Selasa, 23 Januari 2018


2015 aku lulus dari strata satu jurusan yang awal mula aku tak minat sama sekali, tapi bertambah hari, bertambah pula rasa penasaran dan aku jatuh cinta. Maka, tidak heran dari semester lima aku selalu bermanja menatap layar monitor mencari informasi mengenai guru pedalaman, baik artikel, lembaga yang mengadakan program, dan video guru-guru di perbatasan negeri. Tidak ada niat yang mulia: berkontribusi untuk negeri, meretas disparitas pendidikan, mengabdikan diri, meratakan pendidikan, turut menyelesaikan kesenjangan pendidikan. Jauh! Jadi salah kalau banyak orang berpikiran seperti itu. Hanya satu yang membuatku tergila-gila pada ‘pelosok’
yaitu TANTANGAN.
2015, aku yang lulus telat satu semester tidak membuatku minder untuk mencari dan mengikuti berbagai macam seleksi, hingga SM3T menjadi pelabuhan terakhirku. Aku lolos berkas dari puluhan ribu yang mendaftar, aku lolos tes kemampuan dari sisa penyisihan yang lolos berkas, tes wawancara, bakat dan kemampuan, tes prakondisi di asrama militer, dan aku resmi lolos menjadi satu di antara ribuan mahasiswa sarjana pendidikan untuk berpetualang di ujung perbatasan Indonesia. Bukan sebab doa yang  aku lantunkan, tapi ada wajah yang diam-diam tanpa diminta merapal namaku dalam doa, menengadahkan tangan memohon yang terbaik, siapa lagi kalau bukan doa tulus dari ibu dan bapak, dan mungkin ditambah dari para sahabat atau pengagum rahasaia (sok iya).

2015, setelah tubuhku sakit dipeluk erat, dilepas dengan wajah haru lagi bangga, pipiku yang basah akibat buliran harus yang jatuh dari sepasang mata kedua orangtua, dan rasa gatal bekas ciuman bapak, di sanalah aku tidak menyangka seorang prajurit gagah berpangkat kapten bisa menangis dan coba ikhlas melepasku di pergolakan bathinya. Bapak yang sudah tiga tahun di Timor-timor pasti sudah paham betul bagaimana kondisi daerah perbatasan dan pelosok, mungkin itulah rasa khwatir yang mendera. 

Tapi  hormatku untuk sepasang manusia yang mesra, mereka adalah orangtua yang begitu sangat bijaksananya melepas anaknya yang bergairah bertualang, padahal begitu banyak nyir-nyiran yang berdatangan  “Kok tega sih bu gadisnya diizinin gitu” .
“Kok kamu tegas Nis, ibu sakit gitu kamu tingal jauh! Kasihanlah, anak macam apa?” perkataan dari beberapa orang yang perhataian membuatku urung untuk melangkah pergi. Tapi apa yang terjadi? Ibu sangat sejuknya meyakinkanku bahwa ibu akan baik-baik saja, karena ada lelaki yang terus menjaga dan Allah sebaik-baiknya penjaga.

2016, tidak terasa satu tahun aku berada di pelosok, terbentang jarak berjuta kilometer, tidak bisa berkomunikasi karena tiadanya sinyal. Tapi, aku tidak pernah menyesal, begitu banyak kisah yang akan kubagikan untuk anak-anak dan cucuku nanti. Semua terasa cepat dan baik-baik saja, kekhwatiran banyak orang tidak ada yang terjadi satupun. Inilah berkat doa-doa orang yang tulus.
2017 aku tinggal bersama calon-calon guru muda lintas nasional, banyak  Agam Aceh yang manis, Uda-Uni yang tegas, Teteh-Aa yang halus, Nang-nang Medan yang suaranya menggelegar, Mbak-Mas  yang ayu dan lembut, Pace-Mace Timur yang Ambon manise. Ratusan kepala lintas budaya dan agama menghuni di atap Rusunawa Kampus B, Rawamangun, Jakarta Timur. Begitu banyak keseruan yang terjadi selama menjadi mahasiswa PPG (Pendidikan Profesi Guru). Banyak kisah yang dibagi: cinta lama yang menikah, teman baik yang bekerja. Banyak kisah yang terjadi: cinta lokal asrama, hantu yang hilir mudik, bapak asrama yang digemari juga disegani, tidak kebagian jatah makanan, pusingnya rentetan tugas dan ujian. 

Hingga bulan ini adalah bulan penentu, UKMPPG. Adalah final ujian dari berbagai banyaknya ujian sebagai salah satu syarat kelulusan. Hari-hari yang dipenuhi kelompok-kelompok belajar kecil di setiap lantainya, berebutan ruangan ac yang untuk dipakai tempat belajar, doa-doa panjang yang dilantukan untuk kelulusan bersama setiap malam jumat. Sensasi SMP dan SMA berulang kembali, banyak orang yang menganggapnya mudah, padahal sama sekali tidak! Jika kalau gagal  dalam ujian penentu kelulusan, begitu banyak hal yang sudah dikorbankan selama tiga tahun ini. Maka tidak heran begitu mahasiswa PPG yang tampak seperti zombie karena memaksakan diri untuk terus belajar, tidak salah karena rasa takut, cemas yang terus mendera. Begitupun aku yang otaknya sangat lemah untuk menghayati soal matematika, menganalisis permasalahan kewrganegaraan, dan banyak materi yang sulit aku kuasai. Maka wajar jika tidur dan makan tidak terasa nikmat.

Satu pesan, yang melunturkan kecemasan dan terbayang akan dirinya. Cuna, seorang murid di Papua sana yang kini sudah lihai memainkan HP, mengirimkan pesan.
 “Terimakasih sinyal telah hadir di Beo! Terimakasih nak, sudah sangat baiknya mencatat nomor ibu!”

 Cuna pemilik marga Waiyai, kini lihai berbahasa Indonesia, dialeg Papuanya di dalam bahasa tulisan sudah berkurang, susunan katanya lembut dan begitu sangat dewasanya bertutur kata. Cuna, yang paling menurut, suka membantu, mengaji dan sering bertanya “Ibu aurat itu apakah e? Ibu, pacaran itu apakah? Sa boleh kah?” ah, Cuna pesan darimu membuka album lama, kisah indah kita bersama.
Tidak lama Cuna mendoakanku agar aku lulus, dan bisa bermain ke sana, dia paham betul dari pesan yang kutuliskan, bahwa aku adalah wanita yang nantinya akan mengikuti suami kemana melangkah. Dia hanya mendoakan agar aku bisa kembali kesana sekedar untuk bertemu dan menyatukan rindu yang sudah ratusan hari dilewati. 

Kini Cuna dan beberapa anak Beo akan ulangan, dia memohon doa kepadaku agar berhasil. Tapi, apakah iya nak, ibu yang sudah kepala dua ini  tentunya memiliki banyak kesalahan dan doa, apakah iya doa ibu untukmu akan menghujam ke langit? Maka, tanpa sepengetahuanmu Nak, ibu posting tulisan ini beserta screenshoot percakapan kita semalam, tidak lain ibu ingin mengenalkanmu pada dunia juga memohon doa untuk keseuksesanmu hingga kamu beserta murid-murid Beo bisa bersekolah lebih tinggi bahkan hingga ke luar negeri.

Cuna, terimakasih untuk doa tulusnya!
-Ibu yang tidak habis merindu
H-1 UKMPPG, 17-11-2017 (ini kok tanggal cantik ya)

0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016