Bagaimana
dengan makanku di Beo? Bagaimana mandinya? Bagaimana mengabari orangtua? Banyak
sekali teman dan keluarga yang bertanya akan kondisi hidup di tanah rantauan.
Ah sungguh membahagiakan jika ada yang bertanya demikian.
Makan
Ini
tidak semudah ketika kuliah, yang kalau gendering perut bertabuh tinggal pergi
saja ke kantin, pilih menu apa saja tinggal di sesuaikan kantong. Tidak
segampang di rumah yang makanan sudah tersaji di meja makan, piringpun
disediakan.
Memasak
mie instanpun di tempat rantuan tidak seinstan nyatanya, butuh proses lama,
kalau ada minyak tanah bisa nyalakan lidi lalu menghidupkan sumbu-sumbunya,
jika minyak tanah terbatas, maka kayu bakar siap di tungku.
Bahkan
pernah ketika persedian kayu habis, aku dan temanku yang baik hati pergi ke
gunung mencari kaya bakar sambil menahan lapar. Ada satu hal yang membuatnya
gampang, di sini aku dan partner sangat
berbahagia, mengurangi keluhan, mengartikannya dengan senyuman dan candaan.
Semua lelah terbayar sudah. Apalagi obat ampuh adalah anak-anak yang selalu
hadir tanpa diminta, Ilham lah salah satu murid kelas 6 kesayanganku. Angin
mana yang mengabarinya hingga kemana kami kesusahan dia selalu hadir dan
membantu.
“Haha ibu ini kayu tarabisa jadi kayu bakar. Masih muda toh bu kayu ini” ucapnya sambil memilah hasil buruan kayu aku dan Erli gadis Jakarta.
Aku
dan Erli hanya senyum malu-malu. Kesempatan emas di gunung adalah bisa
internetan, karena ada tower CDMA Ceria Papua di sana. Ilhampun mempersilahkan
aku dan kawan seperjuangan untuk memainkan gadget.
Capekkah?
Tentu. Aku harus menggotong batang-batang besar, tidak ingin kalah dengan si
kecil ilham. Rupanya ini menjadi daya simpati para warga Beo melihat aku dan
Erli membawa kayu bakar saat turun gunung dan melewati kampung Baru.
“Ibuu, dong ada kayu heh. Nanti biar Acal yang dayung antar ke rumah ibu punya” ucap Papa Dafa ketika kami berpapasan dengannya. Benar saja, mas Acal seorang remaja Papua dengan panggilan akrabnya Mas itu sudah menurunkan kayu di halaman belakang rumah, dia menepikan perahu di samping rumah dan menaruh dayungnya.
Tidak
punya kebun seperti warga, sudah jelas aku hanyalah pendatang, menjadi warga
selama setahun. Tapi, masih bisa mengolah sayur daun singkong, papaya, buah
papaya muda, kangkung, terong, bayam, semua sayur itu didapat dari Mama-mama
yang membawakan ke rumah, atau aku dan Erli membeli dari warga pulau lain,
Pulau Araway, Pulau Waoifoi, yang berjualan di rumah kepala adat.
Baru
saja memasak buah papaya muda dengan di tumis, dituangkan di atas piring.
Anak-anak datang “Ibu guruuu, ini buat ibu” dua plastik besar berisikan daun
singkong digenggam mereka, perlahan diletakan di dapur, yang berlantaikan papan
kayu yang di bawahnya terdengar keras seuara ombak.
“Terimakasih
sayang” selalu ada saja sayur untuk dimakan, ketika bingung besok makan sayur
apa, karena stock buah papaya muda
habis, ada malaikat kecil datang dengan penuh senyuman. Aku dan Erli punya
banyak kesamaan, di antaranya harus makan sayur. Maka sumringlah wajah-wajah kami
melihat ada persedian sayur.
Di
kampung Beo, aku tidak kawatir kekurangan protein. Lidah ini sudah lupa rasa
daging ayam, sapi, kambing. Tapi, syukurlah aku sangat gemar ikan. Nenek
Tingting adalah seorang yang sangat rajinnya memberikan ikan, tiap hari kalau
Nenek Tingting tidak sibuk, beliau membawakan ke rumah ikan lema (kembung),
ikan kakap, ikan bumbara (sangat besar entah tidak tahu nama Indonesianya apa).
Padahal aku dan Erli, hanya berjumlah 2 orang, tapi Nenek selalu membawakan
lebih dari 3.
Aku
dan Erli selalu bereksperimen dengan bumbu di dapur, di kampung jangankan
swalayan, warungpun tidak ada. Bumbu yang dipunya hanya bawang merah, putih,
lengkuas, kunyit, merica, ketumbar, tidak lengkap. Jadi, setiap masakan selalu
hadir dengan racikan yang berbeda, syukurnya lidah, perut bisa menerima.
Setidaknya membuat rajin dan pandai masak.
“Ibu
masakannya pedis tapi sedap” ucap Risna, Irna dan beberapa anak yang suka makan
bersama. Tuh kan, ada bakatlah aku dan Erli menjadi cheef yang kreatif dengan terbatasnya alat masak dan bumbu.
Jika
memasak sayur, lauk, menggoreng kerupuk maka kompor minyaklah andalan aku, dan
tungku menjadi andalan untuk menanak nasi, dan memasak air. Kompor minyak yang
dipinjamkan Mama Alya sangatlah membantu aku dan Erli, jika ketakutan masak di
tungku yang berada di halaman belakang rumah, maka bisa memasak dengan bahagia
di dalam rumah dengan menggunakan kompor minyak.
Memasak
di tungku tidaklah mudah, pernah besi yang menahan panci jatuh, sehingga nasi
bertaburan, api yang tiba-tiba membesar karena angin laut yang kencang, air
yang tak matang ternyata kayu bakarnya habis menjadi abu. Memasak di tungku sama saja belajar setia,
toh sekali ditinggal, besarnya api tidak searah dengan panci, jadi harus selalu
dibenarkan susunannya. Api yang padam, harus meniup dengan kencang dan menambah
pasokan kayu bakar ke dalam tungku, belum lagi asapnya selalu berhasil
mengeluarkan air mata. Tapi, semakin kesini aku professional, mata tidak perih,
tidak lagi besi jatuh. Semuanya melatih kesabaran. Terkadang kalau perut
meronta ronta, kayu bakar habis ada rasa rindu pada kompor gas. Hhe
Mandi
Jika
ditanyakan bagaimana bisa membersihkan badan? Terkadang malu harus bicara jujur
kalau aku dan Erli tidak sering mandi. Di kampung, saat ini sedang musim
kemarau, air sumber mandi, memasak, mencucui pakaian ada pada air gunung atau
mata air. Air gunung yang dialiikan dari pilah-pilah bambu sangatlah sedikit.
Jadi hanya cukup memasak dan mencuci, sebagai solusi menghemat air maka aku dan
Erlii sehari mandi sekali, di waktu sore. Itu paling rajin, setidaknya paling
lama 2 hari baru bisa mandi.
Ada
2 sumber air, dari pegunungan dan mata air. Air pegunungan mengalir ke sumur
nenek Irna yang dialirkan melalui pilah-pilah bambu, terletak di Kampung Lama, tiga
langkah dari rumah. Satu lagi mata air terletak di dekat laut, berada di
hulunya letaknya di Kampung Baru. Jika air berkecukupan di sumur nenek Irna
maka tak usah repot mengangkut air ke Kampung Baru. Beberapa hari ini lebih
mengeluarkan tenaga, karena harus ke Kampung Baru karena sumur Nenek Irna tidak
mencukupi. Jadi sudah menjadi pemandangan warga kalau siang hari segala
perabotan dapur yang kotor, cucian pakaian, ember kosong segala wadah hingga
botol minuman dibawa untuk dipenuhi air dan menjadi persedian untuk keperluan.
Pemandangan
yang tidak asing aku dan Erli lakukan selalu menjadi daya simpati warga. Rasa
simpati atau lebih dikatakan mereka sangat menghormati guru, mereka tidak enak
hati jika melihat aku dan Erli kerepotan membawa air, maka kalau sudah air
penuh, selalu saja banyak tawaran perahu
untuk menampung dan dibawakan ke halaman belakang rumah, sesekali sarana
tumpangan perahu atau ketinting menjadi kesempatan untuk belajar mendayung dan
membuang rasa takut pada air laut.
Banyak
hal sederhana, kegiatan yang biasa-biasa saja beberapa orang memandangnya.
Tapi, hal yang dulu tidak biasa dilakukan menjadi tantangan. Ah Terimakasih
Beo! Datanglah ke pulau Beo! Hati ini semakin di asah untuk berterimakasih dan
bersyukur.
Rumah panggung air lau. Gaduhnya
anak di kamar
Selasa, 22 September 2015
15.36 WIT
Pulau Beo-Raja Ampat
0 komentar:
Posting Komentar