Kamis, 29 September 2016



dok: pribadi
Di pedalaman Papua Baratlah saya merasa ditampar. Bagaimana anak-anak berebutan buku bacaan, sabar mengantre buku. Bahkan anak-anak yang belum bisa baca, sok-sok an bisa baca dengan ikut-ikutan berebut buku, jika berhasil mendapatkan buku si rambut keriting akan tersenyum puas.

“Ini sa punya buku!” teriaknya sambil tersenyum, aku pun tersenyum melihat tingak anak-anak berwajah bahagia, serus memegang buku dengan terbalik.

Semangat belajar mereka yang bebal terhadap keterbatasan, ternyata menular! Aku pun melahap buku-buku perpustakaan yang sudah dilahap rayap, juga tikus. Sebagai pengisi waktu luang, setelah membaca buku pasti aku meresensi atau paling tidak curhat mengenai perasaan setelah membaca buku.

Tidak jarang, aku melahap buku di gulitanya malam. Bertemankan lentera, atau lilin, tapi sungguh disayangkan, kegilaan terhadap buku selama di Papua, berdampak tidak baik pada kedua mata, cacat! Ketika libur sekolah, dokter mata yang ditempuh selama dua hari untuk bertemu dengannya, karena tempat klinik bisa ditempuh selama dua hari “ Kedua mata slinder, wajib ko pakai kacamata kemana saja e! kecuali ko tidur, atau mandii, lepaskan sudah!”sepulang dari Papua, aku berwajah baru dengan sebuah benda yang betengger di hidung, atau lebih tepatnya pipi, karena si hidung terlalu kecil (re:pesek)

Kini, aku berteked untuk setia kepada mimpi-mimpi dan menepati janji “melahirkan buah pemikiran, buku” salah satu wujudnya yaitu dengan memperbanyak membaca, karena aku sadar diri, kosa kata yang dimiliki masih sangat fakir. Hm, mungkin terdengar picik membaca buku, hanya ingin dapat kosa kata baru ah, tapi aku yang hina ini akan selalu belajar untuk meluruskan niat. Bukankah, Kuasa menyuruh untuk Iqra?

Sepulang dari Raja Ampat, aku belajar menjadi si addict buku. Bagaimana benar-benar membuktikan bahwa aku memang tulus mencintai buku, cukup sederhana kelak ketika punya anak, si anak tidak menyesal memiiliki ibu seperti diriku, aku ingin menjadi wanita cerdas (woi, bahas anak! Emangnya bapaknya ada? Lalu ini apa hubungannya dengan Raja Ampat dan buku? -_____-)

Intinya, aku sedang belajar mencintai buku, menyelami setiap kata-katanya. 

Selasa, 06 September 2016





Genap sebulan kembali menjadi anak rumahan, yang setiap pekan keluar kota menjumpai teman-teman yang sudah satu tahun tidak bertemu, mengajar di suatu bimbel, bekerja setiap hari bagaikan ibu rumah tangga (pekerjaan ibu rumah tangga itu nggak ada habisnya ya cin!)

Jetlek! Sudah genap tiga puluh hari, masih saja tertatih mengelola hati. Rindu yang paling menyakitkan tiada lagi kalau bukan ke Raja Ampat. Ada rasa ingin kembali, tapi tidak untuk menetap dan menjadi warganya, masih banyak mimpi untuk membangun di tanah kelahiran. 

Jetlek! Kepala yang masih terstel pukul Waktu Indonesia Timur, harus bisa mengasah kemampuan menyebrang jalan dan duduk manis di bis. Ah! Menyebalkannya adalah harus kembali beradaptasi dengan hiruk pikuk kendaraan, polusi yang menyesakkan, dan rindu yang berserakkan.

Raga sudah berkeliling Serang, Cilegon, Bogor dan Jakarta namun si jiwa ini masih di Papua. Rindu akan segala pesonanya. Malam yang berhiaskan gemintang dan kunang-kunang, keributan anak-anak yang berebut bantal bau ompol ditambah ketakutan cerita horror yang mereka ciptakan sendiri, sore yang riuh akan lantunan yang terbata-bata belajar mengeja ayat-ayat-Nya, siang bolong yang sedang asyik tidur siang dibuat gaduh oleh teriakan anak-anak yang mengetuk pintu memaksa ingin bermain, pagi yang selalu ramai akan anak-anak yang mengetuk pintu meminta kunci sekolah. Ibu rindu, Nak! Biarkan kini ibu larut mengolah kata untuk menyampaikan rindu ini..

Rangkasbitung, 6 September 2016
Nggak bisa ngetik lama-lama, jarinya sudah kaku, pikirannya sering buntu, rupanya sedikit baca buku
-_____

Anis Sofia © 2016