Jumat, 24 Juli 2020



Bagaimana dengan makanku di Beo? Bagaimana mandinya? Bagaimana mengabari orangtua? Banyak sekali teman dan keluarga yang bertanya akan kondisi hidup di tanah rantauan. Ah sungguh membahagiakan jika ada yang bertanya demikian.
Makan
Ini tidak semudah ketika kuliah, yang kalau gendering perut bertabuh tinggal pergi saja ke kantin, pilih menu apa saja tinggal di sesuaikan kantong. Tidak segampang di rumah yang makanan sudah tersaji di meja makan, piringpun disediakan.
Memasak mie instanpun di tempat rantuan tidak seinstan nyatanya, butuh proses lama,
kalau ada minyak tanah bisa nyalakan lidi lalu menghidupkan sumbu-sumbunya, jika minyak tanah terbatas, maka kayu bakar siap di tungku.

Bahkan pernah ketika persedian kayu habis, aku dan temanku yang baik hati pergi ke gunung mencari kaya bakar sambil menahan lapar. Ada satu hal yang membuatnya gampang, di sini aku dan partner sangat berbahagia, mengurangi keluhan, mengartikannya dengan senyuman dan candaan. Semua lelah terbayar sudah. Apalagi obat ampuh adalah anak-anak yang selalu hadir tanpa diminta, Ilham lah salah satu murid kelas 6 kesayanganku. Angin mana yang mengabarinya hingga kemana kami kesusahan dia selalu hadir dan membantu.

“Haha ibu ini kayu tarabisa jadi kayu bakar. Masih muda toh bu kayu ini” ucapnya sambil memilah hasil buruan kayu aku dan Erli gadis Jakarta.
Aku dan Erli hanya senyum malu-malu. Kesempatan emas di gunung adalah bisa internetan, karena ada tower CDMA Ceria Papua di sana. Ilhampun mempersilahkan aku dan kawan seperjuangan untuk memainkan gadget.
Capekkah? Tentu. Aku harus menggotong batang-batang besar, tidak ingin kalah dengan si kecil ilham. Rupanya ini menjadi daya simpati para warga Beo melihat aku dan Erli membawa kayu bakar saat turun gunung dan melewati kampung Baru.
“Ibuu, dong ada kayu heh. Nanti biar Acal yang dayung antar ke rumah ibu punya” ucap Papa Dafa ketika kami berpapasan dengannya. Benar saja, mas Acal seorang remaja Papua dengan panggilan akrabnya Mas itu sudah menurunkan kayu di halaman belakang rumah, dia menepikan perahu di samping rumah dan menaruh dayungnya.
Tidak punya kebun seperti warga, sudah jelas aku hanyalah pendatang, menjadi warga selama setahun. Tapi, masih bisa mengolah sayur daun singkong, papaya, buah papaya muda, kangkung, terong, bayam, semua sayur itu didapat dari Mama-mama yang membawakan ke rumah, atau aku dan Erli membeli dari warga pulau lain, Pulau Araway, Pulau Waoifoi, yang berjualan di rumah kepala adat.
Baru saja memasak buah papaya muda dengan di tumis, dituangkan di atas piring. Anak-anak datang “Ibu guruuu, ini buat ibu” dua plastik besar berisikan daun singkong digenggam mereka, perlahan diletakan di dapur, yang berlantaikan papan kayu yang di bawahnya terdengar keras seuara ombak.
“Terimakasih sayang” selalu ada saja sayur untuk dimakan, ketika bingung besok makan sayur apa, karena stock buah papaya muda habis, ada malaikat kecil datang dengan penuh senyuman. Aku dan Erli punya banyak kesamaan, di antaranya harus makan sayur. Maka sumringlah wajah-wajah kami melihat ada persedian sayur.

Di kampung Beo, aku tidak kawatir kekurangan protein. Lidah ini sudah lupa rasa daging ayam, sapi, kambing. Tapi, syukurlah aku sangat gemar ikan. Nenek Tingting adalah seorang yang sangat rajinnya memberikan ikan, tiap hari kalau Nenek Tingting tidak sibuk, beliau membawakan ke rumah ikan lema (kembung), ikan kakap, ikan bumbara (sangat besar entah tidak tahu nama Indonesianya apa). Padahal aku dan Erli, hanya berjumlah 2 orang, tapi Nenek selalu membawakan lebih dari 3.
Aku dan Erli selalu bereksperimen dengan bumbu di dapur, di kampung jangankan swalayan, warungpun tidak ada. Bumbu yang dipunya hanya bawang merah, putih, lengkuas, kunyit, merica, ketumbar, tidak lengkap. Jadi, setiap masakan selalu hadir dengan racikan yang berbeda, syukurnya lidah, perut bisa menerima. Setidaknya membuat rajin dan pandai masak.

“Ibu masakannya pedis tapi sedap” ucap Risna, Irna dan beberapa anak yang suka makan bersama. Tuh kan, ada bakatlah aku dan Erli menjadi cheef yang kreatif dengan terbatasnya alat masak dan bumbu.

Jika memasak sayur, lauk, menggoreng kerupuk maka kompor minyaklah andalan aku, dan tungku menjadi andalan untuk menanak nasi, dan memasak air. Kompor minyak yang dipinjamkan Mama Alya sangatlah membantu aku dan Erli, jika ketakutan masak di tungku yang berada di halaman belakang rumah, maka bisa memasak dengan bahagia di dalam rumah dengan menggunakan kompor minyak.

Memasak di tungku tidaklah mudah, pernah besi yang menahan panci jatuh, sehingga nasi bertaburan, api yang tiba-tiba membesar karena angin laut yang kencang, air yang tak matang ternyata kayu bakarnya habis menjadi abu.  Memasak di tungku sama saja belajar setia, toh sekali ditinggal, besarnya api tidak searah dengan panci, jadi harus selalu dibenarkan susunannya. Api yang padam, harus meniup dengan kencang dan menambah pasokan kayu bakar ke dalam tungku, belum lagi asapnya selalu berhasil mengeluarkan air mata. Tapi, semakin kesini aku professional, mata tidak perih, tidak lagi besi jatuh. Semuanya melatih kesabaran. Terkadang kalau perut meronta ronta, kayu bakar habis ada rasa rindu pada kompor gas. Hhe

Mandi
Jika ditanyakan bagaimana bisa membersihkan badan? Terkadang malu harus bicara jujur kalau aku dan Erli tidak sering mandi. Di kampung, saat ini sedang musim kemarau, air sumber mandi, memasak, mencucui pakaian ada pada air gunung atau mata air. Air gunung yang dialiikan dari pilah-pilah bambu sangatlah sedikit. Jadi hanya cukup memasak dan mencuci, sebagai solusi menghemat air maka aku dan Erlii sehari mandi sekali, di waktu sore. Itu paling rajin, setidaknya paling lama 2 hari baru bisa mandi.

Ada 2 sumber air, dari pegunungan dan mata air. Air pegunungan mengalir ke sumur nenek Irna yang dialirkan melalui pilah-pilah bambu, terletak di Kampung Lama, tiga langkah dari rumah. Satu lagi mata air terletak di dekat laut, berada di hulunya letaknya di Kampung Baru. Jika air berkecukupan di sumur nenek Irna maka tak usah repot mengangkut air ke Kampung Baru. Beberapa hari ini lebih mengeluarkan tenaga, karena harus ke Kampung Baru karena sumur Nenek Irna tidak mencukupi. Jadi sudah menjadi pemandangan warga kalau siang hari segala perabotan dapur yang kotor, cucian pakaian, ember kosong segala wadah hingga botol minuman dibawa untuk dipenuhi air dan menjadi persedian untuk keperluan.

Pemandangan yang tidak asing aku dan Erli lakukan selalu menjadi daya simpati warga. Rasa simpati atau lebih dikatakan mereka sangat menghormati guru, mereka tidak enak hati jika melihat aku dan Erli kerepotan membawa air, maka kalau sudah air penuh, selalu saja  banyak tawaran perahu untuk menampung dan dibawakan ke halaman belakang rumah, sesekali sarana tumpangan perahu atau ketinting menjadi kesempatan untuk belajar mendayung dan membuang rasa takut pada air laut.
Banyak hal sederhana, kegiatan yang biasa-biasa saja beberapa orang memandangnya. Tapi, hal yang dulu tidak biasa dilakukan menjadi tantangan. Ah Terimakasih Beo! Datanglah ke pulau Beo! Hati ini semakin di asah untuk berterimakasih dan bersyukur.

Rumah panggung air lau. Gaduhnya anak di kamar
Selasa, 22 September 2015
15.36 WIT
Pulau Beo-Raja Ampat

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016