Selasa, 23 Januari 2018


“Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolangan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” (Moh. Natsir, mengutip Dr. G. Nieuwenhius)
Guru? Satu profesi yang tidak pernah aku idam-idamkan sebelumnya. TNI wanita, dokter, penulis, pelukis adalah daftar nama profesi yang aku cita-citakan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Hingga tingkat akhir SMA, ibu dan bapak kompak mengarahkan aku untuk berkuliah di Fakultas Keguruan dengan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Apakah aku mau?
Saat itu untuk kuliah pun enggan. Aku memilih megambil jurusan Sastra Indonesia dalam setiap pilihan tes  masuk perguruan tinggi, tidak lupa aku menyandingkan PGSD sebagai pilihan berikutnya. Walaupun  aku nakal, aku masih takut akan dikutuk karena telah menjadi anak durhaka.

Tuhan, mengamini keinginan kedua orangtua, 2010 aku menjadi mahasiswa PGSD di Untirta Banten. “Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling cocok untuk seorang wanita, Teh! Di mana hari libur, anak kamu nanti libur, dan kamu juga tentunya libur, belum lagi pagi sampai siang kamu di sekolah. Setelah itu kamu bisa mengurusi suamimu nanti” kurang lebih itu yang diucapkan oleh bapak dan ibu tujuh tahun yang lalu. Lulusan SMA dinasehati seperti itu? Aku tak paham!
Hingga seperempat abad menghampiri diriku, aku setuju dengan perkataan mereka.  Tidak ada yang lebih membahagiakan dari seorang wanita selain melihat tumbuh kembang anaknya sendiri. Usia emas seorang anak tentunya tidak akan pernah terulang bukan?
 
Aku profesional?
 
Tujuh tahun bukanlah waktu yang tepat jika dikatakan bahwa aku sudah ahli dalam dunia pendidikan. Wong buat RPP, silabus, mengajar diawasi dosen dan guru pamong saja aku masih keringat dingin. Dan aku tidak cukup dikatakan profesional karena pernah mengajar satu tahun di pedalaman Papua. Atau aku yang kini sedang mengikuti kuliah PPG (Profesi Pendidikan Guru) yang nantinya akan memiliki gelar baru: Gr, yaitu kepanjangan dari ‘Guru Profesional’ dan memiliki ijazah yang dijadikan SIM mengajar, lalu aku sudah layak disebut guru profesional? Jauh! Sungguh jauh rasanya profesional seorang guru, terlalu berharga jika hanya dihargai dengan selembar kertas. Tapi mau tak mau, apalagi yang mampu diperbuat guru-guru saat ini, sudah dituntut dengan segala sistem yang ada, bagiku kebijakan pemerintah kadang tak bijak, ah tapi siapalah aku, hanya bocah ingusan saja yang tengah lari ‘sprint’ menyelesaikan kuliah profesi.
 
Serba Rumit
 
Sungguh salah besar jika banyak menganggap menjadi guru adalah mudah. Tinggal bermodalkan suara lantang dan hobi bicara di depan kelas, tidak seperti itu. Butuh jiwa yang ikhlas, sabar yang tinggi agar ilmu yang disampaikan dapat diterima baik oleh peserta didik. Belum lagi rasa hormat kepada guru yang semakin menurun. Prihatin, ketika pertama kali kakiku menginjakkan kaki di SDN Jati 03, aku sudah diwanti-wanti untuk bisa bersikap baik, tidak boleh memarahi peserta didik sedikitpun. Sedikit salah bersikap, menegur, atau marah kecil, urusannya bisa panjang. Bukannya anak kapok lalu menyesali perbuatannya, malahan guru yang keesokan harinya dituntut oleh orang tua siswa, menyedihkan bukan? Aku percaya jika ada tindakan seorang guru marah dengan wajar itu tidak lain adalah bentuk rasa cintanya yang tertinggi kepada peserta didik agar tidak melakukan kesalahan. Selagi tidak bermain tangan, tidak menggunakan bahasa yang kasar, cukup tegas tapi santun itu masih bisa bukan?
 
Pemerintah mencanangkan sambil memulai secara perlahan, bahwa guru harus menempuh kuliah PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kuliah yang ditempuh selama satu tahun, tinggal di asrama membuat sulit untuk guru senior, karena harus melepas peserta didiknya, meninggalkan keluarganya. Tidak mudah juga untuk sarjana muda, di mana harus bersabar menunda pernikahan, jauh  dari gebetan bahkan ketinggalan jalan-jalan bersama kawan seperjuangan. Atau memang pikiranku harus diluruskan bahwa sebuah keberhasilan butuh banyak pengorbanan  dan kesabaran?
 
Apakah menjamin selembar profesional dari selembar kertas? Yang aku khwatirkan jika selembar kertas  yang bertuliskan Gr, malah membuat lalai, tidak bersemangat mengajar, malas-malasan, memakan gaji seenaknya dengan meninggalkan peserta didik dengan setumpuk tugas? Kalau seperti itu, profesional layaknya diberikan untuk mereka para guru yang mengajar di pelosok dengan gaji yang turun rapelan. Jadi, apakah mampu ijazah menjamin lulusnya keiikhlasan dalam menyampaikan ilmu? Ketika ijazah itu diterima berarti semakin banyak tanggung jawab yang diemban, semakin banyak timbangan dan pertanyaan di hadapan-Nya kelak, bukan begitu?
Judulnya, aku bosan. Apa yang dibosankan?

Aku cukup sangat bosan, jika banyak orang memandang rendah guru. Bosan, jika banyak peserta didik yang tidak menghormati gurunya. Bosan, jika ada guru yang meninggalkan peserta didiknya begitu saja padahal sudah bersertifikasi. Bosan, jika guru dihakimi karena mendisiplinkan peserta didiknya. Bosan, kepada pemeirntah yang belum merangkul guru honorer/pelosok yang dapurnya jarang mengepul karena menunggu rapelan gaji.
Saat ini, aku bosan. Bosan pertemuan selalu disandingkan dengan perpisahan. Ah, memang sudah takdirnya begitu. Aku pasti akan merindunka tatapan polos Keysa, peserta didik kelas IV A
“ Ibu Ujiannya bagaimana?”
“Ibu tadi aku tegang, karena aku takut kalau ibu nggak lulus dari UNJ”
 “Pas istirahat, tadi Tristan seperti ini, Tuhan Yesus semoga Ibu Anis lulus ujiannya” gadis mungil itu menunjukkan bagaimana Tristan berdoa.
“Aku pun juga ikut berdoa Bu: Ya, Allah semoga ibu Anis lulus”
Wajahnya penuh kecemasan, aku melihatnya dari kedua bola matanya yang berbicara. Ada harapan darinya untuk aku selalu bisa duduk manis mendengarkan ceritanya, dan bibirku pun kelu tak sanggup harus berkata jika pekan depan untuk semantara waktu kita akan berpisah, karena PPL sudah selesai.

Ya, aku bosan mendapatkan pertemuan lalu berpisah dengan anak-anak seragam merah putih yang polos. Terlebih aku tidak menyangka menjumpai banyak anak manis di kota metropolitan.

Rusunawa, 24 Oktober 2017
Dalam lari Sprint menuju garis finish

2 komentar:

  1. Jadi guru itu bisa di mana saja Mbak. Bahkan di dekat rumah sekalipun. Senggaknya jadi guru ngaji. Atau yg paling dekat dalam hidup kita, guru untuk keluarga kita sendiri. Terutama anak2.

    Tiba2 aja pengen baca lebih lanjut saat baca "guru" di pembuka. Karena saya juga guru.

    BalasHapus

Anis Sofia © 2016