Sejak kapan aku mulai pandai berseluncur di dunia maya, ber say hello, hai! di facebook, twitter,
bercurcol ria di blog, tumblr? Ah jika
mengingat masa SMA bisa terhitung hanya tiga kali berhadapan dengan komputer,
itupun menyentuhnya tidak sama sekali. Masa-masa memasuki dunia mahasiswa,
masih kaku bermain jari, membuat huruf kapital di layar komputer saja tidak
tahu, ctrl+c saja nama yang asing,
memasukan flashdisk, dan
mengeluarkannya saja setengah mati tak tahu caranya. Bahkan apakah itu flashdisk? Sunguh sangat kampungan
sekali!
Tapi kini sahabatku, saudaraku, hingga aku menganggap mereka
adalah kakaku, keluargaku dipertemukannya di dunia maya. Dunia yang kebenaran
dan kebohongan tak bisa dipisahkan, tidak seperti perpaduan minyak dan air yang
terlihat jelas perbedaannya. Di dunia maya semua bisa berlaga manis, bisa jadi
aslinya pahit, bisa berlaku judes padahal aslinya ramahnya tidak tertahankan.
Semua bisa saja di dunia maya. Maka haruskah berterimakasih akan dunia maya
ini?
Dunia maya adalah perantara yang membuat kita bersama. Pada watak
yang berbeda, apalagi tampilan. Tak pernah ku mengira, prosesi meminjam carier, buku bumi manusia bisa menjadi
seakrab ini, padahal jarak tempat studi kita berjarak berpuluh-puluh kilometer.
Pun tak pernah bermimpi ada sesosok wanita yang (konon) terkadang dia berubah
menjadi pria dan memuji ku di pesan FB ketika dia mengadd dan menjurus berkenalan, nama miliku indah katanya. Apakah
indah? Sering sekali orang menganggapku sebagai sales kosmetik wardah, atau sales
tas sophie martin. Dan dia
tiba-tiba hadir dan berkata “Nama yang lembut!”
Rabu, 2 April 2014 adalah hari bersejarah untuk seorang gadis yang
bermasalah dalam perizinan mendaki. Tapi berhasil izin ke ketua pelaksana,
ketua umum untuk bisa pergi 12 jam dari kegiatan Dauroh Marhalah Tsani. Tidak
ada hal yang paling membahagiakan bisa bersama, berkopi darat untuk pertama
kalinya, ah apapun namanya istilah suatu pertemuan anak manusia adalah suatu
kebahagian yang tidak bisa dibeli oleh rupiah untuk menggantikannya.
Salah kostum tepatnya, begitu anggunya menggunakan batik ungu
dengan jilbab hitam dihiasi kerudung ungu pinggirannya. Harusnya bertemu dengan
anak-anak pendaki menggunakan kaos, sandal gunung, bertampil seperti seorang
pendaki bukan seperti pagar ayu! Maka,
siap-siap bermuka tebal, tak mungkin bukan dalam waktu singkat pembukaan
acara Dauroh Marhalah Tsani bisa berubah kostum seperti superman dengan sigap? Setelah lounching
buku dengan mengenakan batik (tuntutan acara DM2) akupun harus sangat cuek
salah kostum untuk menjamu tamu dari Pekalongan. Setibanya di halte kampus saya
mencari sosok perempuan dengan namanya yang sangat jantan ‘Ridho’. Saya jadi
ingat ketika melaksanakan tugas story
telling di kelas 6 SD meminta izin kepada wali kelas 6 SDN Penancangan 1
dan wali kelas tersebut bernama pak Ridho
Entahlah HP nokia 200 hitam ini yang bermasalah? Sejak tadi
mengabari anak-anak manusia itu tapi tidak ada balasan. Hinggaa…
“Anisssss!”
“Ridhooooo!”
Sebuah potongan episode, pelukan hangat saling berbalasan. Indah!
Tak terlupakan. Begitu sangat manis dirinya menggunakan rok dan jilbab pink
fanta. Anggun tapi tetap enerjik. Dan kemudian ber say sebuah kalimat perjumpaan, assalamu’alaikum, menanyakan kabar
kepada dua jejaka, yang satu tak asing, dan seorang lagi adalah penjaganya
Ridho, mas Mudhore.
Primajasa, membawa empat anak manusia yang berlatar berbeda
tersatukan di dalamnya. Berbalas cerita, kabar, kesibukan hingga menanyakan
bagaimana bisa dia si pink berhasil mendapatkan izin ke gunung sumbing,
sindoro, untuk seorang Anis saja pergi ke gunung anak Krakatau harus diam-diam
walau akhirnya ketahuan, tapi ada rasa ketaatan setelah menjama tempat itu. Oh
iya kenapa dia, gadis pekalongan itu bisa mendaki? Aku tahu jawabannya selama
perjalanan yang membawa empat anak manusia ini ke kota baja. Sedangkan kedua jejaka
itu? Ah entahlah, apa yang sedang yang mereka bicarakan, kosa kata bahasa Jawa
belum memenuhi otaku, jadi wajar aku tidak dapat mengartikan setiap kata-kata
yang keluar dai mulut mereka.
Setibanya di kampus ber-otak kanan. Aku dan si pink melangkahkan
kaki menuju mesjid. Kini seorang anak Serang menjadi guide di kampus ini. Dan sesosok kuning-kuning sudah berada di
sudut parkiran, maka aku menjadi saksi pertemuan dua mahluk itu. Bisa memahami
apa yang mereka rasakan dari raut wajah, lekungan senyum dan salam yang erat. Bahagia!
Ada yang mengganjal usai solat ashar dan si pink membuka jaket
hitamnya, ‘saya kenal kaos itu’ dan
sayapun menangkap apa yang dirasakan dan pikirkan oleh anak Brebes, tatapan
kita sempat bertemu dan seolah saling berkata ‘kamu tahu apa yg saya rasakan? Itu kaos kayanya punya si anu ya?’
‘iya..’ . Dan benar saja setelah perjalanan panjang pemilik kaos merasakan
ke-galauan, di depan saya coba menenangkan sahabat yang satu ini. Tapi, di hati
terkekeh-kekeh karena bisa memergokinya berekpresi galau. Hahaha.
Di gerbang depan, kembali memiliki kawan baru, persamaan kita adalah
sama-sama besar (berat sebenarnya mengetik ini, tapi adanya memang seperti itu.
Heu heu..) Empat motor semua tancap gas, delapan roda yang berbeda itu membawa
delapan anak manusia yang berbeda menuju satu tempat yang sama, pantai Anyer. Di
sini rasa ingin bisa mengendarai motor semakin menjadi-jadi, bagaimana dengan
lincahnya mbak wong Brebes yang mungil
ini memboncengi saya yang besar di jalanan bersama vario miliknya.
“Sunset..”
Sunset di pesisir bagiku sudah tidak asing. Sering malah, sunset di pantai Anyer, di Pelabuhan
Ratu, pantai Carita, Sawarna, pulau Sabesi, pulau Sabeku, dan pulau
Umang-umang, di dermaga Canti Lampung aku pernah menemukan sunset di sana. Satu hal belum pernah aku menikmati senja yang
merona dari sunset di puncak gunung. Semoga ada takdir yang membawaku untuk
menikmati bola api yang turun dari atas puncak gunung, dan semburat cahanya
terkena di wajahku, semoga.
Dengan orang yang sama di tempat yang sebelumnya pernah
dikunjungi, atau dengan orang yang sama di tempat yang berbeda, atau orang yang
berbeda di tempat yang berbeda. Apapun posisinya tidak akan pernah mengalami
pengalaman yang sama setiap episodenya, ada saja hal yang berbeda. Begitupun
dengan perjalanan ini, perjalanan sore di hari rabu.
Bagaimana setibanya matahari yang begitu hangat dan senja yang merona sudah menyambut, walau agak pilu melihat seorang dalam bahasa Inggrisnya leader dia terjatuh dari motor. Tapi tak menghambat dirinya dan kawan-kawan lain untuk bereksis ria di pesisir pantai, begitupun dengan ketiga gadis manis ini. Ketiga gadis yang berkompak menggunakan rok dengan warna yang bervariatif pink, hitam, dan biru dengan malu-malunya bergaya di lensa kamera (sebenarnya aku sih orang yang nggak nahan di depan kamera, karena mbak Brebes yang malu-malu saya jadi ikut-ikutan heu heu) dan ternyata jepretan selanjutnya merasa ketagihan dan tak puas untuk ceria di depan kamera. ‘yaaaaaaah…..’ gerutu yang didapatkan ketika sudah satu rasa untuk bernarsis ria, tetapi hari mulai gelap.
Bagaimana setibanya matahari yang begitu hangat dan senja yang merona sudah menyambut, walau agak pilu melihat seorang dalam bahasa Inggrisnya leader dia terjatuh dari motor. Tapi tak menghambat dirinya dan kawan-kawan lain untuk bereksis ria di pesisir pantai, begitupun dengan ketiga gadis manis ini. Ketiga gadis yang berkompak menggunakan rok dengan warna yang bervariatif pink, hitam, dan biru dengan malu-malunya bergaya di lensa kamera (sebenarnya aku sih orang yang nggak nahan di depan kamera, karena mbak Brebes yang malu-malu saya jadi ikut-ikutan heu heu) dan ternyata jepretan selanjutnya merasa ketagihan dan tak puas untuk ceria di depan kamera. ‘yaaaaaaah…..’ gerutu yang didapatkan ketika sudah satu rasa untuk bernarsis ria, tetapi hari mulai gelap.
Gemuruh ombak yang saling berbalap-balapan, angin kencang yang tak
bosannya membuat jilbab seperti bendera, berkibaran, pepohonanpun tak bisa diam
menahan angin itu. Semua bersatu menjadi instrument syahdu menemani anak-anak
manusia untuk bertemu sang Penggenggam jiwanya. Langka bukan bisa solat
berjamaah, membaca al matsurat kubro dengan berlatar alam?
Mendirikan tenda, memasak
di tungku buatan, menyalakan api unggun terakhir kalinya ketika menjadi peserta
JC 1 di Cinangka. Kembali lagi dari mereka saya belajar bagaimana memasang gas di
kompor yang mungil, memerhatikan lincahnya Gaint membolak-balikan si ayam yang
kekuningan, mas Mudhore yang menanak nasi, Ridho yang memotong bumbu sambeuleun yang nanti dipadukan dengan
kecap, si Kesatria baja hitam yang (lupa dah dia ama si Leader saat itu lagi
apa ya? Mereka saling pindah profesi
jadi hilap pisan, terakhir ingatnya Leader menggantikan posisi mas Will dan
pria kesatria baja hitam sedang menggoreng sosis dibantu aku :D )
Terlintas dalam pikiran, apakah aku berhasil menjamu tamu dengan
baik? Pada nyatanya mereka sudah menyiapkan makanan segala macamnya, belum lagi
aku dengan mbak Brebes ini hanya berkomentar sambil memerhatikan mereka dengan segala
macam bentuk posisinya. Wah prok prok, kagum pada kalian hai jejaka ternyata
bisa masak juga! Dan deburan ombak
semakin kencang, menambah keseruan ini tapi ada saja pikiran di otakku ini ‘bagaimana rasanya di atas puncak?’
Kegalauan kembali datang ketika makan malam selesai. Mbak dengan
berpakaian kuning ini sudah siap-siap saja untuk berpamitan, sedangkan aku
seorang panitia DM 2 masih ada di sini?
“Sekarang dah jam 9, sampai Cilegon jam 11 malam. Percuma! Nggak ada kendaraan ke Serang jam segitu, lagian lo sendirian nantinya! Bahaya, udah nggak usah!”
“Masa lo tega ninggalain Ridho sendirian di sini? “
Oke, fine. Setiap pilihan ada resikonya, akhirnya kepulangan ditentukan
adalah besok paginya. Jikapun ada panggilan ‘cinta’ dan dientegoresi oleh
beberapa orang, atau pendapat yang menyudutkan. Siap! Aku siap dengan segala
konsekuensinya! Tiada yang berharga dari persaudaraan bukan? Aku menikmati
pertemuan ini, anak manusia yang berbeda suku, Sunda-Jawa-Sumatra.
Beberapa menit kemudian mbak Brebes itu diantar oleh kestria baja
hitam (dari bawah, sampai atas pakainnya hitam-hitam) tentunya dengan kendaraan
motor yang berbeda. Ada rindu sudah tersiapkan tumpah untuk mbak Brebes itu,
menghilangnya dia dibawa waktu aku dan Rauf mencoba tegar dengan bertemu
dengan-Nya dalam empat rakaat.
“Ngantuk ya teh?” tanyanya sambil menatap pandaku.
“Hmm, ya lumayan. Padahal masih sore ini, mungkin karena bergadang terus-terusan. Mereka ngapain ya?” sambil melihat punggung Mas Mudhore dan Gaint yang asik bermain api.
Malam itu di bawah langit yang hanya beratapkan awan mendung
bercahayakan api unggun aku semakin banyak belajar. Apa saja yang dilakukan
oleh para pendaki.
“Sayang, kalau malam dihabiskan untuk tidur. Pendaki mencari kebersamaan, seperti ini mengobrol” gadis dengan muka Jawanya terus bercerita tentang berbagai pengalamannya di puncak, saat mendaki bersama para empat jejeka itu atau dengan para teamnya yang lain.
Solidaritas seperti taglinennya
anak mesin “M Solidarity”, peduli, apa adanya, visioner, bersahabat, ah masih
banyak yang dapat yang saya simpulkan dari ucapan-ucapan si gadis Jawa
itu.
Hingga pada sekian detik, Ridho pergi ke tepian pantai bersama Mas Mudhore dan Gaint. Dan aku tenggelam dalam obrolan hangat bersama kedua mahluk
mesin itu, Leader dan Kesatria baja hitam. Mulai tentang ‘terpojokkannya’
seorang gadis, semerautnya sistem, orang yang bertopeng dua, kegalauan akhir
semester, persahabatan, pendakian hingga “Sakiiiiit!” sebuah teriakan keluar
dari mulutku, jujur ini sangat memalukan bagaimana ketahuannya aku seorang
badan yang besar ini berlaga anak kecil, kecemasan rasa sakit mengena beberapa
bagian tubuh, bahkan hingga telapak kaki padahal imengenakan kaos kaki. (Kan
jadi ketahuan aslinya heu heu -_-“ ). Semut semut yang sungguh menyeramkan itu
membuat onar, memecahkan obrolan yang entah ada di titik mana, dan kedua mahluk
itu sibuk menolongku menyingkirkan semut api. Di sanalah malam itu berakhir, karena Ridhopun
sudah memasuki tenda kuning dan menyusulnya. Jujur, dari kaki yang mulai
melangkah ke dalam tenda, aku memikirkan nasib para jejeka itu.
“Tenang teh, inilah enaknya menjadi perempuan. Mereka mengalah dan mereka bisa tidur di mana saja” ucap Ridho.
Adzan subuh memang tak terdengar, tapi kami berhasil untuk bangun
tepat waktu menunaikan kewajiban. Terimakasih untuk seseorang yang
memanggil-manggil dan membangunkan dua anak perempuan ini, terimakasih!
Putaran waktu begitu sangat cepat, mengumpulkan tujuh anak manusia
ini dalam satu lingkaran. Kedua tangan ini sibuk mencabut dom-doman yang menempel pada
rok hitam, Leader ber-ulah sebagai vokalis merangkap drummer, begitupun sama
dengan kembaran yang tak serupa Kestria baja hitam memukul mukul alat dan
mengeluarkan suaranya, sedangkan Mas Mudhore dan Giant (sibuk bikin kopi bukan?
Hehe lupa) dan Ridho menjepret sini-sana. Dan tra la la sun rise hadir! Di
puncak gunung dengan backsound ninja
hatori, dragon ball, Sheila on 7, shincan, dan lagu-lagu jadul lainnya.
Biru langit hampir senada dengan lautnya yang membentang luas.
Indah! Tapi tidak mengalahkan peristiwa indahnya bersama kalian. Berbeda itulah
alasan kita untuk bersama. Di bebatuan besar ini, Mas Mudhore sang photographer yang suka usil menjepretkan
lensa kamera ini menyebutnya dengan puncak Anyer. Banyak latar di sini yang
menjadi saksi kebersamaan anak-anak manusia ini, mulai dari sepanjang jalan,
pesisir pantai, tenda, lingkaran api unggun hingga kita berada di puncak ini.
Banyak hal, banyak cerita yang tertumpah ruah di tempat tinggi itu dan tak lupa
bernarsis ria, dan kwaci juga togo menjadi sponsor
kebersamaan kita.
Seharusnya dan seharusnya tidak ada selintas bahasan tentang
‘panggilan’, itu membuat rasa takut, kawatir seketika mengaliri deras aliran
darah ini, hingga mencoba memisahkan diri dari ke enam mahluk itu.
Oh Tuhan, adakah magnet? Ataukah ada parfume bidadari yang melekat di baju abu-abu ini? Seperti iklan di
tv yang menghampiri gadis yang memakai perfume,
memakai parfume saja tidak, tapi 3 jejaka berhasil membututi hingga mengubah
suasana hati. Danke keluarga baru! I felt
so happy, there is you are beside me! (tolong dibenarkan ya kawatir salah
:D ). Ombak! Ombak! Menambah keseruan
ini tidak peduli kuyup yang terjadi, tapi kita semua menikmati. Sehingga banyak
gambar-gambar terekam indah di kamera milik Ridho, dan semua itu hasil Sang
Jepret, Mas Mudhore.
Satu kesamaan, aku dan ketiga jejaka itu adalah kumpulan orang yang bernarsis ria hingga pepohonan bisa merasakan akan kehebohan kami ketika berkali-kali gagal mengatur timer kamera. Kehebohan mengabadikan poto bersama-sama. Tidak sia-sia hasilnya sungguh nice pict! Bahkan Ridhopun menyesal karena tidak ikut bersamaku dan tiga jejaka keren itu.
“Nis, gini cara packing carier, lihat sini!”
Ini salah satu bagian yang aku suka, bagaiamana di traning walau lebih tepatnya melihat
sambail ber ‘oo.. oooh’. Semua barang
dimasukan mulai makanan frame, bajunya Gaint.
“Gini nih Nis, bongkar tenda!”
Tak lama mataku menjurus kepada leader, kesatria baja hitam, dan
Ridho yang sibuk membongkar tenda kuning itu. Ingin rasanya ikut serta, tapi
kawatir malah merusak. Jadi tetap menjadi penonton setia mereka sambil
membersihkan lokasi camp, sampah-sampah
dimasukkan ke kantong plastik tak terpakai.
“#?%&*#@!?” ah ada dua wajah tampan yang sedang dirundung kebingungan ketika melihat aku dengan senyuman manis membuang kecap sebagai pelengkap ayam bakar, aku bersihkan sempurna ke kantong plastik.
“Kenapa?” tanyaku polos.
Mereka tidak menjawab, diam. Mataku mendapatkan mereka sedang
melahap ayam bakar, mereka menggenggam erat daging-daging ayam bakar dengan
muka datar memandang piring yang mereka cari-cari. Dan piring itu ada di
tanganku bersih dari kecap.
“Ah, mas Mudhoreeee, giaaaant! Maaf!”
“Hahahaha…” kompak kami ketawa dan beberapa detik kemudian Mas Mudhore berkomat-kamit dengan bahasa Jawanya. Heuh.
Bermula dari kagalauan ketika di ujung telepon “Iya teh pliss
nginep ya!” tapi berujungkan kesyukuran. Bagaiama tidak bersyukur? Sang Kuasa begitu sangat baiknya
menghadirkan kalian. Ridho seorang yang anggung lagi perkasa, Mbak Brebes yang
lincah seperti bola bekel, Mas Mudhore yang diam diam tapi hasil jepretanya bagus,
sangat bagus! Giant si coll dengan
ramahnya ketika mengobrol seputar targetan kita di kampus dan saling
menyemangati. Dan guru-guru para tetua pendakian, Leader dan Ksatria Baja Hitam entah angin apa
yang membuat mereka menjadi team sukses
dan mengajaku untuk bersama menyambut saudara Jawa.
Tiada penyesalan, hanya menyisakkan pertanyaan “Kapan kita menyatukan rindu ini?”. Pada kalian adalah banyak sosok yang aku dapatkan. Guru, pendaki, sahabat, keluarga dan semua terhimpun satu dalam nama-nama kalian. Seperti parcel lebaran, satu paket berisikan banyak jenis makanan.
Tak sekedar sosis panggang buatan Mas Mudhore sosis goreng hasil Ksatria baja hitam, ayam bakar perpaduan kipasan Ksatria dan Giant, nasi putih ciptaan duet Mas Mudhore dan Leader atau kecap ranjau buatan Ridho Bukan perkara perut kenyang, tapi adalah hati senang. Senang menjadi bagian dari pemeran lembaran takdir-Nya untuk saling belajar dalam kebersamaan. Senang ketika banyak ilmu yang didapatkan, satu hal yang aku dapatkan dan tak pernah lupa adalah loyalitas dan saling menjaga. Senang yang semua bermuara pada syukur pada-Nya.
Tidak terasa hampir 8 lembar episode 2 hari satu malam itu dituliskan di Microsoft word dengan ukuran A4, padahal nulis kajian proposal saja tak semangatnya minta ampun.
Tulisan ini tidak cukup menggambarkan rasa bahagia, rasa kagumku
pada kalian. Karena seindah apapun untaian kata tak mampu menandingi keindahan
bersama kalian! Dan aku yakin tulisan ini tidak akan sampai berhenti di sini,
masih berlanjut pada perjalanan berikutnya! Aku yakin itu! Dan untuk
menyampaikan rasa rindu ini mari merapal nama-nama dalam setiap doa. Bukankah,
“ Seorang
yang paling dekat denganmu bukanlah dia yang selalu terlihat berada bersama,
tapi adalah dia yang paling sering mendoakanmu” ?
Diselesaikan di Serang, 13 April 2014 pukul 16.47 wib, di mulai
dari semalam tapi terhambat akan suatu ‘kegaalauan’.
Setia ditemani petikan gitar dari depape pachelbel canon, summer
parade, dreams, kazemidori, sky sky sky! Start, hi-d, morning smile.
Dan kemudian hadir enam wajah kalian yang beda rupa, tapi satu hal
yang sama itu kunamai R I N D U.
Hai keluarga baruku! Ada nama-namamu dalam setiap rapalan doaku.
SJS (Sunda-Jawa-Sumatra)
0 komentar:
Posting Komentar