Minggu, 13 April 2014




Sejak kapan aku mulai pandai berseluncur di dunia maya, ber say hello, hai! di facebook, twitter, bercurcol ria di blog, tumblr?  Ah jika mengingat masa SMA bisa terhitung hanya tiga kali berhadapan dengan komputer, itupun menyentuhnya tidak sama sekali. Masa-masa memasuki dunia mahasiswa, masih kaku bermain jari, membuat huruf kapital di layar komputer saja tidak tahu, ctrl+c saja nama yang asing, memasukan flashdisk, dan mengeluarkannya saja setengah mati tak tahu caranya. Bahkan apakah itu flashdisk? Sunguh sangat kampungan sekali!

Tapi kini sahabatku, saudaraku, hingga aku menganggap mereka adalah kakaku, keluargaku dipertemukannya di dunia maya. Dunia yang kebenaran dan kebohongan tak bisa dipisahkan, tidak seperti perpaduan minyak dan air yang terlihat jelas perbedaannya. Di dunia maya semua bisa berlaga manis, bisa jadi aslinya pahit, bisa berlaku judes padahal aslinya ramahnya tidak tertahankan. Semua bisa saja di dunia maya. Maka haruskah berterimakasih akan dunia maya ini?

Dunia maya adalah perantara yang membuat kita bersama. Pada watak yang berbeda, apalagi tampilan. Tak  pernah ku mengira, prosesi meminjam carier, buku bumi manusia bisa menjadi seakrab ini, padahal jarak tempat studi kita berjarak berpuluh-puluh kilometer. Pun tak pernah bermimpi ada sesosok wanita yang (konon) terkadang dia berubah menjadi pria dan memuji ku di pesan FB ketika dia mengadd dan menjurus berkenalan, nama miliku indah katanya. Apakah indah? Sering sekali orang menganggapku sebagai sales kosmetik wardah, atau sales tas sophie martin. Dan dia tiba-tiba hadir dan berkata “Nama yang lembut!”
Rabu, 2 April 2014 adalah hari bersejarah untuk seorang gadis yang bermasalah dalam perizinan mendaki. Tapi berhasil izin ke ketua pelaksana, ketua umum untuk bisa pergi 12 jam dari kegiatan Dauroh Marhalah Tsani. Tidak ada hal yang paling membahagiakan bisa bersama, berkopi darat untuk pertama kalinya, ah apapun namanya istilah suatu pertemuan anak manusia adalah suatu kebahagian yang tidak bisa dibeli oleh rupiah untuk menggantikannya.

Salah kostum tepatnya, begitu anggunya menggunakan batik ungu dengan jilbab hitam dihiasi kerudung ungu pinggirannya. Harusnya bertemu dengan anak-anak pendaki menggunakan kaos, sandal gunung, bertampil seperti seorang pendaki bukan seperti pagar ayu! Maka,  siap-siap bermuka tebal, tak mungkin bukan dalam waktu singkat pembukaan acara Dauroh Marhalah Tsani bisa berubah kostum seperti superman dengan sigap? Setelah lounching buku dengan mengenakan batik (tuntutan acara DM2) akupun harus sangat cuek salah kostum untuk menjamu tamu dari Pekalongan. Setibanya di halte kampus saya mencari sosok perempuan dengan namanya yang sangat jantan ‘Ridho’. Saya jadi ingat ketika melaksanakan tugas story telling di kelas 6 SD meminta izin kepada wali kelas 6 SDN Penancangan 1 dan wali kelas tersebut bernama pak Ridho

Entahlah HP nokia 200 hitam ini yang bermasalah? Sejak tadi mengabari anak-anak manusia itu tapi tidak ada balasan. Hinggaa…

“Anisssss!”

“Ridhooooo!”

Sebuah potongan episode, pelukan hangat saling berbalasan. Indah! Tak terlupakan. Begitu sangat manis dirinya menggunakan rok dan jilbab pink fanta. Anggun tapi tetap enerjik. Dan kemudian ber say sebuah kalimat perjumpaan, assalamu’alaikum, menanyakan kabar kepada dua jejaka, yang satu tak asing, dan seorang lagi adalah penjaganya Ridho, mas Mudhore.

Primajasa, membawa empat anak manusia yang berlatar berbeda tersatukan di dalamnya. Berbalas cerita, kabar, kesibukan hingga menanyakan bagaimana bisa dia si pink berhasil mendapatkan izin ke gunung sumbing, sindoro, untuk seorang Anis saja pergi ke gunung anak Krakatau harus diam-diam walau akhirnya ketahuan, tapi ada rasa ketaatan setelah menjama tempat itu. Oh iya kenapa dia, gadis pekalongan itu bisa mendaki? Aku tahu jawabannya selama perjalanan yang membawa empat anak manusia ini ke kota baja. Sedangkan kedua jejaka itu? Ah entahlah, apa yang sedang yang mereka bicarakan, kosa kata bahasa Jawa belum memenuhi otaku, jadi wajar aku tidak dapat mengartikan setiap kata-kata yang keluar dai mulut mereka. 

Setibanya di kampus ber-otak kanan. Aku dan si pink melangkahkan kaki menuju mesjid. Kini seorang anak Serang menjadi guide di kampus ini. Dan sesosok kuning-kuning sudah berada di sudut parkiran, maka aku menjadi saksi pertemuan dua mahluk itu. Bisa memahami apa yang mereka rasakan dari raut wajah, lekungan senyum dan salam yang erat. Bahagia!

Ada yang mengganjal usai solat ashar dan si pink membuka jaket hitamnya, ‘saya kenal kaos itu’ dan sayapun menangkap apa yang dirasakan dan pikirkan oleh anak Brebes, tatapan kita sempat bertemu dan seolah saling berkata ‘kamu tahu apa yg saya rasakan? Itu kaos kayanya punya si anu ya?’ ‘iya..’ . Dan benar saja setelah perjalanan panjang pemilik kaos merasakan ke-galauan, di depan saya coba menenangkan sahabat yang satu ini. Tapi, di hati terkekeh-kekeh karena bisa memergokinya berekpresi galau. Hahaha.

Di gerbang depan, kembali memiliki kawan baru, persamaan kita adalah sama-sama besar (berat sebenarnya mengetik ini, tapi adanya memang seperti itu. Heu heu..) Empat motor semua tancap gas, delapan roda yang berbeda itu membawa delapan anak manusia yang berbeda menuju satu tempat yang sama, pantai Anyer. Di sini rasa ingin bisa mengendarai motor semakin menjadi-jadi, bagaimana dengan lincahnya mbak wong Brebes  yang mungil ini memboncengi saya yang besar di jalanan bersama vario miliknya.

“Apa yang dikejar?”

“Sunset..”

Sunset di pesisir bagiku sudah tidak asing. Sering malah, sunset di pantai Anyer, di Pelabuhan Ratu, pantai Carita, Sawarna, pulau Sabesi, pulau Sabeku, dan pulau Umang-umang, di dermaga Canti Lampung aku pernah menemukan sunset di sana. Satu hal belum pernah aku menikmati senja yang merona dari sunset di puncak gunung. Semoga ada takdir yang membawaku untuk menikmati bola api yang turun dari atas puncak gunung, dan semburat cahanya terkena di wajahku, semoga. 

Selalu ada pelajaran dalam perjalanan..
Dengan orang yang sama di tempat yang sebelumnya pernah dikunjungi, atau dengan orang yang sama di tempat yang berbeda, atau orang yang berbeda di tempat yang berbeda. Apapun posisinya tidak akan pernah mengalami pengalaman yang sama setiap episodenya, ada saja hal yang berbeda. Begitupun dengan perjalanan ini, perjalanan sore di hari rabu. 

Bagaimana setibanya matahari yang begitu hangat dan senja yang merona sudah menyambut, walau agak pilu melihat seorang dalam bahasa Inggrisnya leader dia terjatuh dari motor. Tapi tak menghambat dirinya dan kawan-kawan lain untuk bereksis ria di pesisir pantai, begitupun dengan ketiga gadis manis ini. Ketiga gadis yang berkompak menggunakan rok dengan warna yang bervariatif pink, hitam, dan biru dengan malu-malunya bergaya di lensa kamera (sebenarnya aku sih orang yang nggak nahan di depan kamera, karena mbak Brebes yang malu-malu saya jadi ikut-ikutan heu heu) dan ternyata jepretan selanjutnya merasa ketagihan dan tak puas untuk ceria di depan kamera. ‘yaaaaaaah…..’ gerutu yang didapatkan   ketika sudah satu rasa untuk bernarsis ria, tetapi hari mulai gelap. 

Gemuruh ombak yang saling berbalap-balapan, angin kencang yang tak bosannya membuat jilbab seperti bendera, berkibaran, pepohonanpun tak bisa diam menahan angin itu. Semua bersatu menjadi instrument syahdu menemani anak-anak manusia untuk bertemu sang Penggenggam jiwanya. Langka bukan bisa solat berjamaah, membaca al matsurat kubro dengan berlatar alam?

Mendirikan  tenda, memasak di tungku buatan, menyalakan api unggun terakhir kalinya ketika menjadi peserta JC 1 di Cinangka. Kembali lagi dari mereka saya belajar bagaimana memasang gas di kompor yang mungil, memerhatikan lincahnya Gaint membolak-balikan si ayam yang kekuningan, mas Mudhore yang menanak nasi, Ridho yang memotong bumbu sambeuleun yang nanti dipadukan dengan kecap, si Kesatria baja hitam yang (lupa dah dia ama si Leader saat itu lagi apa ya?  Mereka saling pindah profesi jadi hilap pisan, terakhir ingatnya Leader menggantikan posisi mas Will dan pria kesatria baja hitam sedang menggoreng sosis dibantu aku :D ) 

Terlintas dalam pikiran, apakah aku berhasil menjamu tamu dengan baik? Pada nyatanya mereka sudah menyiapkan makanan segala macamnya, belum lagi aku dengan mbak Brebes ini hanya berkomentar sambil memerhatikan mereka dengan segala macam bentuk posisinya. Wah prok prok, kagum pada kalian hai jejaka ternyata bisa masak juga!  Dan deburan ombak semakin kencang, menambah keseruan ini tapi ada saja pikiran di otakku ini ‘bagaimana rasanya di atas puncak?’ 

Kegalauan kembali datang ketika makan malam selesai. Mbak dengan berpakaian kuning ini sudah siap-siap saja untuk berpamitan, sedangkan aku seorang panitia DM 2 masih ada di sini?

“Sekarang dah jam 9, sampai Cilegon jam 11 malam. Percuma! Nggak ada kendaraan ke Serang jam segitu, lagian lo sendirian nantinya! Bahaya, udah nggak usah!”
“Masa lo tega ninggalain Ridho sendirian di sini? “

Oke, fine. Setiap pilihan ada resikonya, akhirnya kepulangan ditentukan adalah besok paginya. Jikapun ada panggilan ‘cinta’ dan dientegoresi oleh beberapa orang, atau pendapat yang menyudutkan. Siap! Aku siap dengan segala konsekuensinya! Tiada yang berharga dari persaudaraan bukan? Aku menikmati pertemuan ini, anak manusia yang berbeda suku, Sunda-Jawa-Sumatra.

Beberapa menit kemudian mbak Brebes itu diantar oleh kestria baja hitam (dari bawah, sampai atas pakainnya hitam-hitam) tentunya dengan kendaraan motor yang berbeda. Ada rindu sudah tersiapkan tumpah untuk mbak Brebes itu, menghilangnya dia dibawa waktu aku dan Rauf mencoba tegar dengan bertemu dengan-Nya dalam empat rakaat. 

“Ngantuk ya teh?” tanyanya sambil menatap pandaku.
“Hmm, ya lumayan. Padahal masih sore ini, mungkin karena bergadang terus-terusan. Mereka ngapain ya?” sambil melihat  punggung Mas Mudhore dan Gaint yang asik bermain api.
Malam itu di bawah langit yang hanya beratapkan awan mendung bercahayakan api unggun aku semakin banyak belajar. Apa saja yang dilakukan oleh para pendaki.
“Sayang, kalau malam dihabiskan untuk tidur. Pendaki mencari kebersamaan, seperti ini mengobrol” gadis dengan muka Jawanya terus bercerita tentang berbagai pengalamannya di puncak, saat mendaki bersama para empat jejeka itu atau dengan para teamnya yang lain.
Solidaritas seperti taglinennya anak mesin “M Solidarity”, peduli, apa adanya, visioner, bersahabat, ah masih banyak yang dapat yang saya simpulkan dari ucapan-ucapan si gadis Jawa itu.
Hingga pada sekian detik, Ridho pergi ke tepian pantai bersama Mas Mudhore dan Gaint. Dan aku tenggelam dalam obrolan hangat bersama kedua mahluk mesin itu, Leader dan Kesatria baja hitam. Mulai tentang ‘terpojokkannya’ seorang gadis, semerautnya sistem, orang yang bertopeng dua, kegalauan akhir semester, persahabatan, pendakian hingga “Sakiiiiit!” sebuah teriakan keluar dari mulutku, jujur ini sangat memalukan bagaimana ketahuannya aku seorang badan yang besar ini berlaga anak kecil, kecemasan rasa sakit mengena beberapa bagian tubuh, bahkan hingga telapak kaki padahal imengenakan kaos kaki. (Kan jadi ketahuan aslinya heu heu -_-“ ). Semut semut yang sungguh menyeramkan itu membuat onar, memecahkan obrolan yang entah ada di titik mana, dan kedua mahluk itu sibuk menolongku menyingkirkan semut api.  Di sanalah malam itu berakhir, karena Ridhopun sudah memasuki tenda kuning dan menyusulnya. Jujur, dari kaki yang mulai melangkah ke dalam tenda, aku memikirkan nasib para jejeka itu.
“Tenang teh, inilah enaknya menjadi perempuan. Mereka mengalah dan mereka  bisa tidur di mana saja” ucap Ridho.
Adzan subuh memang tak terdengar, tapi kami berhasil untuk bangun tepat waktu menunaikan kewajiban. Terimakasih untuk seseorang yang memanggil-manggil dan membangunkan dua anak perempuan ini, terimakasih!
Putaran waktu begitu sangat cepat, mengumpulkan tujuh anak manusia ini dalam satu lingkaran. Kedua tangan ini sibuk mencabut dom-doman yang menempel  pada rok hitam, Leader ber-ulah sebagai vokalis merangkap drummer, begitupun sama dengan kembaran yang tak serupa Kestria baja hitam memukul mukul alat dan mengeluarkan suaranya, sedangkan Mas Mudhore dan Giant (sibuk bikin kopi bukan? Hehe lupa) dan Ridho menjepret sini-sana. Dan tra la la sun rise hadir! Di puncak gunung dengan backsound ninja hatori, dragon ball, Sheila on 7, shincan, dan lagu-lagu jadul lainnya.  
Puncak Anyer 
Biru langit hampir senada dengan lautnya yang membentang luas. Indah! Tapi tidak mengalahkan peristiwa indahnya bersama kalian. Berbeda itulah alasan kita untuk bersama. Di bebatuan besar ini, Mas Mudhore sang photographer yang suka usil menjepretkan lensa kamera ini menyebutnya dengan puncak Anyer. Banyak latar di sini yang menjadi saksi kebersamaan anak-anak manusia ini, mulai dari sepanjang jalan, pesisir pantai, tenda, lingkaran api unggun hingga kita berada di puncak ini. Banyak hal, banyak cerita yang tertumpah ruah di tempat tinggi itu dan tak lupa bernarsis ria, dan kwaci juga togo menjadi sponsor kebersamaan kita. 
Seharusnya dan seharusnya tidak ada selintas bahasan tentang ‘panggilan’, itu membuat rasa takut, kawatir seketika mengaliri deras aliran darah ini, hingga mencoba memisahkan diri dari ke enam mahluk itu. 
Oh Tuhan, adakah magnet? Ataukah ada parfume bidadari yang melekat di baju abu-abu ini? Seperti iklan di tv yang menghampiri gadis yang memakai perfume, memakai parfume saja tidak, tapi 3 jejaka berhasil membututi hingga mengubah suasana hati. Danke keluarga baru! I felt so happy, there is you are beside me! (tolong dibenarkan ya kawatir salah :D ).  Ombak! Ombak! Menambah keseruan ini tidak peduli kuyup yang terjadi, tapi kita semua menikmati. Sehingga banyak gambar-gambar terekam indah di kamera milik Ridho, dan semua itu hasil Sang Jepret, Mas Mudhore. 


Satu kesamaan, aku dan ketiga jejaka itu adalah kumpulan orang yang bernarsis ria hingga pepohonan bisa merasakan akan kehebohan kami ketika berkali-kali gagal mengatur timer kamera. Kehebohan mengabadikan poto bersama-sama. Tidak sia-sia hasilnya sungguh nice pict! Bahkan Ridhopun menyesal karena tidak ikut bersamaku dan tiga jejaka keren itu.

“Nis, gini cara packing carier, lihat sini!”
Ini salah satu bagian yang aku suka, bagaiamana di traning walau lebih tepatnya melihat sambail ber ‘oo.. oooh’. Semua barang dimasukan mulai makanan frame, bajunya Gaint.
“Gini nih Nis, bongkar tenda!”
Tak lama mataku menjurus kepada leader, kesatria baja hitam, dan Ridho yang sibuk membongkar tenda kuning itu. Ingin rasanya ikut serta, tapi kawatir malah merusak. Jadi tetap menjadi penonton setia mereka sambil membersihkan lokasi camp, sampah-sampah dimasukkan ke kantong plastik tak terpakai.
“#?%&*#@!?” ah ada dua wajah tampan yang sedang dirundung kebingungan ketika melihat aku dengan senyuman manis membuang kecap sebagai pelengkap ayam bakar, aku bersihkan sempurna ke kantong plastik.
“Kenapa?” tanyaku polos.
Mereka tidak menjawab, diam. Mataku mendapatkan mereka sedang melahap ayam bakar, mereka menggenggam erat daging-daging ayam bakar dengan muka datar memandang piring yang mereka cari-cari. Dan piring itu ada di tanganku bersih dari kecap.
“Ah, mas Mudhoreeee, giaaaant! Maaf!”
“Hahahaha…” kompak kami ketawa dan beberapa detik kemudian Mas Mudhore berkomat-kamit dengan bahasa Jawanya. Heuh.
Bermula dari kagalauan ketika di ujung telepon “Iya teh pliss nginep ya!” tapi berujungkan kesyukuran. Bagaiama tidak  bersyukur? Sang Kuasa begitu sangat baiknya menghadirkan kalian. Ridho seorang yang anggung lagi perkasa, Mbak Brebes yang lincah seperti bola bekel, Mas Mudhore yang diam diam tapi hasil jepretanya bagus, sangat bagus! Giant si coll dengan ramahnya ketika mengobrol seputar targetan kita di kampus dan saling menyemangati. Dan guru-guru para tetua pendakian,  Leader dan Ksatria Baja Hitam entah angin apa yang membuat mereka menjadi team sukses dan mengajaku untuk bersama menyambut saudara Jawa. 

Tiada penyesalan, hanya menyisakkan pertanyaan “Kapan kita menyatukan rindu ini?”. Pada kalian adalah banyak sosok yang aku dapatkan. Guru, pendaki, sahabat, keluarga dan semua terhimpun satu dalam nama-nama kalian. Seperti parcel lebaran, satu paket berisikan banyak jenis makanan. 

Tak sekedar sosis panggang buatan Mas Mudhore sosis goreng hasil Ksatria baja hitam, ayam bakar perpaduan kipasan Ksatria dan Giant, nasi putih ciptaan duet Mas Mudhore dan Leader atau kecap ranjau buatan Ridho Bukan perkara perut kenyang, tapi adalah hati senang. Senang menjadi bagian dari pemeran lembaran takdir-Nya untuk saling belajar dalam kebersamaan. Senang ketika banyak ilmu yang didapatkan, satu hal yang aku dapatkan dan tak pernah lupa adalah loyalitas dan saling menjaga. Senang yang semua bermuara pada syukur pada-Nya. 

Tidak terasa hampir 8 lembar episode 2 hari satu malam itu dituliskan di Microsoft word dengan ukuran A4, padahal nulis kajian proposal saja tak semangatnya minta ampun. 
Tulisan ini tidak cukup menggambarkan rasa bahagia, rasa kagumku pada kalian. Karena seindah apapun untaian kata tak mampu menandingi keindahan bersama kalian! Dan aku yakin tulisan ini tidak akan sampai berhenti di sini, masih berlanjut pada perjalanan berikutnya! Aku yakin itu! Dan untuk menyampaikan rasa rindu ini mari merapal nama-nama dalam setiap doa. Bukankah, “ Seorang yang paling dekat denganmu bukanlah dia yang selalu terlihat berada bersama, tapi adalah dia yang paling sering mendoakanmu” ?


Diselesaikan di Serang, 13 April 2014 pukul 16.47 wib, di mulai dari semalam tapi terhambat akan suatu ‘kegaalauan’.
Setia ditemani petikan gitar dari depape pachelbel canon, summer parade, dreams, kazemidori, sky sky sky! Start, hi-d, morning smile.
Dan kemudian hadir enam wajah kalian yang beda rupa, tapi satu hal yang sama itu kunamai R I N D U.
Hai keluarga baruku! Ada nama-namamu dalam setiap rapalan doaku.
SJS (Sunda-Jawa-Sumatra)

                                                                                       




0 komentar:

Posting Komentar

Anis Sofia © 2016