Selasa
sore ini adalah sungguh bersejarah. Bermula mendapatkan sms dari seorang yang
sangat menjadi panutan. Melangkahkan kaki menuju SD Al-Izzah. Lokasi memang
yang lumayan jauh, dan jarang sekali menemukan kendaraan umum yang langsung
kesana. Berbekal ukhuwah perjalanan menjadi terasa indah. Hasil tawar menawar
pun menjadikan sang bapak sopir dengan baik hatinya, mengiyakan untuk membayar
ongkos Rp.4.000,-
Tiba
di gedung hijau, acara dimulai setelah berjamaa’ah solat ashar. Jarum jam
menunjukan 16.00. Berbinar mata seketika ruangan mesjid itu didominasikan oleh
seragam abu-abu, mereka guru-guru yang sangat bersemangat sambil membawa anak. Duduk
manis, menatap ke seisi mesjid. Tepat di depan mataku, terdapat tiga orang pria
sedang menikmati aura empati. Sesal tak berujung hingga tulisan ini diketik,
tidak megetahui nama ketiga pria tersebut. Namun, bisa aku gambarkan seorang
bapak di sebelah kanan sebagai pembawa acara, di tengah adalah seorang narasumber
yang datang dari negeri berbeda, seseorang yang telah menghabiskan masa
waktunya di Mesir, dan seorang bapak yang memekai pakaian serba putih menjadi transletter.
Berlabelkan
mahasiswa di antara para ibu. Menjadikan sasaran aku beserta kawan harus berada
di barisan depan. Aku bersyukur, karena dapat dengan jelas memerhatikan seorang
narasumber yang berwajahkan arab itu menyampaikan pengalamannya di Rabi’ah.
Tidak
ingin sekalipun tertinggal setiap kata yang di sampaikan mereka. Maka kelima
pancra indera, sigap untuk merekamnya, mengikatnya dalam tulisan. Di Media,
banyak dikatakan bahwa permasalahan tersebut adalah perang saudara. Sesungguhnya
perang ini memang terjadi di beberapa Negara. Itu adalah suatu usaha yang
mencoba melemahkan islam. Narasumber menyampaikan bahwa kristenisasi dimulai
pada era 40 tahunan.
Pada
tahun tersebut, di Indonesua merupakan penjajahan setelah kemerdekaan. Bagaimana
Indonesia telah dijajah secara fisik, ketika merdeka maka dilakukanlah
penjajahan secara halus, bergerak tapi kita tidak bisa menyadiranya. Permasalahan
yang dibuat adalah menjadikan kaum islam terpecah belah dengan adanya “boneka”
di setiap negeri yang mayoritas beragama islam.
Mengapa
bisa terjadi hal itu? Penyebabnya adalah pada media. Saya setuju dengan kepala
departeman Media LDK Baabussalam 2011 kak Arif, kalau Media adalah garda
terdepan dalam dakwah. Media di Mesir selalu menayangkan memutar balikkan fakta
akan kepemimpinan Mursi. Konspirasi besar-besaran terjadi di Mesir. Konspirasi
tersebut anatara lain mematikan listrik, membuat kekacauan, menyebarkan pemahaman
yang salah.
Bagaimana Menghadapinya?
Sesuai
yang disampaikan oleh narasumber yang memiliki tatapan api kebersemangatan itu
adalah pertama kita tidak dapat melawan secara fisik, dengan mengadu kekuatan
hingga bermain darah. Tidak dibenarkan. Mengapa? Karena sesama muslim. Maka yang
dilakukan oleh para pendukung Mursi adalah dengan demo, solat berjamaah,
bertakwa kepada Allah, dan tentu aksi damai. Lagi, banyak media yang “bermain”
mengatakan bahwa para pendukung Mursi adalah teroris.
Pembantaian,
bertumpah darah memenuhi daratan Mesir. Bagi para tentara yang masih memiliki hati
tentunya ini menjadi suatu “tekanan batin”. Bagaiamana tidak? Tiap hari mereka
bertugas membantai masyarakat yang mendukung Mursi.
Kejadian
yang sungguh mencabik hati. Ketika seorang terntara bertanya kepada ulama Mesir
“Saya gundah gulana. Saya pembunuh. Saya telah membunuh banyak orang!”
Ulama
malah berkata “Tidak. Kamu sungguh hebat, kamu pahlawan!
Sungguh
mengejutkan menyimak penyampaian transletter
ketika tentara di Mesir dicuci otak
oleh para ulama yang “kebelinger”. Tidak hanya itu media yang menyatakan bahwa
Rab’ah adalah gudang senjata itu salah besar, sesuai ucapan sang narasumber “Beberapa
hari di sana tidak ada senjata, pistol bahkan pisau. Tidak ada senjata satupun.
Itu adalah tuduhan! Bualan!”
Ketika
terjadi demonstrasi antara para polisi dan masyarakat pendukung Mursi. Lagi,
media tidak bosanya memainkan fakta. Para polisi begitu gagahnya membawa
senjata, sedangkan Ikhawanul Muslimin yang merupakan pendukung Mursi masih
tetap teguh untuk tidak menggunakan senjata. Tentunya dalam demontrasi tidak
terlepas dari dorong-dorongan, maka ada kejadian yang membuat senjata itu
terbawa oleh Ikhwanul. Maka, media memainkannya disana mengatakan bahwa mereka
adalah aksi yang anarkis.
“Saya
adalah orang yang memiliki hati kasar. Saya tidak mudah meneteskan air mata. Tapi,
ketika beberapa hari disana entah mengapa saya menangis. Saya sadar, saya menangis
karena doa-doa mereka yang tidak berhenti”
Pasti
ada yang berfikiran, mengapa Allah begitu kejam membiarkan orang dzalim Berjaya?
“Salah besar kalau kita berfikiran demikan, masalah tersebut menunjukkan bahwa
betapa Allah sangat begitu sayang kepada masyarakat Mesir” ucap narasumber
tersebut.
Apa yang terjadi saat ini?
Mereka
yang terdiri dari nasrani bermula setuju untuk mengkudeta Mursi. Dan kini,
mereka menjadi kekuatan bagi Ikhawanul karena setelah selama ini menyaksikan
kekejaman terhadap pendukung Mursi, kini mereka menjadikan dirinya sebagai pendukung
Mursi. Allahu akbar!
Sang
narasumber dengan pakaian khas arabnya itu menyampaikan bahwa doa, meminta ampunan, berempati kepada
saudara dan jihad yang paling ampuh, jihad yang paling hebat menurutnya adalah dengan menggunakan media: facebook, twetter, blog dll.
“KEMENANGAN ITU DIMULAI DARI KITA.
Aqidah, fikrah kita benar sehingga umat islam menjadi kuat. Inilah kemenangan
yang sesungguhnya ketika syariat-syariat islam ada di dalam dada”
“KEMENANGAN HAKIKI! Antum Indonesia!
Islam terbesar di dunia. Kalau Indonesia kuat, kita pasti menang. Bagaimana islam
akan menang, jika solat subuh tidak berjamaah? Bagaimana islam akan menang,
jika mesjid kosong? Ini adalah tanggung jawab antum semua!”
Ucap
sang narasumber dengan kepalan tangannya, semangat yang bergemuruh menutup hasil
pengalamannya di Rab’iah.
Selasa, 16 September 2013
23.01 WIB dalam deretan lemari plastik dan risau yang mengusik :D
Waah ada bahasa vicky-nya ini.. "tatapan api kebersemangatan" :D
BalasHapus