi nahkoda yang handal menerjang ombak ujian dan rintangan. Terimakasih telah berjuang, meraih keberkahan dalam setiap tetes keringat bercucuran, terimakasih menahan luapan amarah yang diakibatkan karena ulahku.

 Layaknya bulan, sungguh elok dipandang kejauhan, dinikmati dengan kedua mata telanjang. Dilihat dengan teleskop, penuh lubang, retakan, itulah aku. Mungkin sebelum menikah aku terlihat indah memesona, tapi ketika seatap denganku, kamu pasti menemukan begitu banyak sikapku yang kurang berkenan di hati. 

Layaknya teleskop, nikmatilah! Terlebih jadikan ia cahaya yang bisa menyejukan mata. Dan mataku berayun, melukis wajahmu pada gelapnya malam. Cahaya yang kau berikan,  sering memantul karena pongah yang tertanam, terus siramlah ia dengan sabar, agar tersemai cinta yang damai. Segala ulah yang sering mengecewakan, aku pangkas setahap demi setahap, terkesan lambat bahkan lupa tapi semoga Kuasa menjadikanku tempat ternyaman yang kau labuhkan. 

Maafkan aku,  keluarga kecil ini begitu penat dengan segala riuh aku mengalahkan ego.



Cilegon, 18 September 2019

Istri mu yang penuh kekurangan 

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016