Rabu, 06 November 2013

Kau  tahu cinta? Ia adalah deretan lima huruf yang bisa merubah dunia. Ada bergembira dibuatnya, bersedih hingga gila. Adapula cinta yang memang selalu merapal nama-nama dalam doa tanpa kau perlu tahu wajahnya. Dan pada satu muharram, cinta itu datang di kota Baja.

Dengan rasa penasaran membuncah pada suatu nama tempat yang saya lipat rapat namanya dan ditaruhkan di dalam kantung hati, sebuah tempat yang katanya indah, dari satu batu dapat memandang seluruh isi dalam satu kota, benarkah?

Ada rasa penasaran dan ingin bercinta yang memaksa diri lari dari kepenatan hari yang menjemukkan. Jika orang lain menganggap kami refreshing ya bisa jadi, tapi saya lebih merasa ingin mengolah hati dan bercengkrama pada alam. Menikmati belaian angin perbukitan, tanjakan, turunan, aroma dedaunan pohon.

Adalah mereka empat bidadari tak bersayap. Berawal dari sebuah pesan yang masuk kepada HP Nokia 200, tentang ajakan pada tanggal 5 November untuk bermain ke batu lawang. Dialah sosok perempuan yang berjibaku dengan laboratorium dan korasi, Vera Nita Sako yang sangat lembut dan gesit dalam berjalan.

Selanjutnya Isna wong Brebes yang nyasar di cilegon, keramahan dan kehebohannya menjadi salah satu warna terindah dalam perjalanan kali ini, ketiga teh Mahfudoh, teman seangkatan yang memiliki warna tersendiri, gayanya yang cool dan memiliki jiwa ke”Kakak-an” yang selalu ikhlas untuk mengabadikan kami dalam setiap jepretan lensa kamera digital, dan terakhir adalah Kiki perempuan berkacamata yang memiliki simpul senyum manis, yang berselera mendaki, namun kawatir ingkar janji, secara malamnya Kiki akan mengajar privat. Kalian memang berbeda, tapi satu hal yang membuat kalian sama adalah satu ruang yang kalian sediakan untuk kami, yaitu cinta.

Tepat pukul 11.00 wib, primajasa membawa para anak pemberani (saya, Ateh dan Mbak Lin) untuk memenuhi undangan dari bidadari tak bersayap. Bayang-bayang hantu berupa RPP, Silabus, media pembelajaran cukup memberikan rasa kawatir dan cemas, tapi ini saatnya sejenak untuk berpisah dari mereka. Tilawah dan candaan mengiri perjalanan serang-cilegon. Rp. 4.000,- harga yang sesuai untuk kantong mahasiswa (dan semoga tidak naik ongkos lagi hehe) .

Lampu merah damkar, padanya saya beserta kedua sahabat yang hebat ini turun menyusuri jalan menuju Fakultas Tehnik- Cilegon. Jika dulu dengan hanya seribu kita berani naik angkot. Lagi, perempuan selalu berusaha untuk berhemat, mungkin ini adalah naluri seorang “Ibu”.

Sambil menikmati teriknya matahari, kami dengan cerianya berjalan yang entah kami tahu apa nama daerah tersebut, dan sangat bersyukur di sepanjang jalan banyak menemukan pohon yang memiliki buah berwarna merah, cherikah namanya? Entahlah, buah tersebut enak dimakan. Bersyukur pula tidak ada yang melewati jalannan tersebut, kalau ada sikap kekanak-kanakan kami bisa terlacak.

Mesjid Al-Mutam’ilin menjadi tempat bersujud, dan ruku, beristirahat bercerita pada Nya. Mesjid kampus Tehnik yang memiliki keunikannya tersendiri dan bikin iri. Iri? Terlihat jelas basecamp yang berada disampingnya ada perpustakaan mini, jadi teringan dulu zaman semester 1 masih merasakan basecamp akhwat.

Dan setelah selesai menghadap-Nya, Ibu Vera dengan pakaian serba ungunya, Isna dengan abu-abunya, datang dengan penuh keramah tamahan. Senda gurau sempat jadi penyejuk panasnya Cilegon saat itu. Tidak lama berada di rumah Allah, saatnya menjumpai teh Mahfudoh dan Kiki, saat itu belum mengenal mereka, dan kantin yang berada di samping aula FT menjadi saksi akan perkenalan singkat yang memberikan kesan mendalam.

Tiga motor menjadi kendaraan vital saat itu. Motor milik Vera, motor milik Isna, dan satulagi miliki seorang bernama Faisal (katanya). Jumlah kami yang bertujuh, memaksa salah satu motor untuk bertuti (tumpuk tiga), hanya merekalah yang berukuran S (small) yang terpaksa harus bertuti yaitu Mbak Lin, Ateh dan teh Mahfudoh. Isna dengan Kiki, dan saya dengan Ibu Vera.

Bermodal nekad memang, langit gelap. Tapi roda motor terus berputar, hingga satu tetesan berebuatan jatuh untuk membasahi kami. Di suatu komplek (entah namanya apa) pada gardu yang sangat mungil menjadi tempat teduhan. Refleksi sejenak, mungkin ini penyebab dari keluhan saya sepanjang jalan “Nggak Serang, nggak Cilegon. Hoaalahh panasnya rek!” dan tips untuk yang mau jalan-jalan hindarilah mengeluh, memang mengeluh pada dasarnya tidak baik.

Entah pukul berapa, hujan reda dan memulai perjalanan kembali. Satu hal yang menjadi penyelasn selama perjalanan adalah lupa mengenakan jam hitam Q&Q yang modelnya macho sekali, jam yang selalu menemani kemanapun. Selain itu adalah ardiles yang tak mampu menemani, entah dia pergi kemana ini sungguh memilukan. Oke, abaikan.

Kalau tidak salah saat itu menunjukan pukul 14.30 wib. Ketika sampai di Gerem tempat KKMannya Isna, ketiga motorpun dititipkan pada seorang ibu yang sangat baik hati. Perjalanan menuju batu lawang adalah hamparan aspal hitam yang masih baru, bukan jalanan setapak. Dengan menggunakan motorpun sebenarnya bisa kilat untuk mencapai atas. Tapi sensasi bermesraan dengan alam tentu tidak akan didapat.

Aaa... Ini langkahku
Aaa... Terus melaju
Aaa... Ini langkahku

Perjalananpun dimulai, berjalan dengan gayanya masing-masing. Ada yang cepat, lambat, sering berhenti karena bernasis ria, ada yang selama perjalanan memasang musik shouhar dengan keras. Itulah kami sungguh berbeda, satu hal yang sama yaitu tiba di Batu Lawang.

Isna dan teh Mahfudoh berduet menjadi tourguide kami yang sangat baik hati. Sangat baik hatinya kepada teh Mahfudoh yang selalu dengan sukarelanya menjadi photographer handal, kesamaan lain bagi kami yang baru mengenal ini adalah memiliki jiwa “narsisme” dan “metisme”. Ya, tidak hanya berpoto-poto ria, tapi bernasis ria. Dan bahagianya juga teh Mahfudoh sangat perhatian mengupas mangga, begitupun dengan Vera yang sudah menyiapkan sambal petisanya yang sangat mantap.

Dalam perjalanan ini saya membawa anak biologi, dan sepanjang jalanpun kuliah umum mengenai nama latin dari tumbuhan yang ditemukan sepanjang jalan.

“Jagung?”
“Kalau Padi?”

Belum lagi ditambah empat orang berjurusan kimia membicarakan korasi, hah makanan apa itu? Saya jarang mendengarnya di Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Tidak hanya bernasis ria, poto-poto, dan kuliah umum dan saya menjadi seorang pewawancara dan seorang penyimak yang baik. Ketika Isna, Vera, dan Teh Mahfduoh berbicara eratnya angkatan mereka, di FT dan pendakian yang sudah kesana-kemari, planning ke cikuray, semeru. Oaaa! Bikin ngiri saja mereka.

Adzan berkumandang dan saatnya untuk beribincang dan mengharapkan keberkahan kepada sang Pecinta. Solat kali itu dipenuhi bumbu perjuangan karena air sedang kerontang, dan hasilnya harus mencari air terlebih dahulu. HP pun mendadak kebanjiran sms yang berdatangan. Selama perjalanan memang sinyal untuk penggunna kartu 3 tidak bersahabat. Sinyal saat itu bagaikan desiran cinta, yang tidak mudah ditebak datangnya, dan perginya (cieelah bahasanya hehe).

Singsingkan lengan baju pancangkan asa
Ukirlah hari esok pertiwi jaya
Bergandengan tangan tuk meraih ridho Allah

Buatlah negri ini selalu tersenyum
Bahagia dan Sejahtera dalam cinta-Nya
Tiada lagi resah tiada lagi duka lara

Negeri indah Indonesia
Memanggil namamu
Menyapa nuranimu

Negeri Indah Indonesia
Menanti hadirmu
Rindukan karyamu                        

Ya! Syukur tak pernah berhenti ketika telah melalui kebun warga, dan akhirnya menemukan saung. Saung yang sudah roboh, siapakah penyebabnya? Apakah mereka yang telah memasang Poto Profil sambil duduk di atas atap saung? Merekakah #eh.

Indah sungguh indah. Tidak menyangka cilegon yang sumpek dan semeraut oleh pabrik, ditengah-tengahnya terdapat perbukitan yang indah. Sejauh mata memandang, semua berlukiskan hamparan perbukitan.
Kembali berjalanan menuju batu yang dinamakan dengan batu lawang,  semua sudah bersiap lebih semangat terlebih lagi “Indonesia memanggil” menjadi lagu yang paling nge-hits selama perjalanan, dan ini serasa sedang membuat vidioclip saja.

Dan perjuangan yang tidak mudah menggunakan rok menaiki batu yang besarnya melebihi tubuh, belum lagi ada yang takut ketinggian. Tapi atas kuasanya, dan tra la..la…la kami mampu “metis” mangga di atasnya, dan ritual yang tidak bisa ditinggalkan dan menguat dalam diri yaitu beropoto ria. Sungguh bersyukur untuk 1 muharaam ini. Harus bersyukur walaupun tidak menjumpai senja, dan belum dapat menikmati indahnya laut secara jelas.

Ya, dari atas batu lawang ini keelokan Cilegon bisa terasakan. “Ini baru Cilegon udah cakep! Gimana semeru, papandayan, raja ampat. Alamak Indonesia benar-benar cakep!” tidak lama memang berada di batu, karena ada alarm yang selalu mengingatkan yaitu siapa lagi kalau bukan teh Mahfudoh.

Pukul 17.30 waktu kita berpisah dengan si batu lawang. Satu harapan bisa kesana kembali lagi dengan jalur yang berbeda,  jalur yang konon lebih indah dan menantang, jalur melalui bopar kata tourguide.

Sesampainya di tempat warga kami langsung menunaikan solat magrib, dan bersiap diri menuju FT. Selama perjalanan menuju rumah warga ada satu keunikan dan bertambah kagum sama teh Mahfudoh dia punya trik jitu, dan saya akan mengcopy paste triknya.

“Oiii yang paling terakhir teraktir baso!”
“Woyy, yang paling depan teraktir es krim!”

Sekelibat yang jalan paling terakhir langsung pasang gigi 3 ngebut lari, yang depan siap rem pakem. Sungguh unforgatable  bersama ke empat bidadari tak bersayap, dan para sahabat yang saya bawa dari Serang.
Next Trip? Kemana lagi. Itu yang kami tunggu.

Sepenggal obrolan dalam perjalanan…
“Kenapa mesti naik gunung?”

“ Lelah, letih, pegal-pegal memang, tapi darisana kita benar-benar menguji kesabaran. Menahan emosi, mengontrol diri, menampar diri bahwa diri ini kecil. Kembali untuk merendah dan meninggikan nama-Nya.”

Dan pada luapan 26 huruf ini bermuara akan sadarnya cinta yang sudah ditaruh jauh-jauh hari dari Nya, tanpa bisa menerka siapa yang kau sebut dalam doa, hingga pada detik kemarin 1 muharam membuktikan bahwa di segala sudut waktu, dan insan selalu ada cinta dengan tulus. Kembali, dan tidak akan pernah bosan “Jazakmullah..” untuk para bidadari tak bersayap.

di suatu jalan, entah apa namanya.  Kita adalah  CISERES (Cilegon serang lovers hehe ngaco)

aku, kamu, mereka kini adalah kita :) 

Dimulai menulis tanggal 6 Nov di SDN 2I Serang di selesaikan di sudut ruang kamar tercinta pada 7 November 2013 dalam penuh kerinduan untuk bermesraan lagi dengan alamnya.
11.35 WIB
Alunan souhar-



5 komentar:

  1. boleh saling mengunjungi, ini blog mah yg terbaru.hehe...,
    -Mahfudoh-

    BalasHapus
  2. foto-fotonya seru...

    salam kenal:)

    BalasHapus
  3. gimanapun kondisisnya jalan2 kesana tetep seruu..
    Batu di batu lawang,

    BalasHapus
  4. Ye yeee, indah bang batu lawang ntu. Salam! :D

    BalasHapus

Anis Sofia © 2016